Gambar diunduh dari sini |
Sejujurnya, saya adalah orang yang skeptis. Saya tidak mudah
begitu saja percaya tentang apa yang saya dengar, saya lihat, saya baca, saya
terima. Saya akan senantiasa mengambil jarak, agar lapang pandang saya lebih
luas. Saya tidak mau berfokus pada daun yang jatuh, lalu menyalahkan angin.
Namun saya akan melihat hutan, agar saya memperoleh celah untuk melihat
ranting, melihat dahan dan mengamati gerak-gerik angin.
Mungkin karena itulah saya kerap terlihat murung. Beberapa
kawan bahkan mengatakan saya peragu. Mereka mungkin benar, tapi saya hanya berusaha
mengambil jarak, mencari sudut lain, dan senantiasa memposisikan saya sebagai
orang ketiga.
Orang ketiga? Ya, orang ketiga.
Buat saya orang ketiga adalah posisi yang netral. Jangan
disempitkan pada istilah hubungan antara lelaki dan perempuan, dimana orang
ketiga selalu berkonotasi jelek. Orang ketiga adalah orang yang bisa melihat
jelas subjektivitas orang pertama dan orang kedua. Ia juga senantiasa jernih
melihat objektivitas masalah antara orang pertama dan orang kedua. Sebab dia
menjauhkan diri dari belitan kepentingan antara orang pertama dan orang kedua.
Kebiasaan saya ini mengingatkan saya pada sembilan elemen
jurnalisme ala Bill Kovach yang terkenal itu. Elemen pertama adalah verifikasi.
Seorang jurnalis seyogyanya harus menjadi skeptis seumur hidup. Bill Kovach
sendiri adalah legenda jurnalisme Amerika, bahkan legenda jurnalisme modern.
Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah TEMPO,
yang menurut saya sangat susah dalam menilai seseorang, sampai mengatakan bahwa
sulit sekali menemukan kesalahan Kovach.
Well, saya bukan jurnalis. Pekerjaan saya
jauh dari dunia perburuan berita, desk demi
desk, dimarahi redaktur senior, atau
tekanan demi tekanan yang seakan memaksa kita menulis dengan kecepatan cahaya.
Saya malah bekerja di rumah sakit, di Unit Gawat Darurat tepatnya. Unit yang
menjadi surga buat mereka yang skeptis. Prinsip yang berlaku: semua harus
dianggap salah sebelum terbukti benar.
Di luar itu, sikap skeptis menuntun saya agar merelatifkan kebenaran. Kebenaran senatiasa bisa direvisi. Pelajaran apapun
bisa salah. Sehingga yang berlaku adalah kebenaran di tataran fungsional, bukan
kebenaran filosofis. Bahwa seminggu ada tujuh hari, semenit ada 60 detik, nilai
tukar rupiah terhadap dollar adalah sekian, masturbasi tidak mempengaruhi
kesuburan pria, siklus menstruasi mempengaruhi emosional wanita, dan hal-hal
lain yang bersifat semacam itu. Di luar itu, sisanya menjadi relatif. Apalagi
siapa benar-siapa salah. Itu bias. Kecuali di sinetron.
Saya selalu teringat omongan seorang kawan karib. Dia pernah berseloroh, jarak terpendek antara dua titik adalah garis,
tapi hidup membuat kita melaluinya dengan jalan memutar.
Saya sepakat. Bahkan buat saya hidup membuat kita melalui jarak
terpendek di antara dua titik tadi bukan dengan sekadar berputar, tapi
berputar-putar.
Hidup bukan perkara linier. Saya benar-benar memegang kredo
ini. Banyak hal tak terduga dalam hidup yang membuat kita melakukan hal yang
tak terduga juga. Sehingga saya selalu memilih diam ketika banyak orang
menghakimi, mengolok-olok, atau justru menghujat kesalahan orang lain.
Ambil contoh, ketika kasus video Ariel-Luna tersebar ke
publik. Banyak orang menghujat Ariel sekaligus mencibir Luna. Tapi
pertanyaannya, apakah mereka yang mencibir dan menghujat tadi bisa berlaku yang
sama dengan mereka ucapkan ketika mereka dihadapkan pada kesempatan yang
diperoleh Ariel-Luna sehingga mereka melakukan itu?
Kalau saya, bakal menjawab, "Entahlah". Saya tak bisa menjamin
sikap saya diam saja ketika saya berada di posisi Ariel, ketika Luna Maya
memberikan kesempatan macam itu. Maka saya tak berani menghakimi mereka.
Menolak menjadi polisi moral dengan pangkat apapun. Saya juga menampik sikap
nyinyir yang seakan memposisikan diri
lebih tinggi sehingga saya menganggap diri patut untuk mencemooh mereka
dengan cara halus sekalipun. Sebab selain saya tidak punya hak, saya juga
khawatir nantinya saya akan mendapat kesempatan yang sama dengan Ariel,
kemudian saya tidak konsisten dengan sikap saya sebelumnya. Bisa jadi saya
bertindak lebih dari sekadar apa yang dilakukan Ariel.
Kehidupan modern menjadikan manusia memiliki peluang yang
sama besar untuk menjadi bijak bestari, menjadi asusila, atau justru menjadi
pecundang yang tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.
Saya juga teringat kisah Musa yang menerima wahyu di Gunung
Sinai. Konon, Musa diceritakan melihat sebuah semak belukar yang terbakar dan
suara menggelegar yang mengaku itu adalah Tuhan. Jika Musa adalah skeptis dan
hidup di jaman modern, maka Musa tidak bakal langsung percaya. Ia akan
memeriksa lingkungan sekitar semak belukar yang tebakar itu. Barangkali
menemukan puntung rokok yang dibuang sembarangan dan mengakibatkan terbakarnya
semak belukar, sekaligus memastikan tidak ada sound system dan tape
recorder di daerah sekitar semak yang memunculkan suara menggelegar.
Anekdot yang sedikit berlebihan, mungkin. Tapi kira-kira
begitulah gambaran orang skeptis.
Orang boleh bilang saya tidak punya prinsip, sembari
menghardik saya dengan petuah macam if
you don’t stand for something, you’ll fall for anything. Tapi buat saya,
prinsip yang saya pegang adalah skeptis dalam perkara apapun.
Sikap skeptis buat saya adalah sikap yang membebaskan. Dari
jerat dogma. Dari kungkungan stigma. Sebab semuanya memang serba relatif.
Kehidupan ini adalah perkara menjadi pemulung. Ambil yang
menurut saya baik, buang yang menurut kita buruk Saya hormati dan tidak saya
permasalahkan pilihan orang lain.
Semesta memberkati orang-orang ketiga yang senatiasa
mengambil jarak dan melihat dari beragam sudut.
Oh iya, jangan terlalu serius baca tulisan keminter
ini. Hidup cuma sebentar.
tapi frase "prinsip yang saya pegang adalah skeptis dalam perkara apapun" means you already stand for something.
BalasHapusif you doubt the meaning, don't use the language.