Minggu, 27 Desember 2015

Pulang


 
Gambar diambil dari sini

Aku masih mengingat raut wajahmu, saat kita berpisah  di pintu stasiun. Angin subuh yang membelai dingin, riuh suara para porter, langkah-langkah penuh kecemasan, menemani kita untuk menghayati apa yang disebut sementara. Pergi beberapa saat lalu kembali lagi entah untuk sampai kapan.

Kumasuki perut gerbong kereta, mencari bangku bernomor 13 B, sesuai nomor tiketku. Menyandarkan punggungku yang letih di kursi, sambil mengamati orang-orang. Anak kecil yang berambut pendek yang tidur di belaian ibunya, lelaki baya dengan jaket kulit cokelat, pemuda tanggung berkumis tipis yang sedari tadi  tak mengalihkan pandangan dari gawainya.

Aku yang pelupa ini, kemudian memutar ingatan tentang kisah kita yang boleh dibilang unik. Pertemuan kita terjadi pertama kali di dalam gerbong kereta. Waktu yang singkat tidak menjadi soal untuk mengubah wajah-wajah sinis penuh kecurigaan di antara kita untuk membuka obrolan. Aku masih ingat kala itu, di luar hujan menderas, malam kian larut. Perjalanan yang panjang dan cenderung membosankan di dalam perut ular besi  membuat kita memilih memecahkan hening.

Aku canggung untuk berbasa-basi. Tapi  toh, akhirnya aku mampu melakukannya. Kita kemudian saling bertukar kisah. Aku berterima kasih pada lagu, film, dan buku sebagai mercusuar manusia modern yang sekaligus  pula bermanfaat sebagai pembuka percakapan yang paling manjur.

Usai kamu bercerita tentang anak-anak kucing yang terjebak di kolong atap, sambil melirik cincin yang melingkar di jari manismu, aku berkisah tentang sebuah film. Tentang rok Marylin Monroe yang terbang terangkat saat melewati lubang angin di pinggir jalan. Momen ikonik yang kemudian diabadikan pula dalam bentuk patung di Chicago itu ditukil dari film komedi romantik berjudul “The Seven Years Itch” yang memang dibintangi oleh Marylin Monroe dan Tom Ewell. Sambil berbuih-buih, kuceritakan film itu kepadamu. Film itu tentang Richard, seorang pria pekerja keras yang mengkhayalkan dirinya memiliki hubungan dengan tetangganya yang seksi, berambut pirang dan memiliki hobi aneh—menyimpan celana dalam di lemari es. Richard sebenarnya sudah menikah dan menjalani tahun ketujuh dalam mahligainya. Film itu kemudian dipatut-patutkan dengan statistik di dunia nyata yang menunjukkan bahwa godaan terbesar hubungan pasangan yang belum menikah sekaligus yang sudah menjalani biduk rumah tangga terjadi di tahun ketujuh.

Sabtu, 26 Desember 2015

Merawat Denyut Negeri Bersama PMI


Harapan kerap hadir di tempat yang tidak disangka, pada waktu yang tidak selalu bisa terduga. Di tengah kemelut perang kemerdekaan, di bawah represi penjajah, sebuah gagasan tentang organisasi sosial kemanusiaan untuk bangsa mencoba diwujudkan. Penolakan hadir berkali-kali, namun  asa tak layak surut. Lewat upaya yang gigih, organisasi itu akhirnya lahir sebagai harapan bangsa akan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan dan kerelawanan. Tepat sebulan usai proklamasi kemerdekaan, di 17 September 1945, Presiden Soekarno meresmikan kelahiran organisasi penuh harapan tersebut, yang kemudian dinamai Palang Merah Indonesia (PMI). 

Gambar diambil dari sini

Kiprah PMI setelah itu tidak bisa dibilang sepele. PMI berandil besar terhadap penanganan berbagai peristiwa kemanusiaan di negeri ini. PMI berperan penting dalam upaya menjaga denyut negeri ini melalui berbagai aksinya di bidang sosial kemanusiaan. Mulai kiprah saat terjadi peperangan/konflik horizontal hingga kesigapan dalam penanganan berbagai bencana nasional. Dari rangkaian perang kemerdekaan hingga peristiwa Trikora di Irian Barat. Dari pemberontakan RMS hingga operasi kemanusiaan di Dilli. Dari bencana gempa bumi dahsyat di Bengkulu dan Jogjakarta, tsunami di Aceh, banjir di Gorontalo, hingga di banyak tempat lain yang dirundung duka karena bencana, PMI hadir di lini paling depan untuk menyokong aksi kemanusiaan.

Selasa, 22 Desember 2015

Surat untuk Ibu



Gambar diambil dari sini



Ibu, kuberanikan diri menulis catatan singkat ini setelah terjebak cukup lama dalam kerumunan lamunanku tentangmu. Lamunan tentang pijar di matamu yang terus membakar–hangat dan teduh. Pijar yang menemani hari-hariku yang gigil karena  dihembus kesepian yang dingin.

Ibu selalu menjadi pemenang buatku. Ketahuilah, Ibu, aku selalu nyaman memakai kemeja yang kau jahit sendiri untukku, melahap rakus makanan yang kau masak sedari subuh, menyisir bangga rambutku yang sudah kau pangkas karena kau melarangku gondrong.

Aku juga terus mengingat, Ibu, betapa aku sering merepotkanmu. Aku adalah bocah yang terlalu sering mengganggumu hanya karena sekadar ingin kerokan saat masuk angin. Aku pernah membuatmu khawatir karena mendengar aku berkelahi dengan teman-teman masa kecilku dan kemudian pulang dengan kepala yang bocor berdarah-darah. Aku juga pernah membuatmu menjerit panik ketika hampir seluruh tungkai kakiku terbakar karena tersiram minyak panas. Aku juga yang membuatmu sedih karena aku dulu seringkali pulang bermain bola dengan rajin membawa oleh-oleh: luka babras di lutut dan sekujur kaki.  Aku pula, Ibu, yang membuatmu menangis sedih usai suatu ketika kau dapati aku mencuri uang di dalam almari.

Sabtu, 12 Desember 2015

Ilusi Golongan Putih




 
Gambar diambil dari sini
Di luar sana, sedang riuh usai helatan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.  Karena ini ajang pemilihan, maka ketentuannya adalah memilih. Baik  memilih pasangan calon (kerap disingkat menjadi paslon) maupun memilih untuk tidak memilih. Yang terakhir ini mendaku diri sebagai golongan putih atau kerapkali disebut golput.

Di daerah saya—sebagaimana di daerah lainnya, angka golputnya sangat tinggi. Nyaris  sama dengan jumlah penduduk yang menyumbangkan suara untuk memilih paslon yang berlaga.  Artinya, jumlah yang golput nyaris separuh dari total jumlah penduduk di daerah saya. Tentu saja itu bukan sebuah pencapaian yang baik,  saya kira. 

Kecenderungan menjadi golput kerapkali dimulai dengan adanya sikap antipati terhadap sistem politik yang berlangsung. Golongan ini berpikir bahwa menjadi golput adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kegagahan sistem. Dengan golput, mereka berharap  bisa merobohkan sekaligus mencerabut kelemahan sistem hingga ke akar-akarnya.

Pertanyaannya sekarang: apakah sikap semacam ini masih relevan? Buat saya tidak. Menjadi golput dengan dasar seperti yang diujar di atas tidak menghasilkan apa-apa, selain kecenderungan kecurangan yang bisa membesar, ditambah peluang kemenangan jatuh ke tangan orang yang kurang tepat juga bertambah.  Menjadi golput berandil besar pada kertas-kertas yang menjadi sampah tanpa arti atau justru berpeluang disalahgunakan. Maka memang, menjadi golput juga segaris dengan pemborosan karena bagaimanapun sarana dan prasarana sudah mencoba disesuaikan dengan jumlah seluruh penduduk.

Minggu, 01 November 2015

Kretek, Nasionalisme, dan Logika yang Patah



Gambar diambil dari sini


Kuceritakan sebuah lakon yang terjadi di Istana Buckhingham pada tahun 1953. Kala itu, diplomat kita yang mahir bersilat lidah, KH. Agus Salim namanya, hadir sebagai undangan di acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris—mewakili Presiden Soekarno yang tidak bisa hadir. Sang diplomat menatap Pangeran Philip, kemudian menyalakan kretek, lalu mengayun-ayunkannya di depan hidung Sang Pangeran.

Aroma kretek menyeruak. Agus Salim dengan tenang bertanya, “Yang Mulia, apakah Anda mengenali aroma rokok ini?”

Pangeran Philip menajamkan penciumannya, menghirup aroma kretek Agus Salim. Ia gamang dan kemudian berkata bahwa ia tidak mengenali aroma yang dimaksud sang diplomat. Sambil tersenyum, Agus Salim berkata, “Rokok inilah yang menjadi sebab sekitar 300 tahun yang lalu, bangsa Anda mengarungi lautan dan menjajah kami.”

Kisah yang hampir mirip juga pernah dituturkan oleh sastrawan kebanggaan kita, Pramoedya Ananta Toer, dengan mengutip catatan Mark Hanusz di buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Lagi-lagi, The Grand Old Man alias KH. Agus Salim yang menjadi lakonnya. Situasinya hampir mirip, di jamuan diplomatik yang dihelat di London.

Di acara itu, Agus Salim menyalakan kreteknya, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Diplomat-diplomat asing heran dengan apa yang dihisapnya. Salah seorang bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya, “What is that thing you are smoking, Sir?” Sang diplomat menjawab dengan lembut namun menghujam: “That, Your Excellency, is the reason for which the West conquered the world.”

Agus Salim seakan memberi penegasan akan dua hal. Pertama, bahwa ia begitu bangga dengan kretek sehingga dia tanpa ragu memamerkannya di hadapan hidung-hidung orang asing. Kedua, sang diplomat seakan mengingatkan kembali bahwa bangsa diplomat asing itulah yang pernah memerlakukan bangsanya sebagai kaum taklukan melalui upaya penjajahan yang rakus dan mencoba melumat kekayaan Indonesia, salah satunya kretek.

Selasa, 15 September 2015

Tentang Ingatan






Sepanjang hidup manusia berlangsung, apakah yang menjadi kegelisahan terbesarnya? Jika diijinkan sedikit lancang dan sok tahu, saya memilih menyebutkan kegelisahan yang terus mengepung manusia sebelum raganya berkalang tanah adalah rasa was-was akan kehilangan.

Mereka yang terburu-buru adalah mereka yang cemas kehilangan waktunya. Mereka yang tamak dan loba adalah kaum yang khawatir kehilangan peluang untuk mengerkah hak yang lain lebih banyak. Mereka yang oportunis adalah golongan yang selalu resah akan raibnya kesempatan sekalipun terselip di dalam kesempitan-kesempitan. Ketakutan akan kehilangan merundung semua orang. Dari orang yang mengaku baik hingga orang yang dituduh bejat. Dari orang yang papa hingga mereka yang kaya raya. Sekalipun mereka yang mengaku “menjauhi” dunia agar tak didera kehilangan, toh mereka pada akhirnya juga merasakan pergulatan melawan kehilangan—setidaknya bagaimana mereka senantiasa cemas bergulat dengan kesadarannya sendiri agar tidak terlena dengan kenikmatan dunia yang dianggap memabukkan.

Jika boleh diteruskan, dari sekian kekhawatiran akan kehilangan, kehilangan manakah yang paling dirasa menakutkan dan pedih?

Senin, 03 Agustus 2015

Gemilang Prestasi Sang Gajah*



 
Gambar diambil dari sini
 Jika ada sebuah bank yang begitu lekat dengan semangat kebangsaan di negeri ini, maka kita sedang membicarakan Bank Negara Indonesia (BNI). Hari itu, belum genap setahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya—tepatnya pada 5 Juli 1946, pemerintah mendirikan sebuah bank pertama di republik ini bersamaan dengan serangkaian persiapan oleh Poesat Bank Indonesia. Bank ini dinamai Bank Negara Indonesia (BNI) yang tanggal berdirinya lantas dipakai untuk memperingati Hari Bank di negeri ini sampai sekarang.

Berdiri atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/1946 dan diresmikan pada ulang tahun pertama proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, BNI hanya bermodal sepuluh juta rupiah dan diberlakukan sebagai bank sentral atau bank sirkulasi, sekaligus bank umum. Namun niatan menjadikan BNI sebagai bank sentral terhambat situasi negara yang saat itu belum cukup kondusif. Setelah Indonesia benar-benar diakui kedaulatan dan kemerdekaannya, pemerintah lantas mengubah haluan dengan menjadikan Javasche Bank yang sudah beraparatur lengkap menjadi bank sirkulasi, sekaligus mengubah namanya menjadi Bank Indonesia. BNI lantas ditetapkan bank umum sesuai Undang Undang Darurat No. 2 tahun 1955 tentang Bank Negara Indonesia.

Ditetapkan sebagai bank umum justru meneguhkan peran BNI kala itu sebagai pemberi akses terhadap modal dan pasar kepada pengusaha nasional. BNI semakin fokus pada segala bidang perekonomian bangsa, terutama bidang perindustrian, perdagangan, dan pertanian. Tak hanya itu, BNI yang baru lahir membuka hubungan koresponden dengan berbagai bank di luar negeri, mulai dari Overseas Chinese Banking Corporation Limited di Singapura dan Hongkong, Amsterdamsche Bank NV di Amsterdam, dan Banker Trust Company di New York. BNI bahkan melebarkan sayap dengan menjadi bank pemerintah pertama mempunyai kantor cabang di luar negeri setelah mendirikan Kantor Cabang Singapura di akhir tahun 1955. Uniknya, bahkan saat itu negara Singapura belum benar-benar terbentuk karena masih menjadi bagian dari Malaysia.

Maka melihat BNI dari sisi historis berarti  mengamini bahwa BNI adalah bagian yang tak terpisah dari semangat kebangsaan. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana capaian BNI sekarang seiring dengan perkembangan jaman dengan mengingat posisi BNI adalah bank pewaris—sekaligus pelaku—sejarah yang turut berandil penting dalam peletakan fondasi ekonomi di negeri ini?

Transformasi adalah Kunci

Di tahun 2011, Forum Humas BUMN menggelar Anugerah BUMN yang menyoroti proses inovasi BUMN dari berbagai sisi. Di ajang itu, BNI berhasil terpilih menjadi Best of The Best-Anugerah BUMN-Inovasi. BNI menjadi yang terbaik dari yang terbaik karena unggul untuk tiga kategori, yaitu: Manajemen, Pemasaran, dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).

Dewan Juri melihat bahwa keberhasilan BNI tidak lepas dari kemampuan menyelaraskan aksi perubahan dengan cara melakukan transformasi untuk menimbulkan perubahan mendasar, yakni perubahan nilai di seluruh aspek korporasi. Dengan transformasi yang dilakukan, BNI menggeser kultur birokrat menjadi kultur korporat dan mengubah model bisnis dari yang semula berorientasi pada produk menjadi berorientasi kepada pelanggan.

Menyoal transformasi ini, terdapat filosofi unik yang mendasari proses perubahan yang terjadi di tubuh BNI. Direktur Utama BNI, Gatot.M. Suwondo, mengatakan bahwa transformasi yang dilakukan oleh segenap jajaran BNI tak ubahnya ibarat mengeksplorasi gajah cerdas. Kata beliau, “Kami gunakan seluruh kemampuan energi yang dimiliki bank besar ini secara optimum, seperti menggunakan tenaga gajah.”

Gajah, hewan cerdas yang bertubuh besar dipilih sebagai maskot transformasi yang dilakukan. Mengapa bukan hewan lain, elang misalnya? Gatot menjawab dengan bijak, “Terlalu berdarah-darah.” Katanya, elang memang melakukan transformasi revolusioner dan ekstrim, namun itu tidak cocok untuk BNI. Lebih jauh lagi, pada usia tertentu, elang bisa kehilangan pesona dan kemampuannya dengan begitu cepat. Paruhnya bisa menumpul, kukunya lemah untuk menggenggam ranting, insting memburu mangsanya bisa menurun drastis. Berbeda dengan karakter gajah yang penuh kekuatan sekaligus cerdas, penuh ketenangan dalam bersikap, jeli beradaptasi, sekaligus cermat melihat kondisi sekitar.

Pilihan transformasi yang ibarat mengeksplorasi gajah cerdas ini diawali dari perencanaan tentang kekuatan, peluang, dan tantangan yang dimiliki oleh sang gajah itu sendiri. Artinya, dalam proses transformasi BNI harus jelas dalam bagaimana cara mengeksplorasi potensi berikut energinya, serta menempatkan fungsinya secara tepat dalam lanskap industri jasa keuangan dan perbankan global di masa depan.

Jangkauan penglihatan sang gajah itu semakin terlihat jelas ketika diekstrak menjadi visi BNI, yaitu: Unggul, Terkemuka, Terdepan. Unggul artinya BNI dikelola oleh para insan profesional yang cakap sehingga mampu membawa BNI untuk mempunyai daya saing yang baik. Terkemuka artinya BNI adalah bank yang selalu mampu mengelola inspirasi, inovasi, dan kreativitas. Terdepan artinya BNI adalah bank yang mampu menjadi pelopor dalam membangun kualitas kinerja dan layanan perbankan.

Salah satu wujud pengejahwantaan visi itu adalah perubahan orientasi bisnis dari yang berorientasi produk menjadi lebih berorientasi kepada konsumen. Hal ini mengubah strategi hubungan bank dengan nasabahnya dari public relationship menjadi people relationship. Ini menjadi penting karena pencapaian kepuasan nasabah tak berhenti hanya pada saat petugas bank mampu memenuhi apa yang diinginkan nasabah, tapi juga memenuhi apa yang diperlukan oleh nasabah. Dengan cara ini, BNI memfasilitasi dan mengintermediasi kebutuhan tingkat lanjut nasabahnya terkait gaya hidup, harapan hidup dan tujuan hidup mereka. Bahkan sampai mencoba memenuhi keperluan nasabah dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawab sosial mereka terhadap keluarga dan lingkungan masing-masing.

Strategi hubungan antara BNI dengan nasabahnya dapat meningkatkan nilai lebih terhadap nasabah sekaligus memungkinkan ruang gerak BNI terus selaras dengan perkembangan nilai budaya, pengetahuan, serta teknologi komunikasi dan informasi.

Perubahan orientasi dari product sentric ke customer centric akan mengubah cara berpikir  yang semula berpola divergen: “Berapa banyak penggunaan dari suatu produk,” menjadi berpola konvergen: “Paket kombinasi produk apa yang terbaik bagi seorang nasabah.” Ini akan meningkatkan kepercayaan sekaligus loyalitas nasabah terhadap BNI.  Dampaknya meluas, dari tahun ke tahun  kinerja BNI terus meningkat, investasi unggul dari investor yang disertai keuntungan juga terus bertumbuh.  Berdasarkan data, coverage ratio BNI sangat stabil. Dari kondisi ideal 100 persen, BNI sanggup menjaga konsistensi capaiannya selalu di atas 100 persen sejak tahun 2008 hingga sekarang.

Contoh nyata lainnya dari pergeseran product sentric ke customer centric juga bisa dilihat dari bagaimana BNI menjadi bank pertama yang menjadi pemberi layanan jasa penitipan dan pengelolaan aset (trustee) untuk industri migas di Indonesia.

BNI juga satu-satunya bank di Indonesia yang terhubung langsung dengan sistem pelayanan penerimaan negara terpadu melalui Modul Penerimaan Negara (MPN) valuta asing/valas. Lewat layanan MPN valas ini, BNI semakin dalam dan luas jaringan bisnisnya. Kepercayaan pemerintah kepada BNI untuk layanan transaksi setoran penerimaan negara valas tersebut adalah bukti bahwa kinerja BNI terus meningkat secara positif.

BNI juga merupakan satu-satunya bank asal Indonesia yang mempunyai ATM di luar negeri dan memperoleh izin mendirikan ATM di luar lokasi kantor cabang.

Proses transformasi yang menciptakan budaya perusahaan yang unggul di dalam BNI juga termasuk prestasi yang patut dicermati. Budaya birokrat yang linier dan penuh dengan kelemahan diganti dengan budaya korporat yang berorientasi terhadap kemajuan perusahaan. BNI memberlakukan Anti Fraud System (AFS) yang menurunkan praktik penipuan dan kecurangan secara menyeluruh. Tak hanya itu, BNI juga menginisiasi Whistle Blowing System (WBS) secara terpadu untuk menjaga integritas dan transparansi di segenap insan BNI. Satuan Pengawas Internal (SPI) juga bekerja secara cermat, efektif, dan teliti dengan berpegang pada prosedur yang ditetapkan. Manajemen risiko juga senantiasa dipegang teguh dengan berdasar pada regulasi yang berlaku. BNI berhasil memberikan ruh tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) ke setiap elemen perusahaan.

BNI juga bank pertama yang mengubah konsep Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi Corporate Community Responbility (CCR) dengan menggagas pemberdayaan ekonomi komunitas usaha bersegmen produksi khusus yang ternaungi dalam Kampoeng BNI. Kampoeng BNI tersebar di berbagai daerah dengan pengembangan berbagai potensi ekonomi, mulai dari nelayan, petani, hingga pengrajin. Lewat program ini,  BNI turut andil dalam pengembangan kearifan dan kecerdasan lokal serta mengangkat kekayaan budaya Indonesia ke pentas dunia. Hingga kini, tercatat sudah terdapat 27 Kampoeng BNI yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Dari Kampoeng BNI Perikanan di Madura hinggga Kampoeng BNI Sutera Sengkang di Sulawesi Selatan. Dari  Kampung BNI Tenun Ikat  Sumba di Waingapu hingga Kampung BNI Batik Tulis Lasem di Rembang.

Terus Melangkah

BNI, Sang Gajah yang menjadi pelopor dari pelayanan perbankan di negeri ini tentunya tak hendak menjadikan transformasi sebagai sekadar perjalanan singkat. Aneka penghargaan yang diberikan oleh berbagai lembaga nasional dan internasional, serta harga saham yang terus meningkat dan laba perusahaan yang terus bertambah, hendaknya tidak membuat terlena. Transformasi BNI diharapkan terus merespon dan mengadaptasi perubahan dan perkembangan di setiap era. Sang Gajah akan terus melangkah, menggurat prestasi, bergerak memberikan manfaat kepada pemerintah, investor, nasabah, seluruh insan BNI, dan masyarakat.

==============================================================

*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog BNI 2015 dengan mengambil topik  “Prestasi BNI”.

Minggu, 28 Juni 2015

Singa dari Rosario





Saya sering mengucap syukur karena betapa saya beruntung hidup di sebuah jaman yang merupakan jaman keemasan seorang Lionel Messi. Mungkin terdapat ribuan—atau lebih tepatnya jutaan—manusia lain di muka bumi yang menyepakati rasa syukur yang saya ucap. Itu semua karena Lionel Messi adalah keajaiban. Empat kali disematkan sebagai pesepakbola terbaik sejagad, mencetak hampir 500 gol dan  menyumbang 182 assist dari 583 pertandingan (sampai tulisan ini dibuat), beragam catatan pecahan rekor, atau permainan yang terlalu sering mengundang decak kagum—bercampur dengan umpatan—karena nyaris tidak percaya dengan apa yang ia lakukan dalam sebuah pertandingan adalah beberapa hal yang membuat Messi sebagai padanan keajaiban sepakbola modern. 

Silakan tuduh saya berlebihan, namun kenyataannya memang demikian. Messi terlalu sarat dengan kelebihan sebagai pesepakbola. Ada baiknya kita menyimak ungkapan beberapa pesohor dalam dunia sepakbola yang tidak kalah lebay dalam mengomentari Messi. Misalnya Arda Turan (pemain Atletico Madrid), yang ketika ditanya siapa pemain terbaik di dunia malah justru menjawab, “Tentu saja pemain terbaik dunia adalah (Cristiano) Ronaldo. Sebab Messi adalah makhluk dari planet lain”.  Hampir mirip dengan Arda Turan, penjaga gawang legendaris Juventus, Gianluigi Buffon, dalam sebuah kesempatan pernah iseng menyentuh pipi Lionel Messi. Kata Buffon, “Saya hanya ingin memastikan dia adalah manusia sebagaimana kita semua”.  Legenda Barcelona, Hristo Stoickhov, bahkan pernah berseloroh bahwa satu-satunya cara menghentikan Messi ketika beraksi di lapangan adalah  menggunakan senapan mesin. Messi adalah Messiah (Juru Selamat) dengan daya magis yang memukau. Tak ayal rekan seklub dan senegaranya, Javier Mascherano, pun memujinya, “Sepakbola telah mengontrol kita semua, tapi Messi adalah yang mengontrol sepakbola”. 

Karena sekian hal itulah, buat saya membicarakan Messi kadang sama halnya membicarakan pemain yang sudah “selesai”. Ia sudah tidak butuh lagi pembuktian apapun untuk mentahbiskan dia sebagai yang terbaik. Di jaman ini, atau mungkin di sepanjang sejarah sepakbola itu sendiri. Bahkan mengingat “dosa”nya yang belum pernah mengantar Argentina memenangkan Piala Dunia pun, ia masih termaafkan mengingat apa yang ia lakukan sepanjang kariernya sebagai pesepakbola. Selalu memerlihatkan visi yang tajam, keahlian mengolah bola yang susah ditandingi, kecepatan yang kerap tak terkejar, kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan bermain secara tim, mental bermain yang kokoh, serta komitmen yang tinggi sebagai pesepakbola profesional. 

Tentang hal yang terakhir ini saya teringat cerita bahwa Messi kadang lebih memilih segera kembali ke kamp latihan alih-alih menghabiskan seluruh jatah berliburnya. Ia juga lebih memilih tidur untuk melakukan recharging terhadap tubuhnya daripada melakukan hal lain. Ingat penampilan Messi yang tidak begitu bagus di tahun lalu karena rentetan hantaman cedera yang dideranya? Messi membalas dendam di tahun 2015 dengan menjalani program diet yang teramat ketat demi percepatan perbaikan penampilan. Hasilnya bisa di lihat sendiri, dia adalah pemain teramat vital yang mengantarkan Barcelona merengkuh treble winner tahun ini. 

Melihat Messi bermain bola, saya teringat sebuah tagline yang dikeluarkan oleh salah satu apparel,  yakni “Play the Messi’s Way”. Sebuah tagline yang mengapresiasi bagaimana ia bermain: berani, pantang menyerah dan tidak manja. Messi bukanlah pemain yang nyalinya menciut ketika kakinya terus menerus diincar dengan buas oleh lawan-lawannya. Alih-alih membalas, ia terus berlari, memainkan bola, mencetak gol, dan menang. Ia tidak akan buang-buang waktu untuk melakukan diving atau protes keras kepada wasit. Ia lebih memilih diam, fokus pada pertandingan dan membalas lawan-lawannya dengan melewati mereka sambil meliuk-liuk dengan indah. Seperti singa, dia tidak terlalu banyak mengaum. Ia lebih memusatkan perhatian pada lawan-lawannya, lalu memangsa mereka dengan mencetak  gol atau membuat assist. “Tidak ada yang berubah dari cara saya bermain. Dari waktu saya kecil dan bermain bola di Rosario (Argentina), begitulah gaya saya bermain,” katanya. 

Pep Guardiola, adalah pawang yang mengerti betul bagaimana menjinakkan “singa” bernama Lionel Messi. “Pahamilah ketika dia diam, ciptakan suasana kebersamaan di sekitarnya,  berikanlah dia bola, dan jangan sekali-kali menggantinya,” kata Pep. Pep tahu betul bahwa Messi adalah pemain yang teramat istimewa. Karenanya, Pep juga pernah berkata, “Tak usah menulis tentang dia. Tak usah mendeskripsikan dia. Cukup lihatlah dia bermain”. 

Tapi tentu saja, Lionel Messi adalah singa yang tidak lekas puas dengan pencapaiannya, seistimewa apapun dirinya. Setidaknya, ia ingin berbuat lebih banyak di timnas Argentina. Di timnas, Messi seakan benar-benar menjadi alien yang terlalu sulit dipahami oleh orang lain di sekitarnya. Ia seperti air  yang salah wadah. 

Pelatih timnas Argentina sebagai pawang tidak bisa membuatnya seperti di Barcelona.  Para pawang di timnas Argentina seakan lupa bahwa cara menjinakkan—sekaligus memaksimalkan—Messi adalah dengan menciptakan permainan tim di sekitarnya. Di Barcelona, sebelum dia memporakporandakan barisan pertahanan lawan dan mencetak gol, ia dan rekan-rekannya saling melakukan puluhan passing. Di timnas Argentina kondisinya seakan lain, karena bola (dan harapan)  terlalu banyak diserahkan kepada Messi. 

Tapi sekali lagi, buat saya, Messi adalah pemain yang sudah “selesai”. Ia tidak butuh lagi pembuktian apapun bahwa ia adalah yang terbaik. Sejak saya dibaptis untuk mencintai permainan sepakbola, saya belum pernah melihat pemain yang sehebat dia. Messi mampu membuat “orgasme” mereka yang menonton permainannya. Sampai sekarang saya punya kebiasaan unik. Ketika penat, saya sering menonton ulang video-video yang merekam kehebatan Messi di lapangan hijau. Rasanya menenangkan dan saya seperti tidak pernah bosan. Sepakbola kadang bisa menjadi obat. Dan Lionel Messi adalah dokter yang hebat.

Minggu, 10 Mei 2015

Terima Kasih, Akademi Berbagi!

Di hutan Alaska yang dingin, di dalam sebuah bus tua yang reyot, Alexander Supertramp alias Chritopher McCandless sekarat. Usai melakukan perjalanan jauh selama lebih kurang dua tahun dengan menampik, menertawakan, sekaligus menyumpahi kehidupan sosial di sekelilingnya, ia menghentikan perjalanan di pelosok yang jauh dari hingar bingar. Alex meninggalkan keluarganya dan segenap pranata sosial yang baginya tak lebih dari sekadar omong kosong.  Ia lalu hidup secara nomaden, mengenal banyak orang, dan berusaha lebih dekat dengan alam sekitarnya sampai akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hutan Alaska. Hingga di suatu hari, setelah didera  kelaparan beberapa hari, Alex mengalami keracunan usai menyantap tumbuh-tumbuhan liar di sekitar busnya. Saat meregang nyawa, Alex kemudian menuliskan kalimat wasiat pada salah satu halaman buku Boris Pasternak yang kerap ia baca: “Happiness is only real when shared”. Kisah Alex kemudian diangkat oleh Sean Penn menjadi film berjudul Into The Wild.

Beruntunglah saya tidak harus menjalani hidup dengan laku yang pilu dan asketik macam Alex untuk mengetahui bahwa kebahagiaan memang menjadi nyata manakala ia dibagi. Beruntung pula bahwa akhirnya saya bisa menjalani kredo itu setelah bergabung di sebuah komunitas bernama Akademi Berbagi.

Di medio 2012, Cak Oyong mengajak saya menginisiasi komunitas yang mengusung tagline “Berbagi Bikin Happy” ini di kota Jember. Saya sepakat. Kesepakatan pula yang membuat saya harus menjadi Kepala Sekolah Akademi Berbagi Jember. Dengan pengalaman yang nyaris nihil dalam mengurus komunitas semacam ini, saya menjalankan Akademi Berbagi Jember dengan berbagai tantangannya. Seperti di beberapa kota lainnya, Akademi Berbagi Jember juga mengalami perjalanan yang tak mulus.

Banyak kendala membuat saya belajar banyak hal, disadari atau tidak. Ragam dinamika  komunitas, kepatuhan terhadap komitmen, kepekaan sosial, membangun relasi, membuat jejaring, adalah beberapa hal yang saya bisa saya ambil pelajarannya. Dan betapa saya sadari, tidak semua komunitas bisa membuat saya belajar banyak tentang itu semua.

Setelah dua tahun berselang, saya menyerahkan posisi kepala sekolah terhadap orang lain. Beruntung saya bukan pengidap post power syndrome dalam skala apapun, sehingga posisi saya sebagai anggota Akademi Berbagi Jember setelah sebelumnya menjadi Kepala Sekolah, tak membuat saya canggung. Yang menjadi persoalan adalah justru fokus saya yang pudar terhadap komunitas ini.

Orang boleh mengatakan ini adalah perihal yang klise, namun kesibukan profesi yang padat dan tanggung jawab di rumah sakit, diikuti dengan beberapa “proyek eksistensial” membuat saya tidak sepenuhnya menyumbangkan andil di komunitas ini. Saya bukan menghimpun apologi sekenanya atau sekadar merangkum alasan.

Komposisi Akademi Berbagi Jember sekarang terdiri dari relawan yang lebih banyak, lebih aktif, lebih energik. Dan saya percaya, lewat wadah gerakan Akademi Berbagi, mereka bisa berbuat lebih baik daripada sebelumnya. Tanpa bermaksud seolah-olah bijak, saya juga percaya bahwa gerakan nirlaba ini juga sangat berdampak baik untuk mereka.

Saya teringat omongan saya sendiri, bahwa sebuah perjalanan pada dasarnya adalah upaya mengenali batas. Mereka yang mengambil hikmah dari perjalanan adalah mereka yang paham benar batas untuk memulai, maupun untuk mengakhiri. Bertolak dari ungkapan ini, saya mencoba mengenali batas saya sendiri. Sehingga pada titik ini, saya memutuskan mundur dan keluar dari Akademi Berbagi.

Dengan takzim yang teramat dalam, saya mengucapkan terima kasih untuk apa yang saya dapat sepanjang perjalanan ini. Dengan rasa yang sama pula, saya memohon maaf untuk segala kesalahan yang sudah terjadi.

Sekali lagi, terima kasih, Akademi Berbagi! Berbagi bikin happy!

Minggu, 26 April 2015

Misalkan Aku Hidup Kembali

Sarah, aku pernah berujar kepadamu, bahwa aku tidak percaya karma. Lebih tepatnya, tidak sepenuhnya percaya. Karena bagiku, tidak semua hal di dunia hanya perkara balas membalas. Jangan lantas diarahkan kepada kehidupan setelah mati, kita tidak sedang membicarakan itu dan kita belum mengetahuinya. Sebagaimana yang pernah kuracaukan kepadamu, dunia tempat kita hidup sekarang ini, segala variabelnya berjalan dengan hukum kausalitas. Sebab akibat dengan silang sengkarut kemungkinan yang kompleks. Itu lebih tepat dan lebih bisa diterima. Lebih mudah ditangkap sekaligus dijelaskan. Walaupun sebenarnya, banyak  hal dan banyak kemungkinan yang dilingkupi hukum sebab akibat ini—karena keterbatasan kita,  tidak selalu dapat dijelaskan dan ditangkap pula.

“Lalu bagaimana dengan reinkarnasi?” kau bertanya dengan antusias, mirip anak kecil yang girang melihat kue terang bulan.

Aku terdiam sejenak. Dua detik berlalu, aku mantap menjawab tanpa ragu bahwa aku pun tidak mempercayai konsep itu. Betapa anehnya kehidupan yang terus berulang-ulang. Aku kira, semesta yang sebegitu dahsyatnya diciptakan ini,  terlalu mempunyai segala hal yang  lebih penting daripada sekadar memutar ulang kehidupan sebagaimana kaset pita. 

Tapi bagaimanapun, aku juga manusia biasa. Noktah terlampau kecil di belantara semesta yang gigantik. Kita adalah dengan lingkar kepala dan—meminjam istilah Hercule Poirot—sel abu-abu yang kelewat terbatas. Sehingga mungkin, celotehku tadi memang ngawur dan salah. Reinkarnasi bisa jadi memang benar ada.

Maka jika urusan hidup yang diulang-ulang itu benar-benar ada dan bukan sekadar gaung mitologi, aku akan menaruh harapan agar aku bisa hidup bersamamu. Berdua menjadi petani modern yang rajin menulis, memelihara ikan,  membangun rumah di atas bukit, atau justru menjadi nomaden seumur-umur denganmu.

Kamu tergelak, mengerkah khayalanku.

Baiklah, aku sederhanakan saja.

Aku ingin menjadi sikat gigi yang kau genggam erat untuk melupakan dunia dalam dua menit dengan ritual menggosok gigi. Dua kali sehari. Mungkin juga lebih, karena kamu suka durian.

Aku juga ingin menjadi cangkir  yang kerap kau genggam untuk menikmati teh hangat di pagi hari, juga di setiap mood-mu  naik turun dengan cepat seperti roller-coaster di taman bermain.

Aku juga menaruh keinginan untuk menjelma menjadi dinding-dinding kamarmu. Tempatmu berbagi tangis di kala sedih. Menemanimu meracau atau hanya mendengarkanmu mengadu.

Atau perkenankan aku menjadi lembar-lembar kertas buku catatan yang kau sembunyikan di dalam almari, tempatmu mengurai keresahan dengan membariskan huruf-huruf lewat coretan ballpoint—barangmu yang paling sering hilang karena kau kadang terlampau ceroboh.

Begitulah, Sarah. Jika itu semua masih dianggap terlalu berlebihan, maka aku akan meminta untuk menjadi sebelah matamu.  Membantumu memandang hidup yang kerap kita puji, rutuk, sekaligus kita tertawakan bersama-sama setiap hari.