Minggu, 01 November 2015

Kretek, Nasionalisme, dan Logika yang Patah



Gambar diambil dari sini


Kuceritakan sebuah lakon yang terjadi di Istana Buckhingham pada tahun 1953. Kala itu, diplomat kita yang mahir bersilat lidah, KH. Agus Salim namanya, hadir sebagai undangan di acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris—mewakili Presiden Soekarno yang tidak bisa hadir. Sang diplomat menatap Pangeran Philip, kemudian menyalakan kretek, lalu mengayun-ayunkannya di depan hidung Sang Pangeran.

Aroma kretek menyeruak. Agus Salim dengan tenang bertanya, “Yang Mulia, apakah Anda mengenali aroma rokok ini?”

Pangeran Philip menajamkan penciumannya, menghirup aroma kretek Agus Salim. Ia gamang dan kemudian berkata bahwa ia tidak mengenali aroma yang dimaksud sang diplomat. Sambil tersenyum, Agus Salim berkata, “Rokok inilah yang menjadi sebab sekitar 300 tahun yang lalu, bangsa Anda mengarungi lautan dan menjajah kami.”

Kisah yang hampir mirip juga pernah dituturkan oleh sastrawan kebanggaan kita, Pramoedya Ananta Toer, dengan mengutip catatan Mark Hanusz di buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Lagi-lagi, The Grand Old Man alias KH. Agus Salim yang menjadi lakonnya. Situasinya hampir mirip, di jamuan diplomatik yang dihelat di London.

Di acara itu, Agus Salim menyalakan kreteknya, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Diplomat-diplomat asing heran dengan apa yang dihisapnya. Salah seorang bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya, “What is that thing you are smoking, Sir?” Sang diplomat menjawab dengan lembut namun menghujam: “That, Your Excellency, is the reason for which the West conquered the world.”

Agus Salim seakan memberi penegasan akan dua hal. Pertama, bahwa ia begitu bangga dengan kretek sehingga dia tanpa ragu memamerkannya di hadapan hidung-hidung orang asing. Kedua, sang diplomat seakan mengingatkan kembali bahwa bangsa diplomat asing itulah yang pernah memerlakukan bangsanya sebagai kaum taklukan melalui upaya penjajahan yang rakus dan mencoba melumat kekayaan Indonesia, salah satunya kretek.


***

“Perang” kretek dengan kepentingan asing toh nyatanya tidak berhenti hingga kini. Sejak industri rokok kretek di Indonesia dibangun di era Haji Djamhari dan Nitisemito di Kudus hingga berlanjut ke pelbagai daerah di era sekarang, masih banyak pihak yang berusaha merecoki, utamanya demi perpanjangan tangan kepentingan asing yang ironisnya dibantu oleh kalangan bangsa kita sendiri.

Yang paling sering dijadikan tunggangan oleh kepentingan asing dalam menikam industri kretek adalah isu kesehatan. Kretek kerap menjadi kambing hitam yang paling hitam menyoal rangkaian permasalahan kesehatan yang terjadi, sehingga menjadi halal untuk dijadikan musuh bersama. Kretek dengan segala macam komposisinya dituduh sebagai biang penyakit yang memberi sumbangsih tinggi dalam kematian penduduk, dengan mengesampingkan hal-hal lain yang sebenarnya bila dikaji lebih jauh membunuh daya bunuh yang lebih mumpuni dibanding kretek.

Belakangan teknik propaganda yang memusuhi industri kretek di dalam negeri mulai bertambah pola. Isu kesehatan yang tetap menjadi primadona molek untuk menjatuhkan industri rokok kretek seakan dikawinkan dengan isu yang tak kalah senstif: nasionalisme.

Merokok sebagai sebuah pilihan sikap menjunjung tinggi kebanggaan dan kecintaan terhadap warisan budaya negeri—sebagaimana yang ditunjukkan Agus Salim, dibenturkan dengan data-data prematur yang dikoleksi untuk menjadi informasi mentah bahwa merokok justru adalah pilihan sikap yang kontra-nasionalisme. Alasan mereka yang membangun opini ini adalah pabrik rokok di negeri ini yang berskala besar maupun menengah sudah menjadi milik asing. Sehingga logika mereka, merokok berarti sama dengan membela orang asing. Data yang menujukkan bahwa pabrik rokok di dalam negeri semisal Sampoerna yang dikuasai Philip Morris dari Amerika, Bentoel yang dikuasai BAT dari Inggris, Wismilak yang dikuasai Japan Tobacco International dari Jepang, serta beberapa pabrik rokok lain yang dianggap sudah menjadi milik perusahaan asing, menjadi penguat untuk membuat amsal yang menyudutkan rokok secara umum. Mantra untuk opini ini hanya satu: merokok berarti membela asing. Mantra ini seperti menyihir banyak orang untuk kemudian menjadi lupa bahwa masih ada pabrik rokok milik orang Indonesia—misalnya Djarum, Nojorono, Sukun, dan banyak lagi merk rokok produksi pribumi. 

Data-data prematur yang ditunjukkan oleh kaum anti-rokok ini sebenarnya adalah buah dari ambigunya sikap mereka demi lancarnya sekongkol. Ambiguitas ini kemudian berimplikasi pada dua sisi yang bertolak belakang ketika kita membicarakan regulasi menyoal industri tembakau.

Sisi pertama adalah rangkaian regulasi yang memberikan kelancaran jalan untuk kebijakan anti tembakau yang sebagian di antaranya berwujud dalam Peraturan Pemerintah, Perda, UU Kesehatan, dan ketatnya iklan rokok.

Sisi kedua justru menunjukkan longgarnya kebijakan yang menyoal impor tembakau yang angkanya terus meningkat. Dalam waktu lima tahun terdapat kenaikan hampir tiga kali lipat. Impor cerutu juga demikian, naik hampir 200 persen setiap tahun. Para pemain besar di industri rokok dunia juga dengan mudahnya masuk ke Indonesia.

Maka di sinilah letak keganjilannya. Merokok dianggap membantu geliat kepentingan asing. Padahal dalam hal ini, kepentingan asing justru menguat di saat industri rokok dalam negeri dipecundangi lewat beragam kampanye dan regulasi, sedangkan pemain industri rokok dari luar justru dikuatkan oleh kebijakan ambigu tadi. Merokok (dalam hal ini rokok produksi dalam negeri) sama sekali tidak ada hubungannya dengan mendukung kepentingan asing dan perkara mencederai nasionalisme. Kaum anti-rokok menggunakan keberhasilan raksasa rokok dunia mengakuisisi pabrik rokok dalam negeri untuk semakin membunuh pelan-pelan industri rokok kretek yang kian sekarat. Pendek kata, yang milik bangsa sendiri dibekap, yang milik orang asing dibiarkan masuk dan mengerkah sebagian milik kita. Selanjutnya upaya kita membela milik bangsa sendiri dengan merokok hasil produksi mereka, justru dianggap menguatkan milik orang asing. Sebuah logika yang patah-patah.

Industri kretek sejak jaman dulu tumbuh, berkembang dan bertahan lama tanpa tergantung pada modal negara. Bahan bakunya nyaris semua berasal dari tanah kita sendiri.  Dari hulu hingga hilir, puluhan juta tenaga kerja terintegrasi secara langsung maupun tidak. Pasar yang dilayani juga nyaris semuanya menyasar lokal. Belum lagi bila kita bicara lebih banyak soal penyerapan tenaga kerja oleh industri kretek dari hulu ke hilir. Dengan melihat dari kacamata kemandirian ekonomi nasional, industri kretek seharusnya adalah teladan dan panutan.

Maka upaya menghancurkan industri kretek adalah upaya yang harus dilawan. Senjakala industri kretek nasional harus ditunda entah sampai kapan, bila bisa dihentikan. Caranya beragam. Mungkin bisa diawali dengan menunjukkan keberpihakan terhadap industri kretek nasional.  Keberpihakan ini harus ditunjang dengan sikap utama—meminjam ungkapan dari Pramoedya Ananta Toer: adil sejak dalam pikiran terhadap kretek. Sikap ini niscaya tidak memakan mentah-mentah propaganda yang menyudutkan industri kretek, yang bisa membunuhnya pelan-pelan.

Selamatkan kretek, selamatkan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar