Sepanjang hidup manusia berlangsung, apakah yang menjadi kegelisahan terbesarnya? Jika diijinkan sedikit lancang dan sok tahu, saya memilih menyebutkan kegelisahan yang terus mengepung manusia sebelum raganya berkalang tanah adalah rasa was-was akan kehilangan.
Mereka yang terburu-buru adalah
mereka yang cemas kehilangan waktunya. Mereka yang tamak dan loba adalah kaum
yang khawatir kehilangan peluang untuk mengerkah hak yang lain lebih banyak.
Mereka yang oportunis adalah golongan yang selalu resah akan raibnya kesempatan
sekalipun terselip di dalam kesempitan-kesempitan. Ketakutan akan kehilangan
merundung semua orang. Dari orang yang mengaku baik hingga orang yang dituduh
bejat. Dari orang yang papa hingga mereka yang kaya raya. Sekalipun mereka yang
mengaku “menjauhi” dunia agar tak didera kehilangan, toh mereka pada akhirnya
juga merasakan pergulatan melawan kehilangan—setidaknya bagaimana mereka
senantiasa cemas bergulat dengan kesadarannya sendiri agar tidak terlena dengan
kenikmatan dunia yang dianggap memabukkan.
Jika boleh diteruskan, dari
sekian kekhawatiran akan kehilangan, kehilangan manakah yang paling dirasa
menakutkan dan pedih?
Lagi-lagi apabila diijinkan
sekali lagi untuk keminter mereka-reka, saya menjawab bahwa kekhawatiran
manusia terhadap rasa kehilangan yang terbesar adalah kekhawatiran mereka akan
kehilangan ingatannya sendiri. Untuk itulah manusia sedari peradaban entah
kapan seperti enggan untuk menerima kehilangan ingatannya sendiri. Coretan
manusia purba di tembok-tembok gua, monumen-monumen yang dipancang,
prasasti-prasasti yang digurat, roman yang dituturkan, buku-buku yang ditulis,
adalah sekian produk kekhawatiran manusia akan kehilangan ingatannya.
Sebab memang banyak hal yang
datang dan berlalu dengan begitu riuhnya dalam hidup. Banyak kejadian menjadi
pengalaman. Pecahan-pecahannya seperti berjejal-jejal, berdesak-desakkan
berebut mengisi gyrus-gyrus di dalam otak. Lekukan-lekukan otak menjadi lebih
mirip dengan loker yang begitu besar dengan begitu banyak pintu yang
menyediakan ruang untuk diisi. Yang menjadi masalah, adalah cara memasukinya.
Karenanya manusia membuat “kunci” (berupa monumen, prasasti, tulisan, atau
benda-benda berharga) untuk mengakses ruang di dalam loker tersebut, sebagai
upaya menjaga keping-keping hal dan pengalaman tadi menjadi ingatan yang bisa
dipanggil sesaat, sesekali, ataupun selamanya.
Jika racauan ini diperbolehkan
terus dilanjutkan, maka apa yang paling dikhawatirkan manusia hilang dari
ingatannya? Mungkin (ini mungkin lho ya), karena kita adalah manusia, maka hal yang paling dikhawatirkan hilang dari
ingatan banyak orang adalah manusia itu sendiri. Tentang siapa manusia yang
dimaksud, tentu saja jawabannya bisa dirinya sendiri, atau orang-orang yang
dianggap penting dalam perjalanan hidupnya. Mereka mencoba mencari “kunci”
loker yang menyimpan keping-keping hal dan pengalaman tentang manusia (diri
sendiri dan orang lain) yang dianggap
penting dalam hidupnya. Maka akhirnya manusia melakukan banyak ragam cara demi
keberlangsungan upaya menjaga ingatan akan manusia lainnya. Dari yang masih
hidup hingga yang akhirnya berpulang. “Kunci-kunci loker”-nya mulai dari foto,
benda-benda memorabilia, hingga kuburan. Ya, kuburan adalah monumen ingatan manusia
akan manusia yang lain. Ziarah pada dasarnya adalah lebih besar untuk diri kita
sendiri, bukan mereka yang meninggalkan. Dengan ziarah kita membuka loker
ingatan tentang manusia yang semasa hidupnya pernah terkoneksi dengan
perjalanan hidup kita.
Lalu pertanyaannya, jika
kegelisahan terbesar manusia adalah ketakutan akan kehilangan, khususnya
kehilangan ingatan, terlebih khusus lagi ingatan akan manusia yang dianggap
penting dalam hidupnya, maka apakah mereka yang berbahagia adalah mereka yang
mampu mengingat itu semua? Di sinilah paradoks muncul, sekaligus titik dimana
hidup bisa menjadi begitu “renyah” untuk ditertawakan. Karena memang jawabannya
adalah tidak. Manusia yang mencoba mati-matian menjaga ingatan akan seseorang
yang dianggap penting dalam hidupnya, tidak saya yakini bakal berbahagia bila
ia mampu mengingat semua hal sekecil-kecilnya tentang orang tersebut.
Kadang saya sangat bersyukur
karena saya sering lupa. Dan rasa syukur saya bertambah karena sifat pelupa
adalah kecenderungan manusia. Karena memang manusia adalah manusia, yang selalu
berpindah-pindah dari titik baik ke titik buruk. Dua titik ini sendiri juga
berpindah-pindah, tergantung siapa pula yang melihatnya. Sehingga manusia
kadang berbahagia dengan melupakan, membuka loker dan membuang keping-keping
hal dan pengalaman—sekaligus dengan membuang “kunci”-nya. Yang membuat
hidup lebihi layak ditertawakan, terkadang keping-keping hal dan pengalaman
yang sempat menjadi ingatan dan akhirnya dibuang (bahkan dengan “kunci”-nya
sekaligus), muncul mengetuk loker agar diijinkan masuk. Pada tahap
ini, mereka berganti nama menjadi “kenangan”.
Maka mungkin saja menjadi bahagia
adalah bagaimana memenangi kegelisahan untuk menjaga ingatan akan seseorang
dengan memilih hal yang patut diingat dan hal yang patut dibuang. Setiap hari,
dengan usia yang terus bertambah dan batas hidup yang terus menyempit, kita
melawan rasa kehilangan ingatan akan orang lain, sekaligus merelakan sebagian
dari hal tersebut lenyap. Begitupun orang lain terhadap kita.
Hidup pada dasarnya memang
perkara bagaimana kita masing-masing mengakrabi sekaligus melawan ingatan. Sesekali menang, sesekali
merelakan terhempas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar