Selasa, 15 September 2015

Tentang Ingatan






Sepanjang hidup manusia berlangsung, apakah yang menjadi kegelisahan terbesarnya? Jika diijinkan sedikit lancang dan sok tahu, saya memilih menyebutkan kegelisahan yang terus mengepung manusia sebelum raganya berkalang tanah adalah rasa was-was akan kehilangan.

Mereka yang terburu-buru adalah mereka yang cemas kehilangan waktunya. Mereka yang tamak dan loba adalah kaum yang khawatir kehilangan peluang untuk mengerkah hak yang lain lebih banyak. Mereka yang oportunis adalah golongan yang selalu resah akan raibnya kesempatan sekalipun terselip di dalam kesempitan-kesempitan. Ketakutan akan kehilangan merundung semua orang. Dari orang yang mengaku baik hingga orang yang dituduh bejat. Dari orang yang papa hingga mereka yang kaya raya. Sekalipun mereka yang mengaku “menjauhi” dunia agar tak didera kehilangan, toh mereka pada akhirnya juga merasakan pergulatan melawan kehilangan—setidaknya bagaimana mereka senantiasa cemas bergulat dengan kesadarannya sendiri agar tidak terlena dengan kenikmatan dunia yang dianggap memabukkan.

Jika boleh diteruskan, dari sekian kekhawatiran akan kehilangan, kehilangan manakah yang paling dirasa menakutkan dan pedih?


Lagi-lagi apabila diijinkan sekali lagi untuk keminter mereka-reka, saya menjawab bahwa kekhawatiran manusia terhadap rasa kehilangan yang terbesar adalah kekhawatiran mereka akan kehilangan ingatannya sendiri. Untuk itulah manusia sedari peradaban entah kapan seperti enggan untuk menerima kehilangan ingatannya sendiri. Coretan manusia purba di tembok-tembok gua, monumen-monumen yang dipancang, prasasti-prasasti yang digurat, roman yang dituturkan, buku-buku yang ditulis, adalah sekian produk kekhawatiran manusia akan kehilangan ingatannya.

Sebab memang banyak hal yang datang dan berlalu dengan begitu riuhnya dalam hidup. Banyak kejadian menjadi pengalaman. Pecahan-pecahannya seperti berjejal-jejal, berdesak-desakkan berebut mengisi gyrus-gyrus di dalam otak. Lekukan-lekukan otak menjadi lebih mirip dengan loker yang begitu besar dengan begitu banyak pintu yang menyediakan ruang untuk diisi. Yang menjadi masalah, adalah cara memasukinya. Karenanya manusia membuat “kunci” (berupa monumen, prasasti, tulisan, atau benda-benda berharga) untuk mengakses ruang di dalam loker tersebut, sebagai upaya menjaga keping-keping hal dan pengalaman tadi menjadi ingatan yang bisa dipanggil sesaat, sesekali, ataupun selamanya.

Jika racauan ini diperbolehkan terus dilanjutkan, maka apa yang paling dikhawatirkan manusia hilang dari ingatannya? Mungkin (ini mungkin lho ya), karena kita adalah manusia, maka  hal yang paling dikhawatirkan hilang dari ingatan banyak orang adalah manusia itu sendiri. Tentang siapa manusia yang dimaksud, tentu saja jawabannya bisa dirinya sendiri, atau orang-orang yang dianggap penting dalam perjalanan hidupnya. Mereka mencoba mencari “kunci” loker yang menyimpan keping-keping hal dan pengalaman tentang manusia (diri sendiri dan orang lain)  yang dianggap penting dalam hidupnya. Maka akhirnya manusia melakukan banyak ragam cara demi keberlangsungan upaya menjaga ingatan akan manusia lainnya. Dari yang masih hidup hingga yang akhirnya berpulang. “Kunci-kunci loker”-nya mulai dari foto, benda-benda memorabilia, hingga kuburan. Ya, kuburan adalah monumen ingatan manusia akan manusia yang lain. Ziarah pada dasarnya adalah lebih besar untuk diri kita sendiri, bukan mereka yang meninggalkan. Dengan ziarah kita membuka loker ingatan tentang manusia yang semasa hidupnya pernah terkoneksi dengan perjalanan hidup kita.

Lalu pertanyaannya, jika kegelisahan terbesar manusia adalah ketakutan akan kehilangan, khususnya kehilangan ingatan, terlebih khusus lagi ingatan akan manusia yang dianggap penting dalam hidupnya, maka apakah mereka yang berbahagia adalah mereka yang mampu mengingat itu semua? Di sinilah paradoks muncul, sekaligus titik dimana hidup bisa menjadi begitu “renyah” untuk ditertawakan. Karena memang jawabannya adalah tidak. Manusia yang mencoba mati-matian menjaga ingatan akan seseorang yang dianggap penting dalam hidupnya, tidak saya yakini bakal berbahagia bila ia mampu mengingat semua hal sekecil-kecilnya tentang orang tersebut.

Kadang saya sangat bersyukur karena saya sering lupa. Dan rasa syukur saya bertambah karena sifat pelupa adalah kecenderungan manusia. Karena memang manusia adalah manusia, yang selalu berpindah-pindah dari titik baik ke titik buruk. Dua titik ini sendiri juga berpindah-pindah, tergantung siapa pula yang melihatnya. Sehingga manusia kadang berbahagia dengan melupakan, membuka loker dan membuang keping-keping hal dan pengalaman—sekaligus dengan membuang “kunci”-nya. Yang membuat hidup lebihi layak ditertawakan, terkadang keping-keping hal dan pengalaman yang sempat menjadi ingatan dan akhirnya dibuang (bahkan dengan “kunci”-nya sekaligus), muncul mengetuk loker agar diijinkan masuk. Pada tahap ini, mereka berganti nama menjadi “kenangan”.

Maka mungkin saja menjadi bahagia adalah bagaimana memenangi kegelisahan untuk menjaga ingatan akan seseorang dengan memilih hal yang patut diingat dan hal yang patut dibuang. Setiap hari, dengan usia yang terus bertambah dan batas hidup yang terus menyempit, kita melawan rasa kehilangan ingatan akan orang lain, sekaligus merelakan sebagian dari hal tersebut lenyap. Begitupun orang lain terhadap kita.

Hidup pada dasarnya memang perkara bagaimana kita masing-masing mengakrabi sekaligus melawan ingatan. Sesekali menang, sesekali merelakan terhempas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar