Minggu, 28 September 2014

Patriot Mayantara


 
Gambar diambil dari sini

Menatap Indonesia di tahun 2014 adalah menatap bagaimana teknologi komunikasi memberikan peran yang sangat penting dalam menentukan nasib suatu bangsa. Di tahun inilah, rangkaian proses pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden berlangsung dengan dimeriahkan oleh pemanfaatan kekuatan kasat mata teknologi komunikasi. Kekuatan ajaib inilah yang kemudian memberi corak sekaligus pengaruh tersendiri bagi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara langsung, untuk menghasilkan pemimpin terpilih yang kelak menentukan kondisi bangsa.

Salah satu bagian dari  teknologi komunikasi yang dimaksud adalah social media atau media sosial. Social media adalah media daring (terhubung internet) yang mendukung interaksi sosial, menggunakan teknologi berbasis web dan mempunyai pola komunikasi yang bersifat interaktif.

Pakar komunikasi media, Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, membuat definisi lain tentang media sosial.  Menurut mereka media sosial adalah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.

Media sosial ini juga terdiri dari beberapa jenis. Antara lain adalah web log atau kerap  disebut blog serta jejaring sosial macam Facebook dan aplikasi mikroblogging Twitter.  Jejaring sosial  adalah ragam media sosial yang paling digemari oleh pengguna internet alias netizen di Indonesia.

Tentang keaktifan di media sosial, netizen di Indonesia masuk jajaran atas. Silakan cermati datanya. Misalnya dari data yang dilansir dari sumber statistika Peer Reach. Untuk aplikasi Twitter, Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia yang menggunakan aplikasi untuk bercuit ini. Angkanya menyentuh 6,5 % dari populasi tweeps (sebutan pengguna Twitter) di seluruh dunia. Hanya di bawah Amerika Serikat (24,3%) dan Jepang (9,3%), mengungguli negara lain macam Inggris dan Brazil yang masing-masing menduduki peringkat keempat dan kelima. Data lain menyebutkan bahwa setiap hari, hampir 3% tweet di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Itu bermakna bahwa setiap tweet dikirim setiap 15 detik.

Keaktifan netizen Indonesia di lanskap sosial media juga selaras dengan data yang dilansir dari survei data global Web Index. Survei  itu menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang paling aktif di Asia dalam menyoal penggunaan media sosial. Duduk di peringkat pertama dengan persentase 79,7%, Indonesia mengungguli Filipina di peringkat kedua (78%) yang disusul Malaysia dengan raihan 72%.

Masih ada lagi data dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) yang mengatakan bahwa dari 63 juta orang pengguna internet di Indonesia, 95% persen di antaranya menggunakan internet untuk media sosial.

Riuhnya media sosial tak lain karena sifatnya yang mudah untuk diakses oleh penggunanya, bahkan hanya lewat telepon genggam atau handphone. Seiring dengan kemajuan teknologi, kecanggian handphone juga terus berkembang. Pasar handphone pintar atau smartphone kian ramai. Dan bukan rahasia lagi, Indonesia dengan kelas menengahnya yang dominan adalah mangsa empuk bagi produsen smartphone. Dari pengguna smartphone inilah, Indonesia lantas duduk di peringkat yang tinggi dalam pemanfaatan  berbagai media sosial.

Selain mudah diakses dan lebih cepat dalam penyampaian informasi, media sosial untuk memungkinkan untuk kelangsungan komunikasi beragam arah. Sifat media sosial inilah yang paling disukai. Informasi begitu cepat terunggah sekaligus terespon. Media sosial dianggap sangkil dan mangkus dalam penyebaran informasi secara cepat.

Tapi di balik sisi positif media sosial sebagai anak kandung teknologi komunikasi, ternyata juga tersimpan sisi negatifnya. Karena begitu cepat terunggah dan terespon, masyarakat akan mudah tersesat dalam belantara informasi. Kecepatan informasi yang terunggah tidak selalu berbanding lurus dengan keakuratannya, sebab kerap menihilkan laku verifikasi.


Palagan Dunia Maya

Dua sisi media sosial ini disadari betul oleh praktisi politik di tanah air. Media sosial dijadikan sebagai sarana kampanye oleh masing-masing kandidat (baik calon anggota legislatif maupun calon presiden) beserta tim suksesnya.

Positifnya, masyarakat menjadi paham tentang siapa calon yang akan dia pilih. Pemaparan program dan penjabaran visi-misi serta profil calon anggota legislatif dan calon presiden bisa dilakukan lewat media sosial yang notabene sangat dekat dengan laku masyarakat sehari-hari.

Negatifnya, tentu saja masyarakat tersesat dalam pekatnya  belantara informasi dari media sosial. Benar dan salah menjadi perkara yang terlampau bias. Kampanye hitam berisi informasi yang menjelekkan kandidat lain menjadi persoalan yang terlampau biasa dilakukan.

Maka media sosial menjadi sebuah palagan di dunia maya. Medan perang untuk berebut pengaruh.Ketika beragam informasi yang berisi kebohongan digencarkan, maka serangan informasi yang dibangun dari keakuratan dan verifikasi yang terukur memberi balasan. Begitu seterusnya. Bergantian. Pesta demokrasi menjadi sebuah gelaran perang pengaruh dalam medan teknologi komunikasi bernama media sosial. Dari hanya sekadar pertarungan praktisi politik, palagan ini kemudian diramaikan oleh banyak orang yang peduli bahwa Indonesia harus menjadi lebih baik. Salah satunya dengan turut serta dalam keriuhan pesta demokrasi ini dengan memanfaatkan media sosial.

Dari medan perang inilah lahir orang-orang yang tulus berjuang demi Indonesia. Beberapa mungkin mencibir, bahwa sinyalir partisipasi yang tak benar-benar tulus—dalam artian berbayar, tak bisa ditampik. Namun banyak dari mereka yang menunjukkan partisipasinya dalam pengaruh ini adalah orang-orang yang benar-benar mencintai Indonesia lewat caranya sendiri.

Dalam perang di dunia maya, tak berlebihan bahwa mereka diberi gelar “Patriot Mayantara”. Pahlawan yang mencintai negerinya lewat peperangan di dunia maya. Senjatanya tentu saja niatan baik dan informasi yang benar serta terukur demi terpilihnya pemimpin yang lebih baik untuk Indonesia.

Metode yang dipilih sebagai alat perjuangan juga bervariasi. Sebagian besar memanfaatkan kicauan pendek dengan jatah 140 karakter di Twitter. Sebagian lagi membuat posting di laman Facebook. Beberapa membuat video dengan durasi singkat tentang keberpihakan kelompok-kelompok tertentu terhadap salah satu kandidat. Yang lain membuat infografis tentang masing-masing kandidat. Ada juga yang sampai membuat komik dan produk grafis lain yang bisa diunduh secara gratis. Media sosial juga menjadi pijakan untuk membuat medium berkumpul yang lebih besar. Misalnya, dari media sosial pula mereka mengumumkan gelaran konser musik gratis besar-besaran yang bertujuan untuk menunjukkan dukungan terhadap salah satu kandidat.

Ramainya kontribusi netizen dalam pemilu tahun 2014 bukan hanya ketika pemilu belum berlangsung atau di masa kampanye, namun juga ketika pemilu sudah usai. Kali ini polanya sedikit berbeda. Ketika masa kampanye, internet digunakan sebagai media agar pengaruh bisa tertanam dan mengarahkan keberpihakan kepada kandidat yang hendak dipilih. Ketika pemilu usai, internet digunakan sebagai media untuk memonitor suara rakyat yang sudah diberikan, agar tidak diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Sama halnya dengan masa kampanye, di masa-masa pasca pemilu ini muncul pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan jauh dari tempik sorai. Mereka tulus berbuat demi Indonesia yang lebih baik. Secara sukarela, menjadi pengawal suara di dunia maya.

 
Ainun Najib, sosok penggagas situs kawalpemilu.org. Gambar diambil dari sini.

Salah satu dari mereka adalah sosok sederhana bernama Ainun Najib. Bersama dua sejawatnya di luar negeri, dia merakit situs hitung suara untuk menjaga suara rakyat tidak diselewengkan. Alumnus jurusan rekayasa komputer di Nanyang Technological University ini merasa terpanggil untuk berkontribusi ketika melihat situasi politik di Indonesia memanas usai pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 lalu. Ainun, yang sehari-hari bekerja sebagai konsultan IT di perusahaan teknologi multinasional dan berdomisili di Singapura, membuat situs kawalpemilu.org. Situs rakitannya ini menayangkan real count rekapitulasi surat suara berdasarkan tabulasi data formulir C1 KPU.

Tingkat keamanannya juga kokoh nian. Pengamanannya berlapis-lapis. Server internalnya di-hosting ke Google dan Amazon, server eksternalnya dilapisi dengan teknologi CloudFlare. Dengan pengamanan yang demikian, cara hacking atau peretasan standar tidak akan mempan terhadap situs tersebut.

Cara koordinasi Ainun dan sejawatnya juga benar-benar unik. Mereka tidak pernah melakukan rapat secara fisik. Semuanya dilakukan di mayantara. Dari situs itu, mereka merekrut relawan dari beragam latar belakang dengan metode yang bersifat eksponensial. Teman mengajak teman. Kendati demikian, kredibilitasnya juga tetap terpantau. Ainun juga tidak memersoalkan apabila relawan yang bergabung adalah simpatisan salah satu kandidat. Tak jadi soal, asal tidak mengacaukan data. Selama bekerja untuk kawalpemilu.org, Ainun mendapatkan 700 relawan yang membantunya. Hampir separuhnya di Singapura, sedang sisanya tersebar di seluruh dunia.

Pada Mulanya adalah Kepedulian dan Sikap Optimistis

Ainun dan relawan-relawan lain adalah contoh, bahwa berbuat sesuatu untuk negara bisa dilakukan oleh siapapun dan dalam level apapun. Dari gelaran pemilu 2014 kemarin, mereka memberi contoh, bahwa yang menjadi modal penting adalah kepedulian dan sikap optimistis.

Modal yang membuat kita melihat dari sudut pandang baru. Bahwa bagaimanapun, politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup sehari-hari. Kebijakan politik bagaimanapun akan bersinggungan dengan kepentingan kita yang paling kecil sekalipun. Sehingga menunjukkan sikap tidak peduli bermakna sama dengan tidak peduli dengan kehidupan kita sendiri.

Ketika pemilu sudah usai, bukan berarti ruang untuk kita berkontribusi sudah tertutup. Banyak hal di luar sana menunggu partisipasi kita. Pelayanan publik yang kacau, kebijakan politik yang sewenang-wenang, atau hal-hal lain yang membutuhkan gerakan nyata yang artikulasinya bisa dimulai dengan memanfaatkan teknologi informasi, terutama internet.

Di jaman ini, patriotisme tidak lagi seperti apa yang dibilang oleh Goenawan Mohamad: api lilin di dalam tong; terang, tapi terkurung. Patriotisme sudah bisa ditembus sekatnya dan dirasakan nyala pijarnya oleh siapapun. Internet dan teknologi komunikasi yang memudahkannya.

Hal-hal yang buruk selalu terjadi, sebab dunia terus bergerak dengan segala kemungkinan. Namun sikap pesmis sebaiknya kita pendam. Yang penting pada mulanya adalah kepedulian dan sikap optimistis. Selanjutnya, biarkan teknologi komunikasi yang berbuat keajaiban.

Mereka, patriot-patriot mayantara, sudah memberi contoh. 


================================================================

*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi XL Award kategori karya tulis. Tema yang dipilih adalah “Peran Teknologi Komunikasi dalam Menumbuhkan Kepedulian Masyarakat dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”
 

Selasa, 16 September 2014

Sebuah Hikayat tentang Harimau dan Pawangnya






Karena banyak hal yang harus kita catat. Kita pancang tonggaknya agar sesekali kita dapat berkunjung ke sana. Menziarahi ingatan sendiri dengan kedua tangan kita yang saling menggenggam. Sesekali kita berpelukan.  Seperti hikayat harimau dan pawangnya yang harus kita wariskan pada anak-anak ruhani kita kelak. 

Ini tentang sebuah sore yang hangat. Sangat hangat. Cahaya yang oranye dan meredup malu-malu melewati celah-celah jendela. Tirai-tirai berwarna karamel menjadi penghalang, namun tak kuasa. Barisan aksara mematung. Kursor di monitor komputer hanya  berkedip-kedip. Pada sebuah gelanggang dengan sebuah meja di tengahnya, seekor harimau ditaklukkan dengan anggun oleh pawangnya, wanita kecil yang lincah serupa kelinci. 

Betapapun hebatnya sang harimau, pada akhirnya dia tetap harus mengakrabi perihal pahit: ia harus sendiri. Menyusuri belantara hidup, menyelami lautan basa-basi, mencakar-cakar realita dan mengaum untuk meluapkan kerinduannya pada sang pawang. Ia dianggap menebar teror dan ketakutan. 

Tak ada yang tahu kabar sang harimau. Dalam rahasianya yang pekat, ia menjadi tak kasat mata. Hingga di sebuah purnama yang sempurna, aku merasakan ada yang janggal di tubuhku. Perlahan, tubuhku memberat. Ada panas yang menyeruak di dalam. Aku sempat kejang dalam hitungan beberapa detik lalu tak sadarkan diri. Beberapa menit setelahnya aku terbangun. Kulihat diriku di cermin. Aku kini menjadi harimau itu. Merindukan pawangku.