Karena banyak hal yang harus
kita catat. Kita pancang tonggaknya agar sesekali kita dapat berkunjung ke
sana. Menziarahi ingatan sendiri dengan kedua tangan kita yang saling
menggenggam. Sesekali kita berpelukan. Seperti hikayat harimau dan pawangnya yang
harus kita wariskan pada anak-anak ruhani kita kelak.
Ini tentang sebuah sore yang
hangat. Sangat hangat. Cahaya yang oranye dan meredup malu-malu melewati
celah-celah jendela. Tirai-tirai berwarna karamel menjadi penghalang, namun tak
kuasa. Barisan aksara mematung. Kursor di monitor komputer hanya berkedip-kedip. Pada sebuah gelanggang dengan sebuah meja di tengahnya, seekor harimau ditaklukkan dengan anggun oleh
pawangnya, wanita kecil yang lincah serupa kelinci.
Betapapun hebatnya sang
harimau, pada akhirnya dia tetap harus mengakrabi perihal pahit: ia harus
sendiri. Menyusuri belantara hidup, menyelami lautan basa-basi, mencakar-cakar
realita dan mengaum untuk meluapkan kerinduannya pada sang pawang. Ia dianggap
menebar teror dan ketakutan.
Tak ada yang tahu kabar sang
harimau. Dalam rahasianya yang pekat, ia menjadi tak kasat mata. Hingga di sebuah purnama yang
sempurna, aku merasakan ada yang janggal di tubuhku. Perlahan, tubuhku
memberat. Ada panas yang menyeruak di dalam. Aku sempat kejang dalam hitungan
beberapa detik lalu tak sadarkan diri. Beberapa menit setelahnya aku terbangun.
Kulihat diriku di cermin. Aku kini menjadi harimau itu. Merindukan pawangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar