Selasa, 16 September 2014

Sebuah Hikayat tentang Harimau dan Pawangnya






Karena banyak hal yang harus kita catat. Kita pancang tonggaknya agar sesekali kita dapat berkunjung ke sana. Menziarahi ingatan sendiri dengan kedua tangan kita yang saling menggenggam. Sesekali kita berpelukan.  Seperti hikayat harimau dan pawangnya yang harus kita wariskan pada anak-anak ruhani kita kelak. 

Ini tentang sebuah sore yang hangat. Sangat hangat. Cahaya yang oranye dan meredup malu-malu melewati celah-celah jendela. Tirai-tirai berwarna karamel menjadi penghalang, namun tak kuasa. Barisan aksara mematung. Kursor di monitor komputer hanya  berkedip-kedip. Pada sebuah gelanggang dengan sebuah meja di tengahnya, seekor harimau ditaklukkan dengan anggun oleh pawangnya, wanita kecil yang lincah serupa kelinci. 

Betapapun hebatnya sang harimau, pada akhirnya dia tetap harus mengakrabi perihal pahit: ia harus sendiri. Menyusuri belantara hidup, menyelami lautan basa-basi, mencakar-cakar realita dan mengaum untuk meluapkan kerinduannya pada sang pawang. Ia dianggap menebar teror dan ketakutan. 

Tak ada yang tahu kabar sang harimau. Dalam rahasianya yang pekat, ia menjadi tak kasat mata. Hingga di sebuah purnama yang sempurna, aku merasakan ada yang janggal di tubuhku. Perlahan, tubuhku memberat. Ada panas yang menyeruak di dalam. Aku sempat kejang dalam hitungan beberapa detik lalu tak sadarkan diri. Beberapa menit setelahnya aku terbangun. Kulihat diriku di cermin. Aku kini menjadi harimau itu. Merindukan pawangku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar