Sabtu, 29 September 2012

Kepada Kereta


Kereta adalah moda transportasi yang paling saya gemari. Terlepas dengan segala macam perasaan yang beraduk saat saya menaikinya. Selain faktor kenyamanan, pengaturan waktu juga relatif lebih mudah. Beruntunglah saya tidak hidup di jaman Iwan Fals menggubah lagu Kereta Tiba Pukul Berapa.

Kereta selalu berhasil membuat saya sentimentil. Setiap melakukan perjalanan dengan kereta, setiap itu pula saya mendadak menjadi murung. Sepanjang jalan saya akan melamun hebat. Dan banyak hal di dalam pikiran yang tiba-tiba berkelebat.

Segala hal yang menyangkut kereta --bangku peron, rel, stasiun, wajah-wajah penumpang, menghimpun suara-suara di dalam hati yang seakan bernyanyi bersama dengan lirih. Harapan yang menguncup untuk bertemu, rindu yang pupus pada perpisahan, kesendirian yang asing, kegelisahan yang kerap berbisik, atau remah-remah ingatan yang mendadak mengumpul.




Saya pernah mengalami perasaan-perasaan itu semua. Kereta menjadi saksi, walau sering tampak tidak peduli. Ia tetap melaju ke depan. Seperti menampik, bahwa semenarik apapun hidup di depan, segala yang silam tetap saja mengabadi dalam kenangan. Kereta berlagak acuh, seakan menolak bahwa hidup dikhidmati dengan menziarahi ingatan-ingatan. Ia tetap maju ke depan, stasiun demi stasiun, batas demi batas, penantian demi penantian.

Perjalanan dengan kereta, bagi saya menjadi pelajaran yang mendewasakan. Dengan beraduknya perasaan, saya memiliki banyak pilihan sudut pandang. Yang paling sering, saya sering dihantarkan pada perhentian terakhir: bahwa tidak semua hal yang kita inginkan akan tercapai.

Menyoal ini, saya teringat sajak Sitok Srengenge, Kereta judulnya. Saya menasbihkannya sebagai muara dari perasaan saya yang beraduk setiap melakukan perjalanan dengan kereta.

...
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku

Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir

Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam

Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban

Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku

Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut

Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir

Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu

Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita bersua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
 ...

Dan kamu, ketahuilah, kepada kereta yang melaju pada senja temaram yang urung kita rayakan dengan pelukan, aku titipkan salam untukmu.

Jumat, 07 September 2012

Anak Sulung Bernama "ALERT!"




Saya membuka paket buku yang berbungkus kertas berwarna merah itu dengan perlahan. Sangat pelan. Semacam sikap berhati-hati yang terlewat berlebihan. Seperti seniman keramik yang memperlakukan karya pertamanya, khawatir pecah. Atau sebagaimana seorang koki yang mengeluarkan masakan pertamanya dari dalam microwave, takut tumpah. Selayaknya seorang pelukis yang hendak membingkai lukisan pertamanya lalu ia pajang di dinding kamar, khawatir robek. Dan persis seperti seorang ayah yang pertama kali menimang anak sulungnya. Kaku dan cemas, tapi senang bukan kepalang. 

Setelah berjeda sekian detik, ada perasaan aneh yang berkumpul di rongga dada. Sedikit menyesakkan. Membuat mulut saya sedikit bergetar, dan mata saya menatap menerawang jauh. Kemudian sisanya adalah sensasi yang aneh. Lebih aneh dari orgasme pertama saat mimpi basah di kala masa pubertas remaja. Sensasi yang tidak terbayang sebelumnya. Semacam perasaan yang sukar dijelaskan. Semisal tiba-tiba terjebak berdua di dalam lift dengan  perempuan cantik macam Gong Li atau Laura Basuki selama berjam-jam.

Saya menatap buku itu. Ada nama saya di halaman depannya. Saya berteriak dalam hati saat membaca nama itu. Juga berpekik sekencang mungkin di dalam batin ketika membaca judul bukunya. 

Kemudian saya menciumnya perlahan. Dari sampul, hingga lembar-lembar yang aromanya khas. Khidmat. Sambil berdoa. 

***

Saya dibesarkan di lingkungan dengan iklim baca-tulis biasa saja. Bahkan cenderung lemah. Di keluarga besar kakek-nenek saya, hanya bapak yang sedikit gemar membaca. Bapak saya adalah penggemar cerita silat. Beliau adalah fans militan Kho Ping Hoo sedari muda. Bahkan terlampau fanatik, sehingga susah diluruskan. Bapak selalu menolak menerima pendapat bahwa Sin Tiauw Hap Liu  atau yang populer dengan The Return of Condor Heroes dan To Liong To atau Golok Pembunuh Naga adalah karangan Chin Yung. Menurut Bapak, kedua epik legendaris itu adalah karya Kho Ping Hoo. Saya akhirnya mengalah saja. Toh, bagaimanapun, sedikit atau banyak, urat baca saya dipengaruhi oleh fanatisme Bapak terhadap buku-buku cerita silat. 

Kecintaan saya terhadap buku kian menguat di masa-masa kuliah. Saya waktu itu banyak menghabiskan waktu di selasar perpustakaan kota. Meminjam banyak buku-buku karya nama-nama besar yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Maklum saja, saya dibesarkan di kota kecil dengan semangat literasi yang lesu. Sehingga praktis, wacana saya soal buku sangat terbatas. Dan tak aneh ada sikap kemaruk saat saya kuliah di kota yang semangat literasinya cukup kuat. Saya seakan ingin melahap bacaan apa saja. Tapi sikap kemaruk itu tidak baik. Sebab ujung-ujungnya cukup banyak buku yang tidak selesai dibaca. 


Dari situ pula saya memiliki niat yang tumbuh liar menjadi obsesi. Bahwa kelak suatu hari, saya harus menulis buku. Apapun kelamin buku itu nantinya. Niat yang tumbuh liar ini kadang menyeruak, mengganggu kejernihan berpikir. Yang ada saat itu adalah niat menulis buku untuk gagah-gagahan. Karena liar, saya pun belajar dengan liar. Saya yang tidak punya dasar metode menulis yang baik mengingat latar belakang keluarga dan pendidikan saya, akhirnya hanya sekadar menulis ngawur. Dan untuk sekian lama, niatan yang liar tadi hanya tumbuh menjadi sekadar niatan, yang tak pernah menjadi kongkrit. Saya tak juga menulis buku walau secara kebetulan tulisan-tulisan saya yang tidak jelas pernah dimuat beberapa kali di surat kabar-surat kabar yang tidak kalah tidak jelas oplah serta kapasitasnya.

Maka ijinkan saya mengucap syukur kepada semesta raya, yang mempertemukan saya dengan orang-orang baik lewat berkah akhir zaman bernama internet. Lewat internet, saya bertemu guru-guru virtual yang mengajari saya menulis, membuka wawasan, memperkaya sudut pandang, menajamkan gagasan, atau sekadar cengengesan. Sampai sekarang, banyak dari mereka yang tak pernah saya jumpai batang maupun bulu hidungnya. Tapi ilmu yang mereka berikan di balik sikap nyinyir, umpatan, maupun omelan, banyak yang saya pakai untuk merapikan niatan menulis buku, sebelumnya tumbuh liar, sekaligus benar-benar mewujudkannya dalam bentuk buku.

Sampai pada akhirnya buku itu selesai juga. Saya beri nama ia ALERT! Dengan meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, anak rohani saya akhirnya lahir juga. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah anak rohani yang lahir prematur. Menganggap rahim saya tidak cukup kuat untuk mengandungnya. Tapi itu tak jadi soal. Anak-anak rohani saya akan dituntun semesta untuk menguatkan dirinya sendiri setelah lahir. 

ALERT! saya tulis dengan proses yang singkat namun dengan konsepsi ide yang lama. Belum lagi niatan menahun yang sudah mengakar di benak saya. Secara teknis, penggarapannya sekitar dua bulan. Saya bukan tipikal orang yang menulis dengan khusyuk. Saya belajar untuk menulis di mana saja, dengan piranti apa saja. Sehingga saya mencoba memaklumi diri sendiri ketika saya banyak melakukan salah ketik, sebab saya kerap menulis dengan ponsel. Menulis dengan ponsel mengkondisikan diri saya dengan mudah menabrak pengaturan tanda baca dan sekian aturan baku lainnya. Ini bukan apologi, hanya semacam penjelasan yang kurang penting. 

Saya selalu percaya bahwa menulis adalah persoalan berdamai dengan diri sendiri. Ketika batin sedang berkecamuk dengan keresahan-keresahan dan perang hebat terjadi di dalamnya, menulis adalah laku perdamaian yang paling ampuh. Atas dasar itulah saya menuliskan ALERT!, yang berangkat dari "keresahan" saya selama menjalani profesi saya di rumah sakit.

Dunia kesehatan adalah dunia yang kompleks. Masalah terus datang dan problematika terus berbiak. Tuntutan masyarakat juga kian meninggi. Belum lagi dilema aspek etis karena sektor yang dihadapi adalah sektor yang sensitif sebab kaitannya dengan hidup-mati seseorang. Itu semua menjadi semakin susah ketika kita diharuskan mengatasi rangkaian kompleksitas itu dalam waktu yang cepat, dalam tekanan yang terus menghimpit, sebagaimana di Unit Gawat Darurat. 
Segenap hal yang ada dalam kompleksitas itu yang saya coba damaikan dengan diri saya sendiri. Sebisa mungkin saya mencoba mengurai ragam permasalahan yang kerap terselip dan terlewat, namun keberadaannya kerap dirasa penting. 

Saya juga merasa bahwa saya adalah seorang pelupa. Maka dari itu, saya menulis. Saya menulis hal-hal yang penting namun kerap terabaikan dalam sistem pelayanan gawat darurat agar minimal diri saya sendiri tidak lupa. Seperti pepatah Latin yang usang, scripta manent verba volant. Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

 Dua hal yang mendasari mengapa saya menulis ALERT! tadi saya lengkapi dengan semangat berbagi. Barangkali saja ide-ide yang saya rangkum dalam buku ini, bisa berarti bagi orang lain. Saya sepakat bahwa sifat dasar ide adalah saling mempengaruhi. Jadi saya mencoba menyebarkan pengaruh yang saya anggap baik, melalui buku ini. Dan yang menjadi sasaran bukan hanya mereka yang berkutat dan bergelut sebagai subjek di tengah permasalahan pelayanan kesehatan (utamanya gawat darurat) yang kian majemuk. Namun juga masyarakat secara umum. Banyak hal yang menarik dari ruang sempit bernama Unit Gawat Darurat yang masyarakat tidak tahu, sekadar sebagai informasi atau bahan pembelajaran secara umum. 

Unit Gawat Darurat adalah unit yang penuh paradoks. Ada silang sengkarut nilai yang bertebaran di sana. Di tempat itu, ironi dan tragedi sama pekatnya dengan harapan dan optimisme. Peluang berbuat salah menganga lebar sekaligus didampingi oleh itikad baik untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ini adalah unit yang manusiawi, bukan unit yang dihuni sekawanan peri atau bahkan mutant yang penuh keajaiban.

Well, saya tidak menaruh ekspekstasi yang berlebih kepada anak saya ini. "Biarkan semesta yang menuntun," begitu kata Paulo Coelho di The Alchemist. Sampai saat ini, saya merasa tidak cukup profesional untuk menulis buku. Itu memang benar, saya berangkat dengan semangat amatir. Amatir sendiri berasal dari bahasa Perancis, yakni amateure yang bermakna bersenang-senang.Tapi bukan berarti saya kurang serius. I'm playing seriously.


Saya akan membiarkan anak saya ini tumbuh dan mengembara dengan caranya sendiri. Saya menitipkan doa padanya, agar ia bisa membawa kebaikan, terlebih mampu menggandakan kebaikan itu. Dan saya juga berdoa, agar kelak ia mengabadi tentunya, sebagaimana fitrah anak rohani pada umumnya.

Saya sepakat agar kelahiran anak sulung ini dirayakan. Langkah pertama, adalah dengan berbagi berita gembira. Langkah kedua adalah dengan mengapresiasinya melalui proses membaca. Dan langkah ketiga, sekaligus langkah yang paling penting adalah mencarikan kawan untuknya, menghadirkan adik baginya, dengan terus menulis buku. 

 Stay healthy, stay ALERT!


Selasa, 04 September 2012

Semesta Kecil, Paman Tyo, dan Upaya Memelihara Kewarasan

Saya kira, semakin lama kita hidup di zaman di mana kemungkinan orang menjadi gila semakin besar. Saya memang belum menengok signifikansi statistik pertambahan penghuni rumah sakit jiwa dibandingkan tuntutan hidup yang kian beragam dan variannya tak pernah bertambah sedikit. Toh, data tidak selalu relevan. Banyak orang yang kurang waras secara diam-diam. Saya atau sampeyan, bisa jadi satu di antara sekian banyak yang lain. 


Penyebabnya barangkali klise. Yaitu kemauan dan kebutuhan kita semakin tidak jelas batasnya. Alur hidup di zaman ini memaksa kita mengkonsumsi banyak hal yang samar antara remeh dan penting. Kita semacam saling diadu pada track panjang yang tidak berujung dengan saling sikat dan saling sikut. 


Salah satu tolok ukur bahwa ketidakwarasan semakin menggejala yang paling bisa dilihat secara mudah, adalah semakin banyaknya motivator. Dengan semakin banyak orang yang mengaku ahli menyuntikkan motivasi, berarti memang "pasar" meminta banyak. Orang-orang yang penuh asa semakin menyusut. Yang ada orang-orang yang mengaku hilang arah, limbung, labil dan ogah-ogahan, sehingga perlu diajari lagi caranya menanam semangat. Jangan lupa, para motivator ini harus dibayar. Sangat mahal.


Tolok ukur lainnya adalah semakin banyaknya orang-orang yang mengklaim dirinya pemuka agama. Agama memang sangat seksi untuk dijadikan wahana eskapis dari mereka yang sudah kelewat jengah dengan ritmik hidup yang dirasa menyiksa. Ketika dunia sudah tidak mampu mereka "taklukkan", proyeksi mereka bergeser ke ranah lain yang tidak pernah kita kunjungi sebelumnya. Ada yang menyebutnya akhirat, afterlife, atau apalah itu.  Orang-orang yang mengaku dirinya pemuka agama semacam ini, terkadang mirip motivator. Tak jauh beda. Cuma yang ini lebih sering bawa nama tuhannya. Tapi tetap kok, mereka dibayar. Tidak kalah mahal. 


Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang terjadi yang bisa dijadikan cerminan menggilanya kehidupan belakangan. Tapi tak usah diurai semua, nanti kita bisa menjadi semakin kurang waras. Lebih baik kita membahas hal-hal kecil yang barangkali kerap terlihat tidak penting, padahal efeknya manjur untuk memelihara kewarasan kita.

Antyo Rentjoko alias Paman Tyo. Gambar diambil dari sini

Sebagaimana yang dilakukan paman satu ini, Antyo Rentjoko namanya. Blogger senior, sangat senior bahkan. Blogger panutan saya ini mempunyai kebiasaan unik yang dilakukannya untuk memelihara kewarasan. Ia memotret banyak hal. Bahkan memotret hal-hal yang terkesan tidak penting. Ia gemar berjalan-jalan, naik sepeda kayuh, sambil membawa kamera saku. Atau jika ia tidak membawa kamera saku, ia cukup memaksimalkan potensi kamera ponselnya. Yang menjadi objek fotonya seringkali objek-objek yang kerap diabaikan dari perhatian. Ia memotret etalase, korek api, asbak, daun gugur, jam dinding, lampu kamar, kartu nama, atau apapun. Dengan penuh kesungguhan ia memotret. Mencari angle paling unik dan mengatur komposisi paling menarik. 

Saya tampilkan beberapa di antaranya. Saya comot langsung dari blognya.




Paman Tyo mengaku sendiri bahwa apa yang ia lakukan adalah upaya menjaga kewarasannya. Ia tidak mau patuh pada arus hidup yang melaju kencang dan berpotensi membuat gila. Ia memilih memperhatikan hal-hal kecil yang kerap terselip dan terlewat, mengabadikannya lewat jepretan kamera, dan mengunggahnya di blog. Soal ini, Paman Tyo punya banyak lapak. Dan semuanya ia gunakan sebagai sarana penjaga kewarasan.


Ya, blogging juga upaya melawan kegilaan. Upaya memelihara kewarasan. Mungkin menuliskan hal-hal yang kerap terlewat dan terselip, menata kalimat dan mengurutkan pemahaman, menguraikan perasaan, lalu menyebarnya di blogsphere memang lebih terkesan mirip laku yang tak kalah kurang waras. Namun saya percaya, itu justru kebalikannya. Blogging lebih mirip upaya menata langkah. Agar kita tidak terburu-buru dan tergesa berlari, tapi berjalan khidmat dan memperhatikan hal-hal di sekitar kita. Saya sering menyebut hal-hal itu sebagai semesta kecil. A Little Universe


Semakin lama, saya kira hidup akan melaju semakin kencang. Semakin menawarkan ragam kegilaan. Kita tidak bisa mengubah arus yang masif itu. Tidak akan bisa. Tapi kita bisa memilih. Untuk sekadar terseret arus, atau justru memilih menata langkah. Mengakrabi hal-hal yang kerap kita lalaikan dan kita abaikan, merayakan hidup dengan khidmat, atau melalui usaha menyelaraskan diri dengan semesta kecil di sekitar kita. 


Selamat merayakan hidup, selamat memelihara kewarasan.





Senin, 03 September 2012

Rahwana, Ular, dan Cinta yang di Luar Kelaziman

Gambar diambil dan diedit seperlunya dari sini


Saya hendak sedikit meracau soal cinta. Anda, siapapun yang tidak tertarik atau mungkin justru jengah perkara semacam ini, sebaiknya segera menutup laman ini, perlahan atau segera.

Begini, cinta bukan sekadar hubungan yang sudah ada cetak birunya di alam entah, lalu manusia menjalani kisah dengan harapan berpasang-pasangan begitu saja. Saya kira, cinta, sebagaimana hidup itu sendiri, bukanlah perkara yang linier. Semesta meramunya dalam pilinan yang kompleks dan berkelindan. Barangkali itu yang membuat kehidupan semakin menarik.
  
Maka banyak kisah cinta yang mungkin secara konsensus manusia diberi label "tidak seharusnya".  Cinta yang sesak oleh kehilangan-kehilangan. Cinta yang kerap terbentur pada dinding-dinding pranata sosial, pada aturan-aturan normatif, atau pada hal kabur yang bernama kelaziman.

Tapi, pekerjaaan paling sia-sia dalam hidup adalah menasehati orang-orang yang sedang jatuh cinta. Sekeras apapun tembok dan sekat yang mereka hadapi, kepala mereka jauh lebih keras. Dan entah mengapa, roman soal cinta semacam ini selalu menarik. Selalu mengabadi. Layla Majnun, Romeo Juliet, sampai Hikayat Siti Nurbaya.

Atau yang menarik lagi adalah kisah Rahwana kepada Sinta. Di beberapa versi, yang mendapat apresiasi tinggi justru cinta yang tulus dari Rahwana kepada Sinta. Rahwana, raja yang mampu mengubah diri menjadi raksasa bermuka sepuluh itu dengan setia merawat cintanya kepada Sinta, istri Rama. Rahwana menculik Sinta dari Rama. Di tengah perjalanan, ia bertarung dengan Jatayu yang berniat menyelamatkan Sinta, dan berhasil dikalahkannnya. Sinta kemudian ditawan di tamansari Alengka, dengan ditemani Trijata, adik Rahwana.

Selama ditawan tigabelas tahun lamanya, tidak sedikitpun Rahwana menjamah dan menyentuh Sinta. Justru ia memperlakukan Sinta dengan sangat baik. Ia selalu meminta maaf kepada Sinta atas kesalahannya menculik Sinta. Ia juga selalu berbicara dengan tutur kata yang paling halus. Posisi yang agak dilematis bagi Rahwana. Di satu sisi, ia adalah raja Alengka yang dikenal sebagai kerajaan digdaya. Selama menjadi raja, Rahwana dicintai rakyatnya, dan tidak pernah berbuat kezaliman. Di sisi lain, ia jatuh cinta teramat dalam kepada Sinta, istri Rama dari trah Barata. Sebuah sikap yang barangkali terlihat tidak lazim bagi seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Wibisana, adiknya sudah bersusah payah menasehati. Namun sekali lagi, menasehati orang yang jatuh cinta adalah salah satu pekerjaan yang paling sia-sia.

Rama sendiri sebagai suami Sinta, pada beberapa versi  justru tidak mendapat apresiasi yang baik. Sebagai seorang suami, usahanya mendapatkan kembali Sinta dinilai tidak maksimal. Menunggu sampai tigabelas tahun, meminta bantuan pasukan kera, kerap dinilai kurang jantan. Padahal Rama adalah titisan Wisnu. Belum cukup itu semua, setelah abai selama beberapa tahun dan akhirnya mendapatkan kembali Sinta, Rama justru meminta Sinta melakukan pati obong, untuk membuktikan bahwa Sinta masih "suci" dan tidak terjamah oleh Rahwana. Bagi sebagian orang, sikap Rama ini egois sekali. 

Lalu bagaimana dengan Sinta? Ia adalah wanita biasa dengan kedudukan yang istimewa. Mendapati suaminya yang tanpa kabar sekian lama, dan perhatian yang begitu tulus dari Rahwana, tak urung lambat laun membuat Sinta menjadi resah. Ia seringkali  merasakan perasaan yang lain ketika Rahwana hadir di Tamansari. Ia gelisah, tangannya bergetar, detak nadinya menjadi cepat dan berdegup kencang. Bibirnya yang mungil kerap bergetar dan berbicara dengan terbata-bata saat berbicara dengan Rahwana. Dan Raja Alengka itu lebih mengartikan Sinta takut, bukan tertarik. Padahal jika tahu perasaan Sinta sebenarnya, epik Ramayana menjadi lain kisahnya. Wanita memang sulit ditebak. 

Well, pada akhirnya, versi minor semacam ini kurang begitu diterima. Kurang sesuai dengan norma susila preketek yang berlaku di masyarakat kita, katanya. Namun selalu ada para pengingat, para penutur, para penabur kisah bahwa cinta, sekali lagi bukan menyoal perkara yang begitu linier. Ada silang sengkarut hal yang tidak bisa ditilik dari satu sisi pembenaran saja. Memang, cinta bukan menyoal benar, bukan pula menyoal salah.

Soal cinta yang tidak lazim ini, saya tuliskan sebuah puisi dari salah satu penyair favorit saya, Aan Mansyur.

Kepada Hawa

aku merelakanmu menjauh
merelakanmu terjatuh

ke tempat sampah

bagai sepotong apel merah

yang di geligimu pernah berdarah


adakah cinta yang jatuh
kepadamu melebihi cintaku?


lelaki yang engkau cintai itu mati
dan tak membawamu ke makamnya

sementara aku bertahan hidup

bertahun-tahun sanggup tak mati

oleh rindu—dan menanti di surga


hawa, aku masih ular yang setia
mencintaimu sepanjang usia tuhan

Selamat mencintai, para pecinta!