Senin, 03 September 2012

Rahwana, Ular, dan Cinta yang di Luar Kelaziman

Gambar diambil dan diedit seperlunya dari sini


Saya hendak sedikit meracau soal cinta. Anda, siapapun yang tidak tertarik atau mungkin justru jengah perkara semacam ini, sebaiknya segera menutup laman ini, perlahan atau segera.

Begini, cinta bukan sekadar hubungan yang sudah ada cetak birunya di alam entah, lalu manusia menjalani kisah dengan harapan berpasang-pasangan begitu saja. Saya kira, cinta, sebagaimana hidup itu sendiri, bukanlah perkara yang linier. Semesta meramunya dalam pilinan yang kompleks dan berkelindan. Barangkali itu yang membuat kehidupan semakin menarik.
  
Maka banyak kisah cinta yang mungkin secara konsensus manusia diberi label "tidak seharusnya".  Cinta yang sesak oleh kehilangan-kehilangan. Cinta yang kerap terbentur pada dinding-dinding pranata sosial, pada aturan-aturan normatif, atau pada hal kabur yang bernama kelaziman.

Tapi, pekerjaaan paling sia-sia dalam hidup adalah menasehati orang-orang yang sedang jatuh cinta. Sekeras apapun tembok dan sekat yang mereka hadapi, kepala mereka jauh lebih keras. Dan entah mengapa, roman soal cinta semacam ini selalu menarik. Selalu mengabadi. Layla Majnun, Romeo Juliet, sampai Hikayat Siti Nurbaya.

Atau yang menarik lagi adalah kisah Rahwana kepada Sinta. Di beberapa versi, yang mendapat apresiasi tinggi justru cinta yang tulus dari Rahwana kepada Sinta. Rahwana, raja yang mampu mengubah diri menjadi raksasa bermuka sepuluh itu dengan setia merawat cintanya kepada Sinta, istri Rama. Rahwana menculik Sinta dari Rama. Di tengah perjalanan, ia bertarung dengan Jatayu yang berniat menyelamatkan Sinta, dan berhasil dikalahkannnya. Sinta kemudian ditawan di tamansari Alengka, dengan ditemani Trijata, adik Rahwana.

Selama ditawan tigabelas tahun lamanya, tidak sedikitpun Rahwana menjamah dan menyentuh Sinta. Justru ia memperlakukan Sinta dengan sangat baik. Ia selalu meminta maaf kepada Sinta atas kesalahannya menculik Sinta. Ia juga selalu berbicara dengan tutur kata yang paling halus. Posisi yang agak dilematis bagi Rahwana. Di satu sisi, ia adalah raja Alengka yang dikenal sebagai kerajaan digdaya. Selama menjadi raja, Rahwana dicintai rakyatnya, dan tidak pernah berbuat kezaliman. Di sisi lain, ia jatuh cinta teramat dalam kepada Sinta, istri Rama dari trah Barata. Sebuah sikap yang barangkali terlihat tidak lazim bagi seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Wibisana, adiknya sudah bersusah payah menasehati. Namun sekali lagi, menasehati orang yang jatuh cinta adalah salah satu pekerjaan yang paling sia-sia.

Rama sendiri sebagai suami Sinta, pada beberapa versi  justru tidak mendapat apresiasi yang baik. Sebagai seorang suami, usahanya mendapatkan kembali Sinta dinilai tidak maksimal. Menunggu sampai tigabelas tahun, meminta bantuan pasukan kera, kerap dinilai kurang jantan. Padahal Rama adalah titisan Wisnu. Belum cukup itu semua, setelah abai selama beberapa tahun dan akhirnya mendapatkan kembali Sinta, Rama justru meminta Sinta melakukan pati obong, untuk membuktikan bahwa Sinta masih "suci" dan tidak terjamah oleh Rahwana. Bagi sebagian orang, sikap Rama ini egois sekali. 

Lalu bagaimana dengan Sinta? Ia adalah wanita biasa dengan kedudukan yang istimewa. Mendapati suaminya yang tanpa kabar sekian lama, dan perhatian yang begitu tulus dari Rahwana, tak urung lambat laun membuat Sinta menjadi resah. Ia seringkali  merasakan perasaan yang lain ketika Rahwana hadir di Tamansari. Ia gelisah, tangannya bergetar, detak nadinya menjadi cepat dan berdegup kencang. Bibirnya yang mungil kerap bergetar dan berbicara dengan terbata-bata saat berbicara dengan Rahwana. Dan Raja Alengka itu lebih mengartikan Sinta takut, bukan tertarik. Padahal jika tahu perasaan Sinta sebenarnya, epik Ramayana menjadi lain kisahnya. Wanita memang sulit ditebak. 

Well, pada akhirnya, versi minor semacam ini kurang begitu diterima. Kurang sesuai dengan norma susila preketek yang berlaku di masyarakat kita, katanya. Namun selalu ada para pengingat, para penutur, para penabur kisah bahwa cinta, sekali lagi bukan menyoal perkara yang begitu linier. Ada silang sengkarut hal yang tidak bisa ditilik dari satu sisi pembenaran saja. Memang, cinta bukan menyoal benar, bukan pula menyoal salah.

Soal cinta yang tidak lazim ini, saya tuliskan sebuah puisi dari salah satu penyair favorit saya, Aan Mansyur.

Kepada Hawa

aku merelakanmu menjauh
merelakanmu terjatuh

ke tempat sampah

bagai sepotong apel merah

yang di geligimu pernah berdarah


adakah cinta yang jatuh
kepadamu melebihi cintaku?


lelaki yang engkau cintai itu mati
dan tak membawamu ke makamnya

sementara aku bertahan hidup

bertahun-tahun sanggup tak mati

oleh rindu—dan menanti di surga


hawa, aku masih ular yang setia
mencintaimu sepanjang usia tuhan

Selamat mencintai, para pecinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar