Setiap
kali membicarakan kepahlawanan, saya selalu teringat sebuah ungkapan bernada
skeptis dan murung, bahwa di negeri ini pahlawan tidak dilahirkan—melainkan
diciptakan. Ungkapan tersebut bermula dari begitu peliknya rangkaian proses
penubuatan seseorang menjadi pahlawan berskala nasional.
Penetapan
pahlawan nasional bermula dari usulan masyarakat yang kemudian ditilik ulang
oleh Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) dan diteruskan kepada Gubernur. Tidak
berhenti di situ, Gubernur lantas akan menyodorkan nama kepada Badan Pembina
Pahlawan Nasional (BPPN) sebelum akhirnya pengukuhan akhir berada di tangan
Presiden melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres).
Kriteria
seseorang ditahbiskan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Surat Edaran Dirjen
Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No.281/PS/X/2006 gampang-gampang susah,
yaitu: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi dan
cinta tanah air berskala nasional, serta sepanjang hidupnya tidak pernah
melakukan perbuatan tercela. Satu lagi, sang tokoh yang hendak dicalonkan
menjadi pahlawan nasional tadi harus sudah meninggal.
Implikasi
dari proses “penciptaan” pahlawan tadi—masih menurut anggapan skeptis di awal
tulisan ini—adalah kepahlawanan nasional hanya hadir untuk meneguhkan narasi
“perjuangan merebut kemerdekaan”. Pahlawan tidak dihadirkan serta merta secara
membumi untuk dijadikan role model
alias panutan bagi masyarakat dan hanya sebatas mengulang-ulang narasi tentang
nasionalisme secara kontinyu. Pokoknya, berjuang melawan penjajah. Titik.
Sebagai
contoh, perjuangan Diponegoro melawan Belanda sebenarnya bermula dari masalah
pribadi. Bukan masalah kebangsaan. Tapi pengemasan wajah pahlawan nasional di
negeri ini membuat apa yang dilakukan
Diponegoro hanya sebatas melawan penjajah dan seolah mengesampingkan muasal
pertempurannya dengan Belanda –yang sebenarnya adalah perkara patok tanah
leluhur. Akibatnya, ketika ada petani pada era pasca kemerdekaan yang melakukan
perlawanan terhadap militer yang mengambil alih tanahnya—dengan alasan
terinspirasi sikap Diponegoro di masa lalu, sikap itu jelas tidak bisa
diterima. Yang ada justru pelabelan subversif kepada petani yang melakukan
perlawanan tadi.
Pertanyaannya
sekarang, apakah kepahlawanan di negeri ini selalu hanya bisa dilihat dengan
kacamata murung dan skeptis seperti itu? Bagi saya, anggapan tadi patah oleh
sebuah epik kepahlawanan yang bermula dari Jember. Kisah perjuangan Letkol.
Mochammad Sroedji, mantan Komandan Brigade III Divisi I Damarwoelan yang
berjuang melawan penjajah di rentang waktu 1943-1949, menyimpan sebuah negasi untuk
anggapan di atas. Perjuangan Moch. Sroedji sesungguhnya adalah perjuangan yang
tidak berjarak dengan masyarakat—bukan sekadar pengulangan narasi “merebut
kemerdekaan” saja.
Letkol.
Moch. Sroedji menurut pendapat saya adalah
pahlawan yang hadir dengan dua wajah sekaligus: wajah pahlawan yang mencoba
“diciptakan” dengan rangkaian proses dan kriteria sebagaimana tersebut di awal
tulisan ini dan wajah pahlawan yang hadir sebagai “manusia biasa”. Dengan
hadirnya dua wajah kepahlawanan Moch. Sroedji ini, maka sekali lagi, kepahlawanan
Moch. Sroedji hadir dengan tidak mengambil jarak dari masyarakat kekinian
sekaligus tidak mengurangi kelayakannya secara prasyarat untuk diajukan sebagai
pahlawan nasional.
Karier yang Gemilang
Sosok
Moch. Sroedji sebagai manusia biasa mungkin dapat disimak dari kisah hidupnya
yang kerap masygul untuk menentukan pilihan hidup. Moch. Sroedji kecil awalnya
bersekolah di Holland Indische School
(HIS), yang kemudian diteruskan di Ambactsleergang,
yakni semacam sebuah sekolah kejuruan di daerah Kediri. Setelahnya, Sroedji
justru bekerja sebagai Pegawai Jawatan Kesehatan di Rumah Sakit Kreongan Jember
di rentang tahun 1938-1943. Posisinya saat itu adalah Mantri Malaria.
Mantri
Malaria itu lantas menentukan pilihan dengan meniti karier militernya. Ia meninggalkan
keluarganya untuk mengikuti Pendidikan Perwira Tentara PETA angkatan I di
Bogor. Setelahnya, ia ditugaskan untuk menjadi komandan kompi atau Chuudanchoo Batalyon 1 untuk wilayah
Karesidenan Besuki dan berkedudukan di Kencong, Jember. Karir militernya kian moncer, di periode akhir
tahun 1945-1946, Moch. Sroedji dilantik sebagai Komandan Batalyon 1 Resimen
IV Divisi VII TKR. Tahun 1946, Moch. Sroedji dikirim ke palagan
di daerah Karawang dan Bekasi di Propinsi Jawa Barat. Tahun 1947 hingga pertengahan
1948, Sroedji diangkat menjadi Komandan Staf Gabungan Angkatan Perang
(SGAP). Di bulan Mei 1948, beliau
diangkat menjadi Komandan Brigade III Damarwoelan Divisi I TNI Jawa Timur yang
sebelumnya bernama Resimen 40 Damarwoelan.
Periode
1946-1949 merupakan periode penting dalam karier militer Moch. Sroedji. Di
periode inilah milestone perjuangannya
tertancap, sehingga meneguhkan kelayakannya untuk menjadi pahlawan dalam skala
nasional sekalipun. Betapa tidak, dari segi luasnya daerah perjuangan Sroedji
misalnya, kita dapat melihat bahwa
Sroedji tidak berjuang di daerah Jember dan sekitarnya saja. Jangkauannya luas
sampai daerah Jawa Barat. Di September 1948, Sroedji juga berandil besar dalam
pemberantasan pemberontakan PKI di daerah Blitar. Di tahun yang sama, Sroedji
juga memimpin perjalanan panjang bersama berbagai elemen masyarakat sebagai
bentuk kepatuhan terhadap persetujuan Perjanjian Renville.
Dalam
perjalanan panjang inilah, Sroedji menunjukkan bahwa ia adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari rakyat biasa yang turut serta melakukan perjalanan
panjang atau hijrah. Ia memimpin Resimen 40 Damarwoelan (berganti nama menjadi
Brigade III Damarwoelan Divisi I) dan rakyat biasa selama perjalanan panjang
ini. Berbagai masalah dihadapi, sebelum akhirnya mereka sempat terpisah dan
kemudian sempat disatukan lagi di daerah Blitar. Perkara lainnya, mereka
dirongrong krisis logistik yang semakin
memperburuk keadaan.
Usulan Pahlawan Nasional
Dengan melihat
kiprahnya selama berjuang untuk tanah air, rasanya sukar ditampik bahwa Letkol
Moch. Sroedji layak mendapat gelar pahlawan nasional. Mengacu pada esensi
“penciptaan” pahlawan nasional sebagaimana disinggung di awal tulisan, Letkol.
Moch. Sroedji rasanya sudah “selesai” dengan persoalan persyaratan. Bila menyesuaikan
dengan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial
No.281/PS/X/2006, perjuangan Letkol. Moch. Sroedji jelas konsisten, semangat
nasionalismenya tinggi, ruang geraknya tidak sebatas kedaerahan saja, serta
tidak pernah berbuat tercela.
Tapi kisah
Moch. Sroedji menjadi lebih menarik dan gaung kepahlawanannya lebih bisa
diterima bila menyimak wajah kepahlawanannya dari sisi lain, yakni sisi “manusia
biasa”. Sisi yang menegaskan bahwa selain seorang pejuang, Sroedji juga adalah
seorang suami yang membuat pilihan untuk meninggalkan anak istrinya. Dari sisi yang
sama pula kita bisa merasakan bahwa Sroedji juga harus bersikap lapang dada
terhadap keputusan Perjanjian Renville. Tidak hanya sampai di situ, kenyataan
bahwa Belanda ternyata kemudian mangkir dari isi Perjanjian Renville, juga
membuat kita bisa menyimak sisi manusia biasa seorang Sroedji—yang kemudian
geram dan lantas memimpin perlawanan sehingga membuatnya harus menjadi buruan
berharga Belanda. Mangkirnya Belanda dari isi kesepakatan Perjanjian Renville
membuat Letkol. Moch. Sroedji memimpin pasukannya melakukan perlawanan yang
disebut Wingate Action dari Blitar ke Besuki dengan
menempuh jarak sekitar 500 kilometer. Sebagai manusia biasa pula, dalam aksi
ini Sroedji juga tak bisa terhindar dari intrik dan pengkhianatan dari
anggotanya sendiri.
Hingga
suatu hari, 8 Februari 1949, epik Letkol. Moch. Sroedji dilengkapi dengan
tragedi kematiannya di Karangkedawung, Mumbulsari, Jember. Beliau gugur di
medan perang setelah melewati perburuan, kejaran, dan pertempuran dengan pihak
Belanda.
Memandang
kepahlawanan Moch. Sroedji dari sisi manusia biasa membuat saya menyepakati
pendapat bahwa tindakan heroik tidak lantas lahir dari sikap yang selalu siap
siaga dalam keadaan yang selalu tampak baik-baik saja. Kepahlawanan—meminjam
istilah Goenawan Mohamad—kerap muncul sebagai hasil dari pilihan-pilihan yang gamang,
antara “iya” dan “tidak”. Tanpa rasa gamang, kepahlawanan terasa hambar,
dingin, dan berjarak terlalu jauh dengan kenyataan.
Maka
memandang patung Letkol. Moch. Sroedji
yang berdiri menjulang di pelataran halaman gedung Pemkab Jember, saya
bukan sekadar memandang sebuah kegagahan sekaligus kewaskitaan, tapi juga
memandang lelaki biasa yang sempat resah ketika harus berpisah dari keluarganya,
yang hatinya sempat digoda oleh rasa
takut ketika diburu oleh musuh, yang gundah memikirkan rakyat biasa yang
dipimpinnya sepanjang hijrah.
Saya
teringat tulisan Y.B. Mangunwijaya tentang kepahlawanan. Kata budayawan yang karib
dipanggil Romo Mangun itu, “..Kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati
harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang
barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi
kehidupan”.
Letkol. Moch.
Sroedji adalah salah satu contoh sosok yang mewakili ungkapan Romo Mangun. Di
luar kepatutannya menjadi pahlawan nasional, beliau juga hadir sebagai patriot
yang merupakan bagian langsung dari rakyat biasa. Kepahlawanannya adalah
kepahlawanan yang tidak berjarak. Karenanya, semoga saya tidak salah menaruh
harapan agar esensi perjuangan Letkol. Moch. Sroedji bisa dirasakan oleh masyarakat
sekarang, utamanya anak muda.
Simbol
kepahlawanannya pun semoga dapat dilekatkan dengan nuansa kekinian. Perihal
itu, saya kerap membangun imaji saya sendiri. Misalnya, di hari-hari ke depan, semoga saya menemukan banyak anak
muda—khususnya di Jember—yang menggunakan dengan bangga kaos bergambar Letkol.
Moch. Sroedji di dadanya ketika berdemo untuk kepentingan rakyat, bukan kaos
bergambar Che Guevara.
============================================================
Esai/Opini
ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis yang diadakan PWI Jember
bekerjasama dengan Pemkab Jember dalam rangka memperingati HUT PWI ke-69 dan
Hari Pers Nasional. Tema lomba adalah “Letkol. Moch. Sroedji Sebagai Pahlawan
Nasional”.