Baghdad,
1258.
Ibukota
Kekhalifaan Abasiyah saat itu (kini menjadi ibukota Irak), diserang oleh sebuah
pasukan gabungan yang dipimpin oleh seorang panglima dari Mongol bernama Hulagu
Khan. Tujuannya jelas, sebagaimana imperialisme kuno, melebarkan
daerah kekuasaan dengan cara
menggulingkan kekhalifahan yang berkuasa.
Zaman itu adalah zaman keemasan peradaban islam yang dibangun di atas khasanah keilmuan.
Banyak polymath (orang-orang yang menguasai banyak disiplin ilmu) berasal dari
kalangan muslim. Hasil karya mereka dibukukan dalam bentuk buku dengan pokok
bahasan yang beragam, mulai dari kedokteran, ilmu hitung, ilmu hayat, hingga
astronomi. Beberapa hasil karya agung itu tersimpan di Perpustakaan Baghdad.
Pasukan
Mongol dan sekutunya kalap. Mereka membunuh banyak ilmuwan dan filsuf. Tak puas
dengan itu, hasil pemikiran ilmuwan dan filsuf yang tersimpan dalam selasar rak buku di
Perpustakaan Baghdad juga ditumpas. Buku-buku kanon itu dibuang ke aliran
sungai Tigris. Konon, warna air sungai Tigris sampai menghitam karena diwarnai
oleh luruhnya tinta begitu banyak buku yang dibuang di sana. Barisan kalam itu binasa
oleh aliran air.
***
Jember,
7 hari yang lalu.
Ponsel
saya berdering pelan. Sebuah nomor yang asing memanggil. Setelah saya angkat dan berbicara pada penelepon di
seberang sana, ada hening yang sedikit memanjang.
“Tadi
rumahnya kebanjiran. Saya khawatir buku-bukunya sampeyan,” kata
suara itu.
Saat itu,
saya tengah dalam perjalanan ke Bali. Bus baru saja berangkat, masih berada di
kawasan Jember.
Penelepon
itu adalah pemilik rumah yang kamarnya saya tempati. Kamar yang tidak terlalu
besar ukurannya. Sekadar cukup untuk rehat
setelah saya beraktivitas padat di rumah sakit. Bagi saya, asal nyaman buat
menonton film, menulis, dan membaca buku. Kamar yang tidak setiap hari saya
tempati sebab saya sesekali menyempatkan pulang ke Ambulu, yang jaraknya sekitar 30
kilometer dari kamar itu.
Beberapa
jam sebelum saya berangkat ke Bali, hujan lebat memang mengguyur Jember. Pusat
kota Jember yang hampir tidak pernah didera banjir, sore itu lumpuh oleh
tingginya genangan air. Saya hanya mendapat kabar dari beberapa kawan dan
menerima pesan bergambar lewat layanan jejaring sosial. Posisi saya sendiri
ketika banjir itu terjadi adalah di Ambulu, yang sore itu justru tidak dilanda
hujan. Dari Ambulu saya menuju tempat berkumpul kawan-kawan, lalu memulai
perjalanan ke Bali.
Pikiran
saya tentu tak tenang. Gelisah karena khawatir buku-buku saya hancur oleh
genangan air. Banyak buku saya letakkan di meja kecil yang tidak
terlalu tinggi dari lantai, sebab rak buku di kamar itu terlalu kecil untuk
menampung buku-buku yang saya simpan di kamar itu. Kunci kamar pun hanya ada satu buah—celakanya,
saya membawanya dalam perjalanan ke Bali.
Tiga
hari kemudian, saya datang dari Bali. Membuka pintu kamar, saya sedih bukan
kepalang. Buku-buku saya yang berada di bawah hampir semuanya masih basah
akibat sempat tergenang. Beberapa buku bahkan lembaran-lembarannya mulai lepas
dan hancur. Dengan perasaan gamang, saya memunguti buku-buku tersebut. Beberapa
masih bisa (berharap) terselamatkan dengan cara menjemurnya, namun jumlahnya
kalah dengan yang buku-buku yang rusak.
Air
ternyata bisa menjadi kiamat kecil bagi bibliopolis abal-abal macam saya. Saya merasa bersalah karena meletakkan
buku-buku itu di bawah. Mungkin saya lebih jahat dari ungkapan Joseph Broadsky
yang berujar bahwa membakar buku (dan tidak membaca buku) adalah kejahatan.
Membiarkan buku tergeletak begitu saja sehingga dilumat air suatu ketika pun
sebenarnya serupa tindakan malapraktik di rumah sakit.
Saya
teringat cerita tentang seorang penulis di daerah Bandung yang mendapat musibah
lebih dahsyat. Kali ini yang menjadi kiamat bukanlah air, melainkan seteru
sekaligus kongsinya, yakni api. Kontrakan penulis tersebut diganyang oleh si jago merah, ketika
dia sedang berada di Jakarta. Semua buku, dokumen, hasil kliping musnah.
Data-data di piranti komputer juga ludes dilahap kobaran api. Ketika kebakaran
itu terjadi, buku yang dia bawa di Jakarta hanya sebanyak dua buah, plus sebuah
kamus bahasa Inggris.
“Rasanya
seperti orang patah hati. Kehilangan yang sangat besar. Sampai sekarang kalau
ingat itu rasanya masih nyesek,” kenangnya.
Mereka
yang tidak menyuka buku barangkali akan meledek penulis tersebut (juga saya)
dengan bahasa kekinian: lebay. Namun
sesungguhnya, persoalan ini bukan sekadar selesai dengan membeli buku baru lalu
habis urusan. Apalagi, banyak buku yang mendapatkannya relatif tidak mudah.
Belum lagi, kenangan saat membacanya, juga coretan-coretan pengingat untuk
memudahkan pemahaman di lembar-lembarnya. Itu mahal, kalau tidak boleh dibilang
tak ternilai.
Tapi sikap
berlarat-larat dengan kesedihan juga tak semestinya terus dipilih. Penulis yang
saya ceritakan tadi, begitu mendengar kontrakannya di Bandung kebakaran, malam
itu juga dia bertolak dari Jakarta, lalu menyaksikan puing-puing bukunya. Setelahnya,
dia memilih menyepi di sebuah tempat dan menulis. Dia melawan dukanya sendiri
dengan menulis.
Barangkali,
sikap demikian layak ditiru. Maka dengan selera humor yang sederhana, saya mencoba
menertawai tragedi dan kiamat kecil ini.
Lalu saya belajar menjadi bijak, bahwa sebagai penghormatan terhadap aksara
yang musnah ditumpas oleh apapun, selayaknya kita menjadi lebih gigih membaca
atau menulis.
Kira-kira
begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar