Jumat, 13 Maret 2015

Buku dan Kiamat Kecil


Baghdad, 1258.

Ibukota Kekhalifaan Abasiyah saat itu (kini menjadi ibukota Irak), diserang oleh sebuah pasukan gabungan yang dipimpin oleh seorang panglima dari Mongol bernama Hulagu Khan. Tujuannya jelas, sebagaimana imperialisme kuno, melebarkan daerah kekuasaan dengan cara  menggulingkan kekhalifahan yang berkuasa. 

Zaman itu adalah zaman keemasan peradaban islam yang dibangun di atas khasanah keilmuan. Banyak polymath (orang-orang yang menguasai banyak disiplin ilmu) berasal dari kalangan muslim. Hasil karya mereka dibukukan dalam bentuk buku dengan pokok bahasan yang beragam, mulai dari kedokteran, ilmu hitung, ilmu hayat, hingga astronomi. Beberapa hasil karya agung itu tersimpan di Perpustakaan Baghdad.

Pasukan Mongol dan sekutunya kalap. Mereka membunuh banyak ilmuwan dan filsuf. Tak puas dengan itu, hasil pemikiran ilmuwan dan filsuf yang tersimpan dalam selasar rak buku di Perpustakaan Baghdad juga ditumpas. Buku-buku kanon itu dibuang ke aliran sungai Tigris. Konon, warna air sungai Tigris sampai menghitam karena diwarnai oleh luruhnya tinta begitu banyak buku yang dibuang di sana. Barisan kalam itu binasa oleh aliran air.  

***

Jember, 7 hari yang lalu.

Ponsel saya berdering pelan. Sebuah nomor yang asing memanggil. Setelah  saya angkat dan berbicara pada penelepon di seberang sana, ada hening yang sedikit memanjang.

“Tadi rumahnya kebanjiran. Saya khawatir buku-bukunya sampeyan,” kata suara itu.

Saat itu, saya tengah dalam perjalanan ke Bali. Bus baru saja berangkat, masih berada di kawasan Jember.

Penelepon itu adalah pemilik rumah yang kamarnya saya tempati. Kamar yang tidak terlalu besar ukurannya. Sekadar cukup untuk  rehat setelah saya beraktivitas padat di rumah sakit. Bagi saya, asal nyaman buat menonton film, menulis, dan membaca buku. Kamar yang tidak setiap hari saya tempati sebab saya sesekali menyempatkan pulang ke Ambulu, yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari kamar itu.

Beberapa jam sebelum saya berangkat ke Bali, hujan lebat memang mengguyur Jember. Pusat kota Jember yang hampir tidak pernah didera banjir, sore itu lumpuh oleh tingginya genangan air. Saya hanya mendapat kabar dari beberapa kawan dan menerima pesan bergambar lewat layanan jejaring sosial. Posisi saya sendiri ketika banjir itu terjadi adalah di Ambulu, yang sore itu justru tidak dilanda hujan. Dari Ambulu saya menuju tempat berkumpul kawan-kawan, lalu memulai perjalanan ke Bali.

Pikiran saya tentu tak tenang. Gelisah karena khawatir buku-buku saya hancur oleh genangan air.  Banyak buku  saya letakkan di meja kecil yang tidak terlalu tinggi dari lantai, sebab rak buku di kamar itu terlalu kecil untuk menampung buku-buku yang saya simpan di kamar itu. Kunci kamar pun hanya ada satu buah—celakanya, saya membawanya dalam perjalanan ke Bali.

Tiga hari kemudian, saya datang dari Bali. Membuka pintu kamar, saya sedih bukan kepalang. Buku-buku saya yang berada di bawah hampir semuanya masih basah akibat sempat tergenang. Beberapa buku bahkan lembaran-lembarannya mulai lepas dan hancur. Dengan perasaan gamang, saya memunguti buku-buku tersebut. Beberapa masih bisa (berharap) terselamatkan dengan cara menjemurnya, namun jumlahnya kalah dengan yang buku-buku yang rusak.

Air ternyata bisa menjadi kiamat kecil bagi bibliopolis abal-abal macam saya. Saya merasa bersalah karena meletakkan buku-buku itu di bawah. Mungkin saya lebih jahat dari ungkapan Joseph Broadsky yang berujar bahwa membakar buku (dan tidak membaca buku) adalah kejahatan. Membiarkan buku tergeletak begitu saja sehingga dilumat air suatu ketika pun sebenarnya serupa tindakan malapraktik di rumah sakit.

Saya teringat cerita tentang seorang penulis di daerah Bandung yang mendapat musibah lebih dahsyat. Kali ini yang menjadi kiamat bukanlah air, melainkan seteru sekaligus kongsinya, yakni api. Kontrakan penulis  tersebut diganyang oleh si jago merah, ketika dia sedang berada di Jakarta. Semua buku, dokumen, hasil kliping musnah. Data-data di piranti komputer juga ludes dilahap kobaran api. Ketika kebakaran itu terjadi, buku yang dia bawa di Jakarta hanya sebanyak dua buah, plus sebuah kamus bahasa Inggris.

“Rasanya seperti orang patah hati. Kehilangan yang sangat besar. Sampai sekarang kalau ingat itu rasanya masih nyesek,” kenangnya.

Mereka yang tidak menyuka buku barangkali akan meledek penulis tersebut (juga saya) dengan bahasa kekinian: lebay. Namun sesungguhnya, persoalan ini bukan sekadar selesai dengan membeli buku baru lalu habis urusan. Apalagi, banyak buku yang mendapatkannya relatif tidak mudah. Belum lagi, kenangan saat membacanya, juga coretan-coretan pengingat untuk memudahkan pemahaman di lembar-lembarnya. Itu mahal, kalau tidak boleh dibilang tak ternilai.

Tapi sikap berlarat-larat dengan kesedihan juga tak semestinya terus dipilih. Penulis yang saya ceritakan tadi, begitu mendengar kontrakannya di Bandung kebakaran, malam itu juga dia bertolak dari Jakarta, lalu menyaksikan puing-puing bukunya. Setelahnya, dia memilih menyepi di sebuah tempat dan menulis. Dia melawan dukanya sendiri dengan menulis.

Barangkali, sikap demikian layak ditiru. Maka dengan selera humor yang sederhana, saya mencoba  menertawai tragedi dan kiamat kecil ini. Lalu saya belajar menjadi bijak, bahwa sebagai penghormatan terhadap aksara yang musnah ditumpas oleh apapun, selayaknya kita menjadi lebih gigih membaca atau menulis.

Kira-kira begitu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar