Jumat, 27 Maret 2015

Bagaimana Jika


Di suatu senja yang redup, ketika kita menyeduh teh di depan pelataran rumah kita yang kecil, aku mengajakmu untuk sekadar bertanya. Kemudian kita berimajinasi, memancang kemungkinan-kemungkinan yang entah sebenarnya terjadi atau tidak. Sebab terlalu banyak kemungkinan di dunia. Dan ketahuilah, tidak ada yang bisa menghakimi imajinasi.

Aku  mengajakmu bertanya sekaligus berkhayal sambil menyaksikan ikan nila berkecipak di kolam yang dindingnya berlumut. Sambil menyaksikan tarian dedaunan kering yang tersapu angin sore yang hangat. Sambil menyaksikan burung-burung jantan berterbangan di langit oranye—merindukan betinanya masing-masing.

Kemudian kita bertanya tentang  beberapa hal. Misalnya, bagaimana jika dunia ternyata sebenarnya sungguh-sungguh dikuasai oleh persekutuan rahasia yang terus saling menjaga diri, menyusun rencana-rencana besar agar dunia tetap dalam kendali?

Atau bagaimana jika sebenarnya WTC runtuh tidak karena ditabrak oleh anggota jaringan organisasi radikal tertentu, melainkan roboh karena setting yang matang, dengan meledakkan beberapa titik tertentu dan pesawat yang ditabrakkan oleh orang-orang tertentu pula?

Lalu bagaimana jika sebenarnya Osama Bin Laden masih hidup? Bagaimana jika misalnya ia adalah mitos yang diciptakan untuk alasan-alasan yang bisa dijadikan pembenaran? Bagaimana jika operasi rahasia oleh pasukan elit Navy SEAL itu hanya karangan saja, sedang Bin Laden sekarang masih rutin mengunjungi Stadion Emirates untuk menyaksikan klub sepakbola Arsenal yang sering keok dan mengumpat Arsene Wenger yang sering murung?

Lantas bagaimana jika sebenarnya kita dijerumuskan perlahan-perlahan pada rutinitas hidup yang keji oleh sistem yang didesain atau terdesain begitu rapi, sengaja atau tidak, yang membuat kita kehilangan tenaga untuk mengkritisi banyak hal di sekitar kita sebab yang menjadi prioritas utama adalah kebutuhan pokok yang terancam tidak dapat terpenuhi?

Bagaimana jika manusia ternyata benar-benar bisa menghuni Planet Mars? Kita akan ke sana atau tetap di sini bersama ikan-ikan kita?

Bagaimana jika Lionel Messi benar-benar alien sehingga kau tidak perlu kesal setiap kali aku berteriak hal yang sama setiap dia meliuk-meliuk sebelum mencetak gol?

Bagaimana jika Neil Armstrong tidak benar-benar pergi ke bulan tapi hanya mengambil gambar di Gurun Sahara?

Bagaimana jika ISIS ternyata adalah boneka yang dikendalikan tangan-tangan tak kasat mata untuk memecah belah banyak golongan agar niat menguasai ladang minyak jadi kenyataan?

Bagaimana jika sebenarnya Batman adalah anak hasil hubungan gelap Joker?

Bagaimana jika kita bisa melakukan super fusion seperti Trunks dan Goten di komik Dragon Ballz karangan Akira Toriyama?

Bagaimana jika koruptor yang tertangkap sebaiknya dihukum menulis sepuluh buku dalam setahun dari dalam penjara, bukankah itu menyiksa?

Bagaimana jika reinkarnasi itu benar-benar ada? Masihkah kamu berkenan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita lakukan?

Bagaimana jika di hari tua kelak aku akan menjadi pikun?

Bagaimana jika ini hari terakhir kita bertemu?

Bagaimana jika aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu? Hah?


Bagaimana jika Chairil Anwar keliru?  Kata dia, hidup perihal menunda kekalahan. Tapi rasanya, hidup lebih tepat tentang perihal menunda jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang entah sampai kapan kita menemukan sebenar-benar jawaban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar