Senin, 02 Maret 2015

Dua Wajah Kepahlawanan Letkol. Moch. Sroedji


Setiap kali membicarakan kepahlawanan, saya selalu teringat sebuah ungkapan bernada skeptis dan murung, bahwa di negeri ini pahlawan tidak dilahirkan—melainkan diciptakan. Ungkapan tersebut bermula dari begitu peliknya rangkaian proses penubuatan seseorang menjadi pahlawan berskala nasional.

Penetapan pahlawan nasional bermula dari usulan masyarakat yang kemudian ditilik ulang oleh Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) dan diteruskan kepada Gubernur. Tidak berhenti di situ, Gubernur lantas akan menyodorkan nama kepada Badan Pembina Pahlawan Nasional (BPPN) sebelum akhirnya pengukuhan akhir berada di tangan Presiden melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres).

Kriteria seseorang ditahbiskan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No.281/PS/X/2006 gampang-gampang susah, yaitu: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi dan cinta tanah air berskala nasional, serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Satu lagi, sang tokoh yang hendak dicalonkan menjadi pahlawan nasional tadi harus sudah meninggal. 

Implikasi dari proses “penciptaan” pahlawan tadi—masih menurut anggapan skeptis di awal tulisan ini—adalah kepahlawanan nasional hanya hadir untuk meneguhkan narasi “perjuangan merebut kemerdekaan”. Pahlawan tidak dihadirkan serta merta secara membumi untuk dijadikan role model alias panutan bagi masyarakat dan hanya sebatas mengulang-ulang narasi tentang nasionalisme secara kontinyu. Pokoknya, berjuang melawan penjajah. Titik.

Sebagai contoh, perjuangan Diponegoro melawan Belanda sebenarnya bermula dari masalah pribadi. Bukan masalah kebangsaan. Tapi pengemasan wajah pahlawan nasional di negeri ini membuat  apa yang dilakukan Diponegoro hanya sebatas melawan penjajah dan seolah mengesampingkan muasal pertempurannya dengan Belanda –yang sebenarnya adalah perkara patok tanah leluhur. Akibatnya, ketika ada petani pada era pasca kemerdekaan yang melakukan perlawanan terhadap militer yang mengambil alih tanahnya—dengan alasan terinspirasi sikap Diponegoro di masa lalu, sikap itu jelas tidak bisa diterima. Yang ada justru pelabelan subversif kepada petani yang melakukan perlawanan tadi. 

Pertanyaannya sekarang, apakah kepahlawanan di negeri ini selalu hanya bisa dilihat dengan kacamata murung dan skeptis seperti itu? Bagi saya, anggapan tadi patah oleh sebuah epik kepahlawanan yang bermula dari Jember. Kisah perjuangan Letkol. Mochammad Sroedji, mantan Komandan Brigade III Divisi I Damarwoelan yang berjuang melawan penjajah di rentang waktu 1943-1949, menyimpan sebuah negasi untuk anggapan di atas. Perjuangan Moch. Sroedji sesungguhnya adalah perjuangan yang tidak berjarak dengan masyarakat—bukan sekadar pengulangan narasi “merebut kemerdekaan” saja.

Letkol. Moch. Sroedji menurut pendapat saya adalah  pahlawan yang hadir dengan dua wajah sekaligus: wajah pahlawan yang mencoba “diciptakan” dengan rangkaian proses dan kriteria sebagaimana tersebut di awal tulisan ini dan wajah pahlawan yang hadir sebagai “manusia biasa”. Dengan hadirnya dua wajah kepahlawanan Moch. Sroedji ini, maka sekali lagi, kepahlawanan Moch. Sroedji hadir dengan tidak mengambil jarak dari masyarakat kekinian sekaligus tidak mengurangi kelayakannya secara prasyarat untuk diajukan sebagai pahlawan nasional.

Karier yang Gemilang

Sosok Moch. Sroedji sebagai manusia biasa mungkin dapat disimak dari kisah hidupnya yang kerap masygul untuk menentukan pilihan hidup. Moch. Sroedji kecil awalnya bersekolah di Holland Indische School (HIS), yang kemudian diteruskan di Ambactsleergang, yakni semacam sebuah sekolah kejuruan di daerah Kediri. Setelahnya, Sroedji justru bekerja sebagai Pegawai Jawatan Kesehatan di Rumah Sakit Kreongan Jember di rentang tahun 1938-1943. Posisinya saat itu adalah Mantri Malaria.

Mantri Malaria itu lantas menentukan pilihan dengan meniti karier militernya. Ia meninggalkan keluarganya untuk mengikuti Pendidikan Perwira Tentara PETA angkatan I di Bogor. Setelahnya, ia ditugaskan untuk menjadi komandan kompi atau Chuudanchoo Batalyon 1 untuk wilayah Karesidenan Besuki dan berkedudukan di Kencong, Jember.  Karir militernya kian moncer, di periode akhir tahun 1945-1946, Moch. Sroedji dilantik sebagai Komandan Batalyon 1 Resimen IV  Divisi VII TKR.  Tahun 1946, Moch. Sroedji dikirim ke palagan di daerah Karawang dan Bekasi di Propinsi Jawa Barat. Tahun 1947 hingga pertengahan 1948, Sroedji diangkat menjadi Komandan Staf Gabungan Angkatan Perang (SGAP).  Di bulan Mei 1948, beliau diangkat menjadi Komandan Brigade III Damarwoelan Divisi I TNI Jawa Timur yang sebelumnya bernama Resimen 40 Damarwoelan.

Periode 1946-1949 merupakan periode penting dalam karier militer Moch. Sroedji. Di periode inilah milestone perjuangannya tertancap, sehingga meneguhkan kelayakannya untuk menjadi pahlawan dalam skala nasional sekalipun. Betapa tidak, dari segi luasnya daerah perjuangan Sroedji misalnya,  kita dapat melihat bahwa Sroedji tidak berjuang di daerah Jember dan sekitarnya saja. Jangkauannya luas sampai daerah Jawa Barat. Di September 1948, Sroedji juga berandil besar dalam pemberantasan pemberontakan PKI di daerah Blitar. Di tahun yang sama, Sroedji juga memimpin perjalanan panjang bersama berbagai elemen masyarakat sebagai bentuk kepatuhan terhadap persetujuan Perjanjian Renville.

Dalam perjalanan panjang inilah, Sroedji menunjukkan bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat biasa yang turut serta melakukan perjalanan panjang atau hijrah. Ia memimpin Resimen 40 Damarwoelan (berganti nama menjadi Brigade III Damarwoelan Divisi I) dan rakyat biasa selama perjalanan panjang ini. Berbagai masalah dihadapi, sebelum akhirnya mereka sempat terpisah dan kemudian sempat disatukan lagi di daerah Blitar. Perkara lainnya, mereka dirongrong krisis logistik  yang semakin memperburuk keadaan.

Usulan Pahlawan Nasional

Dengan melihat kiprahnya selama berjuang untuk tanah air, rasanya sukar ditampik bahwa Letkol Moch. Sroedji layak mendapat gelar pahlawan nasional. Mengacu pada esensi “penciptaan” pahlawan nasional sebagaimana disinggung di awal tulisan, Letkol. Moch. Sroedji rasanya sudah “selesai” dengan persoalan persyaratan. Bila menyesuaikan dengan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No.281/PS/X/2006, perjuangan Letkol. Moch. Sroedji jelas konsisten, semangat nasionalismenya tinggi, ruang geraknya tidak sebatas kedaerahan saja, serta tidak pernah berbuat tercela.

Tapi kisah Moch. Sroedji menjadi lebih menarik dan gaung kepahlawanannya lebih bisa diterima bila menyimak wajah kepahlawanannya dari sisi lain, yakni sisi “manusia biasa”. Sisi yang menegaskan bahwa selain seorang pejuang, Sroedji juga adalah seorang suami yang membuat pilihan untuk meninggalkan anak istrinya. Dari sisi yang sama pula kita bisa merasakan bahwa Sroedji juga harus bersikap lapang dada terhadap keputusan Perjanjian Renville. Tidak hanya sampai di situ, kenyataan bahwa Belanda ternyata kemudian mangkir dari isi Perjanjian Renville, juga membuat kita bisa menyimak sisi manusia biasa seorang Sroedji—yang kemudian geram dan lantas memimpin perlawanan sehingga membuatnya harus menjadi buruan berharga Belanda. Mangkirnya Belanda dari isi kesepakatan Perjanjian Renville membuat Letkol. Moch. Sroedji memimpin pasukannya melakukan perlawanan yang disebut Wingate  Action dari Blitar ke Besuki dengan menempuh jarak sekitar 500 kilometer. Sebagai manusia biasa pula, dalam aksi ini Sroedji juga tak bisa terhindar dari intrik dan pengkhianatan dari anggotanya sendiri.

Hingga suatu hari, 8 Februari 1949, epik Letkol. Moch. Sroedji dilengkapi dengan tragedi kematiannya di Karangkedawung, Mumbulsari, Jember. Beliau gugur di medan perang setelah melewati perburuan, kejaran, dan pertempuran dengan pihak Belanda.
 
Memandang kepahlawanan Moch. Sroedji dari sisi manusia biasa membuat saya menyepakati pendapat bahwa tindakan heroik tidak lantas lahir dari sikap yang selalu siap siaga dalam keadaan yang selalu tampak baik-baik saja. Kepahlawanan—meminjam istilah Goenawan Mohamad—kerap muncul sebagai hasil dari pilihan-pilihan yang gamang, antara “iya” dan “tidak”.  Tanpa  rasa gamang, kepahlawanan terasa hambar, dingin, dan berjarak terlalu jauh dengan kenyataan.

Maka memandang patung Letkol. Moch. Sroedji  yang berdiri menjulang di pelataran halaman gedung Pemkab Jember, saya bukan sekadar memandang sebuah kegagahan sekaligus kewaskitaan, tapi juga memandang lelaki biasa yang sempat resah ketika harus berpisah dari keluarganya, yang  hatinya sempat digoda oleh rasa takut ketika diburu oleh musuh, yang gundah memikirkan rakyat biasa yang dipimpinnya sepanjang hijrah.

Saya teringat tulisan Y.B. Mangunwijaya tentang kepahlawanan. Kata budayawan yang karib dipanggil Romo Mangun itu, “..Kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan”.

Letkol. Moch. Sroedji adalah salah satu contoh sosok yang mewakili ungkapan Romo Mangun. Di luar kepatutannya menjadi pahlawan nasional, beliau juga hadir sebagai patriot yang merupakan bagian langsung dari rakyat biasa. Kepahlawanannya adalah kepahlawanan yang tidak berjarak. Karenanya, semoga saya tidak salah menaruh harapan agar esensi perjuangan Letkol. Moch. Sroedji bisa dirasakan oleh masyarakat sekarang, utamanya anak muda.

Simbol kepahlawanannya pun semoga dapat dilekatkan dengan nuansa kekinian. Perihal itu, saya kerap membangun imaji saya sendiri. Misalnya, di hari-hari ke depan,  semoga saya menemukan banyak anak muda—khususnya di Jember—yang menggunakan dengan bangga kaos bergambar Letkol. Moch. Sroedji di dadanya ketika berdemo untuk kepentingan rakyat, bukan kaos bergambar Che Guevara.

============================================================

Esai/Opini ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis yang diadakan PWI Jember bekerjasama dengan Pemkab Jember dalam rangka memperingati HUT PWI ke-69 dan Hari Pers Nasional. Tema lomba adalah “Letkol. Moch. Sroedji Sebagai Pahlawan Nasional”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar