Senin, 28 April 2014

Hey Jude!


Saya punya kebiasaan memberi nama benda-benda yang saya miliki dan yang kerap saya gunakan. Benda-benda yang yang karib. Benda-benda yang seringkali menemani saya. Benda-benda dengan simpul ikatan emosional yang sukar diurai. Benda-benda yang sedikit atau banyak telah membantu saya dalam menyelesaikan persolan atau sekadar memenuhi kebutuhan. Satu di antara benda-benda itu adalah laptop.

Sebenarnya kurang tepat kalau disebut laptop. Piranti yang saya miliki ini adalah netbook. Meski sama-sama memiliki fungsi sebagai komputer jinjing, ada perbedaan yang cukup mendasar antara netbook dan laptop. Tentu ini menyangkut kapasitas dan fungsi masing-masing. Steve Jobs, filsuf korporat dari Silicon Valley itu pernah menyindir (lebih tepatnya mengolok-olok) netbook dalam sebuah presentasinya ketika memperkenalkan Ipad ke pasaran. Pria yang identik dengan busana turtleneck itu menoktah poin penting dalam presentasinya, bahwa pasar membutuhkan piranti yang bisa menjadi jembatan antara laptop dan smartphone. Tidak terlalu besar seperti laptop, tapi bisa juga menjalankan tugas multimedia macam laptop sekaligus smartphone (kecuali menelepon). 

Menurut Jobs, beberapa orang memilih netbook sebagai jawaban. Namun Jobs menampiknya. Bagi Jobs, netbook hanyalah the cheap laptop. Dia hanya lebih murah, tanpa memiliki keunggulan lain. Kualitas layarnya menyedihkan serta responnya jauh lebih lambat dibandingkan laptop sekaligus smartphone. Jobs bisa jadi benar. Tapi atas nama cinta yang mendalam pada netbook yang saya miliki ini, saya mempersetankan itu semua.

Saya berkawan dengan sebuah netbook yang saya beli hampir 3 tahun silam. Waktu itu, saya membelinya menggunakan sisa honor yang saya dapat dari sebuah pekerjaan sampingan. Karena memang memiliki kelemahan dibandingkan laptop, harganya juga tidak terlalu mahal. Bahkan relatif murah karena saya membelinya di masa diskon.

Netbook ini sudah menemani saya belajar tentang banyak hal. Memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Saya membelinya tentu saja untuk menyokong hasrat menulis saya yang kambuhan. Netbook ini menemani saya sekadar untuk menonton kembali gambar-gambar sentimentil (kalaupun tidak boleh dibilang  tidak penting), menonton beragam genre film, sampai mendengarkan lagu kesukaan di kala melamun.

Dari kacamata ekonomi, netbook ini berandil besar dalam membantu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ia berjasa dalam membantu saya menyelesaikan banyak pekerjaan. Pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan (Kadang bagi saya tidak jelas yang mana utama yang mana sampingan—yang penting  menghasilkan).

Karena jasa-jasanya, saya memberi kehormatan bagi piranti ringkih ini. Saya menyematkan nama untuknya sebagai bentuk ucapan terima kasih. Nama perangkat yang kerap mengisi ransel saya setiap hari ini adalah Jude. Happy Jude. 

 
My name is Jude. Happy Jude.
 

***

Julian Lennon dirundung kesedihan. Bocah lelaki itu disaput kalut saat ayahnya, John Lennon, bercerai dengan ibunya, Chintya, pada tahun 1968. John Lennon, pentolan The Beatles itu berpisah dari istri pertamanya dan menikahi Yoko Ono, seorang perempuan introvert dan misterius peranakan Jepang. Konon, Yoko menjadi orang ketiga yang berandil pada keretakan rumah tangga John-Chintya. Kedekatan John dan Yoko bermula dari minat keduanya yang sama-sama mendalam terhadap dunia spiritual. Yoko berhasil menjadi peredam John yang seringkali gelisah. 

Paul Mc Cartney, sahabat John sekaligus personil The Beatles lainnya, mencoba menaruh empati pada  keluarga Lennon yang dilanda masalah. Ia lalu mengunjungi Cynthia dan Julian. Di dalam mobil, sepulangnya dari rumah mereka, Paul menggubah sebuah lagu yang ia beri judul "Hey Jude" untuk menghibur kesedian Julian, putra John.

Pada mulanya, Paul memberi judul “Hey Jules”. Agar lebih terasa lebih catchy, Paul mengganti “Jules” menjadi “Jude”. Ada yang berspekulasi bahwa lagu yang merajai tangga lagu Britania Raya di sekitar tahun 1968 itu memang sebenarnya bukan untuk Julian, putra John Lennon yang bersedih karena perceraian kedua orang tuanya.

John Lennon mengira lagu itu justru untuk mengenang perpisahan antara Paul Mc Cartney dengan kekasihnya, Jane Asher. Apalagi ada kesan bahwa “Jude” identik untuk menyebut perempuan. Menanggapi itu semua, Paul menampik. Ia bersikukuh bahwa lagu itu tentang Lennon dan keluarganya.
 
Apapun itu, lagu “Hey Jude” memang menarik.  Kekuatan liriknya juga menggugah. Sarat dengan harapan untuk bangkit dari kesedian yang menjangkit.  Berkisah tentang kepedulian dan upaya menguatkan sosok yang didera kesedihan dan keadaan sulit.


Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better.
And anytime you feel the pain, hey Jude, refrain
Don’t carry the world upon your shoulder
For well you know that it’s a foll who plays it fool
By making his world a little colder
Na na na na na na, na na na


“Hey Jude” seakan merangkum tentang kegetiran yang dihadapi dengan keberanian yang manis sekali.

Mungkin karena itu,  saya menamai netbook saya dengan Jude. Happy Jude. Di satu sisi, Jude buat saya sangat enak didengar. Alasan klise yang terlalu sukar diurai dan dipahami.

Saya sering membayangkan bahwa netbook saya adalah perempuan yang riang, manis dan berani. Perempuan yang tak gentar menghadapi masalahnya. Perempuan yang berani memperjuangkan mimpinya.

Setelah tiga tahun bersama, saya tidak pernah sedikitpun berpikir untuk mengganti piranti. Jude buat saya sudah cukup. Tak lebih. Setidaknya untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan. Kalaupun kelak Jude harus rehat karena digeser piranti yang lebih canggih dan sesuai kebutuhan, saya tetap tidak akan menjual Jude.

Padahal Jude sekarang sudah cacat. Layarnya sedikit perot, engselnya pecah. Ada kejadian konyol di balik musibah yang menyebabkan kecacatan itu melekat hingga kini. Di suatu malam yang hampir purna karena dijemput subuh, saya menulis. Angin subuh dingin menusuk perut. Saya masuk angin. Perut melilit. Dan saya bergegas menuju toilet untuk (maaf) buang air besar. Malang bagi Jude, saya yang tergopoh-gopoh ke kamar kecil, justru menginjak Jude karena langkah saya terburu-buru. Jude cedera seketika.

Setelah saya coba perbaiki sendiri, Jude akhirnya pulih. Tak ada fungsi yang terganggu sedikitpun akibat kecerobohan saya sendiri itu. Dengan insiden itu, saya justru semakin sayang kepada Jude.  Halah.

***

Tentang kebiasaan saya menamai benda-benda, saya teringat cerita Aristoteles. Suatu saat  filsuf tersohor dari Yunani itu ditanya muridnya, “Apakah tujuan hidup ini?”

Filsuf itu menjawab, “Mudah. Jawabannya adalah untuk menamakan benda-benda”.

Aristoteles bukan asal bicara. Pendapatnya tadi mengantarkannya menjadi orang yang dikenal sejarah sebagai pelopor sistem klasifikasi spesies dalam ilmu biologi. 

Cerita lainnya berasal dari  kitab suci agama samawi. Adam, manusia pertama,  konon di surga sibuk memberi nama-nama mahkluk ciptaan Tuhan. Kesibukan yang asyik sekali. Sebelum akhirnya di memakan buah pengetahuan dan terusir ke bumi.

Bagi saya, mungkin cerita-cerita itu memberi pengingat ihwal  naluri manusia yang kodratnya memang menolak kesepian. Manusia selalu butuh kawan. Manusia selalu butuh kedekatan. Karena itulah manusia memberi nama benda-benda di sekitarnya.

Sisanya? Insting untuk bermain-main. Manusia adalah  homo ludens. Makhluk yang gemar bermain-main. Sebab hidup terlalu singkat untuk terlalu serius.





Selasa, 08 April 2014

Perkara Sayembara



Seorang kawan berkisah pada kami yang sedang duduk bersama di sebuah warung kopi sederhana. Kawan saya itu, beberapa minggu lalu mengikuti lomba penulisan di internet dan dia berhasil meraih juara pertama. Kawan saya itu memang pemburu kontes tulisan. Beberapa kali dia mengikuti lomba menulis yang digagas oleh berbagai pihak. Hasilnya, terhitung  dua kali berhasil masuk dalam tiga besar. Imbalannya, dia meraih hadiah uang tunai dari panitia lomba. Tidak ada yang menjadi persoalan sebenarnya. Sebelumnya dia memulai perihal lain. 


Perihal itu adalah kebanggaan yang kelewat berlebihan. Kawan saya itu merasa bahwa apa yang dia lakukan sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Ia bercerita ke kami bahwa lomba yang berhasil ia menangkan adalah perkara prestisius yang harus diakui kehebatannya oleh semua pihak. Ia mengisahkan bahwa kesulitannya melakukan riset untuk bahan tulisan, wawancara dengan narasumber untuk membuat tulisan bernyawa, dan menegangkannya proses penjurian, adalah serangkaian proses yang harus diganjar dengan sanjungan dan tepuk tangan riuh. 


Mungkin benar, bahwa sebuah pencapaian membutuhkan parameter. Sebuah tolok ukur. Saat seseorang menggeluti dunia penulisan, barangkali akan muncul beragam tolok ukur. Mulai dari karya berupa buku, seringnya dimuat di media, atau bisa juga pengakuan lain semacam soal kontes menulis ini. Tapi mengukur pencapaian hanya berdasarkan keberhasilan meraih juara dari lomba menulis adalah  sebuah sikap yang terburu-buru. 


Buat saya, tak bisa dipungkiri, keberhasilan meraih juara di sebuah kontes penulisan,  suka atau tidak, dipengaruhi oleh beberapa hal yang cenderung berbau keberuntungan. Benar atau tidak, mari kita coba cermati bersama beberapa alasannya. 


Pertama, tentang informasi lomba yang tidak semua orang tahu. Beberapa informasi tentang pengadaan lomba menulis, biasanya hanya diketahui oleh segelintir kalangan. Sehingga kerap terjadi, persaingan tidak begitu sengit. Perbedaan kualitas naskah yang masuk terlalu timpang. Akibatnya penentuan pemenang juga menjadi relatif lebih  mudah. 


Kedua, kalaupun informasi lomba diketahui oleh banyak orang, tidak semuanya bisa mengikuti batasan deadline yang ditentukan. Bisa jadi informasi lomba diketahui hanya beberapa hari menjelang deadline oleh seorang penulis. Sedang dia sibuk menggarap pekerjaan lain dan tidak bisa menyisihkan waktu untuk riset, menggali data dari narasumber, serta menulis untuk lomba itu sendiri. Karena itu semua, penulis tersebut tidak bisa mengikuti lomba. Padahal penulis itu dikenal memiliki kualitas tulisan yang mumpuni.


Ketiga, ada kewajiban panitia lomba. Ketika panitia lomba sudah membuat pengumuman kepada khalayak bahwa dia menggagas lomba dengan batasan deadline, mau tidak mau, ketika deadline sudah tiba, panitia akan menyeleksi tulisan yang masuk. Setelah syarat administratif dianggap terpenuhi, panitia akan memulai seleksi kualitas tulisan. Jika tulisan yang masuk memenuhi harapan panitia karena kualitasnya dianggap bagus, mungkin akan terjadi kompetisi yang seru. Tapi ketika kualitas tulisan yang masuk timpang atau bahkan justru semuanya di luar harapan panitia (kualitasnya buruk), panitia tidak bisa membatalkan lomba. Lomba tetap harus berjalan. Ini seperti memilih yang terbaik di antara sekumpulan yang buruk. Pemenang harus ditentukan dan hadiah harus diberikan. Jika tidak, panitia dianggap membohongi publik. 


***


Berbeda dengan kawan saya yang pertama tadi, saya juga mempunyai satu kawan lagi yang berkomentar soal sayembara menulis. Baginya, kontes menulis atau perkara semacam itu sebisa mungkin dia hindari. Katanya, dia tidak bisa menulis dengan mengikuti aturan orang lain. Ia bahkan berseloroh, bahwa kontes menulis tak ubahnya menjadikan menulis ibarat melacur. Seingat saya, kawan saya yang kedua ini dulu pernah beberapa kali mengikuti lomba menulis, tapi gagal menjadi pemenang. Mungkin dia belajar dari petuah bijak, bahwa selalu ada hikmah dari kondisi apapun–termasuk kekalahan. Dari kegagalan menjadi pemenang lomba penulis yang diikutinya berkali-kali, akhirnya dia mendapat “pencerahan” bahwa menulis dengan berharap imbalan hadiah lalu menjadi taat pada aturan yang ditentukan panitia lomba, tak ubahnya tindakan yang menggadaikan prinsip. Sekali lagi saya ulang ucapannya, itu tak beda dengan melacur. 


Lantas bagaimana sikap saya?


Ketika dua kawan saya itu saling sindir sikap masing-masing, saya memilih hanya senyum-senyum saja. Sesekali sambil nyruput kopi. Buat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan lebih jauh lagi. 


Sikap kawan saya yang pertama tadi, sebisanya saya hindari. Alasannya sudah saya ungkap. Menjadi pemenang sayembara menulis sama sekali tidak selayaknya menjadikan saya menepuk dada. Bagi saya, itu semacam kecerobohan yang fatal. Terlalu berbangga diri hanya akan membuat saya malas belajar lebih jauh. Toh, sebagaimana saya bilang, unsur keberuntungan bermain besar dalam perkara ini. 


Tentang kawan saya yang kedua, tidak masalah juga dia beranggapan seperti itu. Namanya pendapat orang lain, harus dihormati, walau saya tidak setuju dengan anggapannya. Saya memegang prinsip idealis di ranah pribadi, kompromi di ranah publik.  Dalam beberapa hal yang menyangkut persoalan diri sendiri, saya harus menentukan perkara ideal. Misalnya, saya tidak akan memukul perempuan. Itu perkara ideal bagi saya. Tapi dalam hal yang menyangkut orang banyak, saya harus kompromi. Perkara lomba menulis ini bagi saya masuk di ranah publik. Sederhana saja, ada orang meminta ide  dari kita (dan 0rang lain), yang sesuai aturan dan memenuhi harapan akan diganjar hadiah. Selesai. 


Itu tak ubahnya dengan kita sekolah, belanja di warung, datang ke pesta, atau perbandingan yang paling mirip: bekerja. Kita tidak bisa sekolah dengan aturan kita sendiri, belanja dengan aturan kita sendiri, atau bekerja dengan aturan kita sendiri. Menjadi wirausaha pun, kita harus mengikuti aturan antara kita sebagai pelaku usaha dengan konsumen. 


Tapi kalaupun teman saya tidak setuju, itu tak jadi soal. Mau bilang saya pelacur juga tidak apa. Ketika saya ungkapkan itu, kawan saya tertawa ngakak, lalu mengolok saya,”Kurang ajar kamu, Bay!”


Saya ikut ngakak. Memang, saya kurang ajar. Bisa juga (maaf) bajingan, mungkin. Bastard. Dalam perkara sayembara penulisan, mungkin saya lebih tepat disebut orang kurang yang ajar atau bajingan yang beruntung. The Lucky Bastard. Dan saya bersyukur untuk itu semua.