Saya
punya kebiasaan memberi nama benda-benda yang saya miliki dan yang kerap saya
gunakan. Benda-benda yang yang karib. Benda-benda yang seringkali menemani
saya. Benda-benda dengan simpul ikatan emosional yang sukar diurai. Benda-benda
yang sedikit atau banyak telah membantu saya dalam menyelesaikan persolan atau
sekadar memenuhi kebutuhan. Satu di antara benda-benda itu adalah laptop.
Sebenarnya
kurang tepat kalau disebut laptop. Piranti yang saya miliki ini adalah netbook. Meski sama-sama memiliki fungsi
sebagai komputer jinjing, ada perbedaan yang cukup mendasar antara netbook dan laptop. Tentu ini menyangkut
kapasitas dan fungsi masing-masing. Steve Jobs, filsuf korporat dari Silicon
Valley itu pernah menyindir (lebih tepatnya mengolok-olok) netbook dalam sebuah presentasinya ketika memperkenalkan Ipad ke
pasaran. Pria yang identik dengan busana turtleneck itu menoktah poin penting
dalam presentasinya, bahwa pasar membutuhkan piranti yang bisa menjadi jembatan
antara laptop dan smartphone. Tidak
terlalu besar seperti laptop, tapi bisa juga menjalankan tugas multimedia macam
laptop sekaligus smartphone (kecuali
menelepon).
Menurut
Jobs, beberapa orang memilih netbook
sebagai jawaban. Namun Jobs menampiknya. Bagi Jobs, netbook hanyalah the cheap laptop. Dia hanya lebih murah, tanpa
memiliki keunggulan lain. Kualitas layarnya menyedihkan serta responnya jauh
lebih lambat dibandingkan laptop sekaligus smartphone.
Jobs bisa jadi benar. Tapi atas nama cinta yang mendalam pada netbook yang saya miliki ini, saya
mempersetankan itu semua.
Saya berkawan
dengan sebuah netbook yang saya beli hampir
3 tahun silam. Waktu itu, saya membelinya menggunakan sisa honor yang saya
dapat dari sebuah pekerjaan sampingan. Karena memang memiliki kelemahan
dibandingkan laptop, harganya juga tidak terlalu mahal. Bahkan relatif murah
karena saya membelinya di masa diskon.
Netbook ini sudah menemani saya
belajar tentang banyak hal. Memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Saya membelinya
tentu saja untuk menyokong hasrat menulis saya yang kambuhan. Netbook ini menemani saya sekadar untuk
menonton kembali gambar-gambar sentimentil (kalaupun tidak boleh dibilang tidak penting), menonton beragam genre film,
sampai mendengarkan lagu kesukaan di kala melamun.
Dari
kacamata ekonomi, netbook ini
berandil besar dalam membantu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ia berjasa dalam
membantu saya menyelesaikan banyak pekerjaan. Pekerjaan utama maupun pekerjaan
sampingan (Kadang bagi saya tidak jelas yang mana utama yang mana
sampingan—yang penting menghasilkan).
Karena
jasa-jasanya, saya memberi kehormatan bagi piranti ringkih ini. Saya
menyematkan nama untuknya sebagai bentuk ucapan terima kasih. Nama perangkat
yang kerap mengisi ransel saya setiap hari ini adalah Jude. Happy Jude.
***
Julian
Lennon dirundung kesedihan. Bocah lelaki itu disaput kalut saat ayahnya, John Lennon,
bercerai dengan ibunya, Chintya, pada tahun 1968. John Lennon, pentolan The
Beatles itu berpisah dari istri pertamanya dan menikahi Yoko Ono, seorang
perempuan introvert dan misterius peranakan Jepang. Konon, Yoko menjadi orang
ketiga yang berandil pada keretakan rumah tangga John-Chintya. Kedekatan John
dan Yoko bermula dari minat keduanya yang sama-sama mendalam terhadap dunia
spiritual. Yoko berhasil menjadi peredam John yang seringkali gelisah.
Paul Mc
Cartney, sahabat John sekaligus personil The Beatles lainnya, mencoba menaruh
empati pada keluarga Lennon yang dilanda
masalah. Ia lalu mengunjungi Cynthia dan Julian. Di dalam mobil, sepulangnya
dari rumah mereka, Paul menggubah sebuah lagu yang ia beri judul "Hey Jude" untuk
menghibur kesedian Julian, putra John.
Pada
mulanya, Paul memberi judul “Hey Jules”. Agar lebih terasa lebih catchy, Paul mengganti “Jules” menjadi “Jude”.
Ada yang berspekulasi bahwa lagu yang merajai tangga lagu Britania Raya di
sekitar tahun 1968 itu memang sebenarnya bukan untuk Julian, putra John Lennon
yang bersedih karena perceraian kedua orang tuanya.
John
Lennon mengira lagu itu justru untuk mengenang perpisahan antara Paul Mc
Cartney dengan kekasihnya, Jane Asher. Apalagi ada kesan bahwa “Jude” identik
untuk menyebut perempuan. Menanggapi itu semua, Paul menampik. Ia bersikukuh
bahwa lagu itu tentang Lennon dan keluarganya.
Apapun
itu, lagu “Hey Jude” memang menarik.
Kekuatan liriknya juga menggugah. Sarat dengan harapan untuk bangkit
dari kesedian yang menjangkit. Berkisah
tentang kepedulian dan upaya menguatkan sosok yang didera kesedihan dan keadaan
sulit.
Hey Jude, don’t make it badTake a sad song and make it betterRemember to let her into your heartThen you can start to make it better.…And anytime you feel the pain, hey Jude, refrainDon’t carry the world upon your shoulderFor well you know that it’s a foll who plays it foolBy making his world a little colderNa na na na na na, na na na
“Hey
Jude” seakan merangkum tentang kegetiran yang dihadapi dengan keberanian yang
manis sekali.
Mungkin
karena itu, saya menamai netbook saya dengan Jude. Happy Jude. Di
satu sisi, Jude buat saya sangat enak didengar. Alasan klise yang terlalu sukar
diurai dan dipahami.
Saya
sering membayangkan bahwa netbook
saya adalah perempuan yang riang, manis dan berani. Perempuan yang tak gentar
menghadapi masalahnya. Perempuan yang berani memperjuangkan mimpinya.
Setelah
tiga tahun bersama, saya tidak pernah sedikitpun berpikir untuk mengganti
piranti. Jude buat saya sudah cukup. Tak lebih. Setidaknya untuk saat ini dan
beberapa tahun ke depan. Kalaupun kelak Jude harus rehat karena digeser piranti
yang lebih canggih dan sesuai kebutuhan, saya tetap tidak akan menjual Jude.
Padahal
Jude sekarang sudah cacat. Layarnya sedikit perot, engselnya pecah. Ada
kejadian konyol di balik musibah yang menyebabkan kecacatan itu melekat hingga
kini. Di suatu malam yang hampir purna karena dijemput subuh, saya menulis.
Angin subuh dingin menusuk perut. Saya masuk angin. Perut melilit. Dan saya
bergegas menuju toilet untuk (maaf) buang air besar. Malang bagi Jude, saya
yang tergopoh-gopoh ke kamar kecil, justru menginjak Jude karena langkah saya
terburu-buru. Jude cedera seketika.
Setelah
saya coba perbaiki sendiri, Jude akhirnya pulih. Tak ada fungsi yang terganggu
sedikitpun akibat kecerobohan saya sendiri itu. Dengan insiden itu, saya justru
semakin sayang kepada Jude. Halah.
***
Tentang
kebiasaan saya menamai benda-benda, saya teringat cerita Aristoteles. Suatu saat
filsuf tersohor dari Yunani itu ditanya muridnya, “Apakah tujuan hidup ini?”
Filsuf
itu menjawab, “Mudah. Jawabannya adalah untuk menamakan benda-benda”.
Aristoteles
bukan asal bicara. Pendapatnya tadi mengantarkannya menjadi orang yang dikenal
sejarah sebagai pelopor sistem klasifikasi spesies dalam ilmu biologi.
Cerita lainnya berasal dari kitab suci agama samawi. Adam, manusia pertama, konon di surga sibuk memberi nama-nama mahkluk ciptaan Tuhan. Kesibukan yang asyik sekali. Sebelum akhirnya di memakan buah pengetahuan dan terusir ke bumi.
Cerita lainnya berasal dari kitab suci agama samawi. Adam, manusia pertama, konon di surga sibuk memberi nama-nama mahkluk ciptaan Tuhan. Kesibukan yang asyik sekali. Sebelum akhirnya di memakan buah pengetahuan dan terusir ke bumi.
Bagi
saya, mungkin cerita-cerita itu memberi pengingat ihwal naluri manusia yang kodratnya memang menolak kesepian. Manusia selalu butuh kawan. Manusia selalu butuh kedekatan. Karena itulah manusia memberi nama benda-benda di
sekitarnya.
Sisanya?
Insting untuk bermain-main. Manusia adalah
homo ludens. Makhluk yang gemar bermain-main. Sebab hidup terlalu
singkat untuk terlalu serius.