Seorang
kawan berkisah pada kami yang sedang duduk bersama di sebuah warung kopi
sederhana. Kawan saya itu, beberapa minggu lalu mengikuti lomba penulisan di
internet dan dia berhasil meraih juara pertama. Kawan saya itu memang pemburu
kontes tulisan. Beberapa kali dia mengikuti lomba menulis yang digagas oleh
berbagai pihak. Hasilnya, terhitung dua
kali berhasil masuk dalam tiga besar. Imbalannya, dia meraih hadiah uang tunai
dari panitia lomba. Tidak ada yang menjadi persoalan sebenarnya. Sebelumnya dia
memulai perihal lain.
Perihal
itu adalah kebanggaan yang kelewat berlebihan. Kawan saya itu merasa bahwa apa
yang dia lakukan sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Ia bercerita ke
kami bahwa lomba yang berhasil ia menangkan adalah perkara prestisius yang
harus diakui kehebatannya oleh semua pihak. Ia mengisahkan bahwa kesulitannya
melakukan riset untuk bahan tulisan, wawancara dengan narasumber untuk membuat
tulisan bernyawa, dan menegangkannya proses penjurian, adalah serangkaian
proses yang harus diganjar dengan sanjungan dan tepuk tangan riuh.
Mungkin
benar, bahwa sebuah pencapaian membutuhkan parameter. Sebuah tolok ukur. Saat
seseorang menggeluti dunia penulisan, barangkali akan muncul beragam tolok ukur.
Mulai dari karya berupa buku, seringnya dimuat di media, atau bisa juga pengakuan lain
semacam soal kontes menulis ini. Tapi mengukur pencapaian hanya berdasarkan
keberhasilan meraih juara dari lomba menulis adalah sebuah sikap yang
terburu-buru.
Buat
saya, tak bisa dipungkiri, keberhasilan meraih juara di sebuah kontes
penulisan, suka atau tidak, dipengaruhi
oleh beberapa hal yang cenderung berbau keberuntungan. Benar atau tidak, mari kita coba cermati bersama beberapa alasannya.
Pertama, tentang informasi
lomba yang tidak semua orang tahu. Beberapa informasi tentang pengadaan lomba
menulis, biasanya hanya diketahui oleh segelintir kalangan. Sehingga kerap
terjadi, persaingan tidak begitu sengit. Perbedaan kualitas naskah yang masuk
terlalu timpang. Akibatnya penentuan pemenang juga menjadi relatif lebih mudah.
Kedua, kalaupun informasi
lomba diketahui oleh banyak orang, tidak semuanya bisa mengikuti batasan deadline yang ditentukan. Bisa jadi
informasi lomba diketahui hanya beberapa hari menjelang deadline oleh seorang penulis. Sedang dia sibuk menggarap pekerjaan
lain dan tidak bisa menyisihkan waktu untuk riset, menggali data dari
narasumber, serta menulis untuk lomba itu sendiri. Karena itu semua, penulis
tersebut tidak bisa mengikuti lomba. Padahal penulis itu dikenal memiliki
kualitas tulisan yang mumpuni.
Ketiga, ada kewajiban panitia
lomba. Ketika panitia lomba sudah membuat pengumuman kepada khalayak bahwa dia
menggagas lomba dengan batasan deadline,
mau tidak mau, ketika deadline sudah
tiba, panitia akan menyeleksi tulisan yang masuk. Setelah syarat administratif
dianggap terpenuhi, panitia akan memulai seleksi kualitas tulisan. Jika tulisan
yang masuk memenuhi harapan panitia karena kualitasnya dianggap bagus, mungkin
akan terjadi kompetisi yang seru. Tapi ketika kualitas tulisan yang masuk
timpang atau bahkan justru semuanya di luar harapan panitia (kualitasnya
buruk), panitia tidak bisa membatalkan lomba. Lomba tetap harus berjalan. Ini
seperti memilih yang terbaik di antara sekumpulan yang buruk. Pemenang harus
ditentukan dan hadiah harus diberikan. Jika tidak, panitia dianggap membohongi
publik.
***
Berbeda
dengan kawan saya yang pertama tadi, saya juga mempunyai satu kawan lagi yang
berkomentar soal sayembara menulis. Baginya, kontes menulis atau perkara
semacam itu sebisa mungkin dia hindari. Katanya, dia tidak bisa menulis dengan
mengikuti aturan orang lain. Ia bahkan berseloroh, bahwa kontes menulis tak
ubahnya menjadikan menulis ibarat melacur. Seingat saya, kawan saya yang kedua
ini dulu pernah beberapa kali mengikuti lomba menulis, tapi gagal menjadi
pemenang. Mungkin dia belajar dari petuah bijak, bahwa selalu ada hikmah dari
kondisi apapun–termasuk kekalahan. Dari kegagalan menjadi pemenang lomba
penulis yang diikutinya berkali-kali, akhirnya dia mendapat “pencerahan” bahwa
menulis dengan berharap imbalan hadiah lalu menjadi taat pada aturan yang
ditentukan panitia lomba, tak ubahnya tindakan yang menggadaikan prinsip.
Sekali lagi saya ulang ucapannya, itu tak beda dengan melacur.
Lantas
bagaimana sikap saya?
Ketika
dua kawan saya itu saling sindir sikap masing-masing, saya memilih hanya
senyum-senyum saja. Sesekali sambil nyruput
kopi. Buat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan lebih jauh lagi.
Sikap
kawan saya yang pertama tadi, sebisanya saya hindari. Alasannya sudah saya
ungkap. Menjadi pemenang sayembara menulis sama sekali tidak selayaknya
menjadikan saya menepuk dada. Bagi saya, itu semacam kecerobohan yang fatal.
Terlalu berbangga diri hanya akan membuat saya malas belajar lebih jauh. Toh, sebagaimana saya bilang, unsur
keberuntungan bermain besar dalam perkara ini.
Tentang
kawan saya yang kedua, tidak masalah juga dia beranggapan seperti itu. Namanya
pendapat orang lain, harus dihormati, walau saya tidak setuju dengan
anggapannya. Saya memegang prinsip idealis
di ranah pribadi, kompromi di ranah publik. Dalam beberapa hal yang menyangkut persoalan
diri sendiri, saya harus menentukan perkara ideal. Misalnya, saya tidak akan
memukul perempuan. Itu perkara ideal bagi saya. Tapi dalam hal yang menyangkut
orang banyak, saya harus kompromi. Perkara lomba menulis ini bagi saya masuk di
ranah publik. Sederhana saja, ada orang meminta ide dari kita (dan 0rang lain), yang sesuai
aturan dan memenuhi harapan akan diganjar hadiah. Selesai.
Itu tak
ubahnya dengan kita sekolah, belanja di warung, datang ke pesta, atau
perbandingan yang paling mirip: bekerja. Kita tidak bisa sekolah dengan aturan
kita sendiri, belanja dengan aturan kita sendiri, atau bekerja dengan aturan
kita sendiri. Menjadi wirausaha pun, kita harus mengikuti aturan antara kita
sebagai pelaku usaha dengan konsumen.
Tapi
kalaupun teman saya tidak setuju, itu tak jadi soal. Mau bilang saya pelacur
juga tidak apa. Ketika saya ungkapkan itu, kawan saya tertawa ngakak, lalu mengolok saya,”Kurang ajar kamu,
Bay!”
Saya
ikut ngakak. Memang, saya kurang
ajar. Bisa juga (maaf) bajingan, mungkin. Bastard. Dalam perkara
sayembara penulisan, mungkin saya lebih tepat disebut orang kurang yang ajar
atau bajingan yang beruntung. The Lucky Bastard. Dan
saya bersyukur untuk itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar