Minggu, 10 Mei 2015

Terima Kasih, Akademi Berbagi!

Di hutan Alaska yang dingin, di dalam sebuah bus tua yang reyot, Alexander Supertramp alias Chritopher McCandless sekarat. Usai melakukan perjalanan jauh selama lebih kurang dua tahun dengan menampik, menertawakan, sekaligus menyumpahi kehidupan sosial di sekelilingnya, ia menghentikan perjalanan di pelosok yang jauh dari hingar bingar. Alex meninggalkan keluarganya dan segenap pranata sosial yang baginya tak lebih dari sekadar omong kosong.  Ia lalu hidup secara nomaden, mengenal banyak orang, dan berusaha lebih dekat dengan alam sekitarnya sampai akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hutan Alaska. Hingga di suatu hari, setelah didera  kelaparan beberapa hari, Alex mengalami keracunan usai menyantap tumbuh-tumbuhan liar di sekitar busnya. Saat meregang nyawa, Alex kemudian menuliskan kalimat wasiat pada salah satu halaman buku Boris Pasternak yang kerap ia baca: “Happiness is only real when shared”. Kisah Alex kemudian diangkat oleh Sean Penn menjadi film berjudul Into The Wild.

Beruntunglah saya tidak harus menjalani hidup dengan laku yang pilu dan asketik macam Alex untuk mengetahui bahwa kebahagiaan memang menjadi nyata manakala ia dibagi. Beruntung pula bahwa akhirnya saya bisa menjalani kredo itu setelah bergabung di sebuah komunitas bernama Akademi Berbagi.

Di medio 2012, Cak Oyong mengajak saya menginisiasi komunitas yang mengusung tagline “Berbagi Bikin Happy” ini di kota Jember. Saya sepakat. Kesepakatan pula yang membuat saya harus menjadi Kepala Sekolah Akademi Berbagi Jember. Dengan pengalaman yang nyaris nihil dalam mengurus komunitas semacam ini, saya menjalankan Akademi Berbagi Jember dengan berbagai tantangannya. Seperti di beberapa kota lainnya, Akademi Berbagi Jember juga mengalami perjalanan yang tak mulus.

Banyak kendala membuat saya belajar banyak hal, disadari atau tidak. Ragam dinamika  komunitas, kepatuhan terhadap komitmen, kepekaan sosial, membangun relasi, membuat jejaring, adalah beberapa hal yang saya bisa saya ambil pelajarannya. Dan betapa saya sadari, tidak semua komunitas bisa membuat saya belajar banyak tentang itu semua.

Setelah dua tahun berselang, saya menyerahkan posisi kepala sekolah terhadap orang lain. Beruntung saya bukan pengidap post power syndrome dalam skala apapun, sehingga posisi saya sebagai anggota Akademi Berbagi Jember setelah sebelumnya menjadi Kepala Sekolah, tak membuat saya canggung. Yang menjadi persoalan adalah justru fokus saya yang pudar terhadap komunitas ini.

Orang boleh mengatakan ini adalah perihal yang klise, namun kesibukan profesi yang padat dan tanggung jawab di rumah sakit, diikuti dengan beberapa “proyek eksistensial” membuat saya tidak sepenuhnya menyumbangkan andil di komunitas ini. Saya bukan menghimpun apologi sekenanya atau sekadar merangkum alasan.

Komposisi Akademi Berbagi Jember sekarang terdiri dari relawan yang lebih banyak, lebih aktif, lebih energik. Dan saya percaya, lewat wadah gerakan Akademi Berbagi, mereka bisa berbuat lebih baik daripada sebelumnya. Tanpa bermaksud seolah-olah bijak, saya juga percaya bahwa gerakan nirlaba ini juga sangat berdampak baik untuk mereka.

Saya teringat omongan saya sendiri, bahwa sebuah perjalanan pada dasarnya adalah upaya mengenali batas. Mereka yang mengambil hikmah dari perjalanan adalah mereka yang paham benar batas untuk memulai, maupun untuk mengakhiri. Bertolak dari ungkapan ini, saya mencoba mengenali batas saya sendiri. Sehingga pada titik ini, saya memutuskan mundur dan keluar dari Akademi Berbagi.

Dengan takzim yang teramat dalam, saya mengucapkan terima kasih untuk apa yang saya dapat sepanjang perjalanan ini. Dengan rasa yang sama pula, saya memohon maaf untuk segala kesalahan yang sudah terjadi.

Sekali lagi, terima kasih, Akademi Berbagi! Berbagi bikin happy!