Di
hutan Alaska yang dingin, di dalam sebuah bus tua yang reyot, Alexander
Supertramp alias Chritopher McCandless sekarat. Usai melakukan perjalanan jauh
selama lebih kurang dua tahun dengan menampik, menertawakan, sekaligus
menyumpahi kehidupan sosial di sekelilingnya, ia menghentikan perjalanan di
pelosok yang jauh dari hingar bingar. Alex meninggalkan keluarganya dan
segenap pranata sosial yang baginya tak lebih dari sekadar omong kosong. Ia lalu hidup secara nomaden, mengenal banyak
orang, dan berusaha lebih dekat dengan alam sekitarnya sampai akhirnya
memutuskan untuk menyendiri di hutan Alaska. Hingga di suatu hari, setelah
didera kelaparan beberapa hari, Alex mengalami
keracunan usai menyantap tumbuh-tumbuhan liar di sekitar busnya. Saat meregang
nyawa, Alex kemudian menuliskan kalimat wasiat pada salah satu halaman buku
Boris Pasternak yang kerap ia baca: “Happiness
is only real when shared”. Kisah Alex kemudian diangkat oleh Sean Penn menjadi film berjudul Into The Wild.
Beruntunglah
saya tidak harus menjalani hidup dengan laku yang pilu dan asketik macam Alex untuk mengetahui
bahwa kebahagiaan memang menjadi nyata manakala ia dibagi. Beruntung pula bahwa
akhirnya saya bisa menjalani kredo itu setelah bergabung di sebuah komunitas
bernama Akademi Berbagi.
Di
medio 2012, Cak Oyong mengajak saya menginisiasi komunitas yang mengusung
tagline “Berbagi Bikin Happy” ini di kota Jember. Saya sepakat. Kesepakatan
pula yang membuat saya harus menjadi Kepala Sekolah Akademi Berbagi Jember. Dengan
pengalaman yang nyaris nihil dalam mengurus komunitas semacam ini, saya
menjalankan Akademi Berbagi Jember dengan berbagai tantangannya. Seperti di beberapa
kota lainnya, Akademi Berbagi Jember juga mengalami perjalanan yang tak mulus.
Banyak
kendala membuat saya belajar banyak hal, disadari atau tidak. Ragam dinamika komunitas, kepatuhan terhadap komitmen, kepekaan
sosial, membangun relasi, membuat jejaring, adalah beberapa hal yang saya bisa
saya ambil pelajarannya. Dan betapa saya sadari, tidak semua komunitas bisa
membuat saya belajar banyak tentang itu semua.
Setelah
dua tahun berselang, saya menyerahkan posisi kepala sekolah terhadap orang
lain. Beruntung saya bukan pengidap post
power syndrome dalam skala apapun, sehingga posisi saya sebagai anggota
Akademi Berbagi Jember setelah sebelumnya menjadi Kepala Sekolah, tak membuat
saya canggung. Yang menjadi persoalan adalah justru fokus saya yang pudar terhadap
komunitas ini.
Orang
boleh mengatakan ini adalah perihal yang klise, namun kesibukan profesi yang
padat dan tanggung jawab di rumah sakit, diikuti dengan beberapa “proyek
eksistensial” membuat saya tidak sepenuhnya menyumbangkan andil di komunitas
ini. Saya bukan menghimpun apologi sekenanya atau sekadar merangkum alasan.
Komposisi
Akademi Berbagi Jember sekarang terdiri dari relawan yang lebih banyak, lebih
aktif, lebih energik. Dan saya percaya, lewat wadah gerakan Akademi Berbagi,
mereka bisa berbuat lebih baik daripada sebelumnya. Tanpa bermaksud seolah-olah
bijak, saya juga percaya bahwa gerakan nirlaba ini juga sangat berdampak baik
untuk mereka.
Saya teringat
omongan saya sendiri, bahwa sebuah perjalanan pada dasarnya adalah upaya
mengenali batas. Mereka yang mengambil hikmah dari perjalanan adalah mereka
yang paham benar batas untuk memulai, maupun untuk mengakhiri. Bertolak dari
ungkapan ini, saya mencoba mengenali batas saya sendiri. Sehingga pada titik
ini, saya memutuskan mundur dan keluar dari Akademi Berbagi.
Dengan
takzim yang teramat dalam, saya mengucapkan terima kasih untuk apa yang
saya dapat sepanjang perjalanan ini. Dengan rasa yang sama pula, saya memohon
maaf untuk segala kesalahan yang sudah terjadi.
Sekali
lagi, terima kasih, Akademi Berbagi! Berbagi bikin happy!