Holmes
memeluk Madam Shimza sambil berdansa. Tubuhnya bergoyang pelan mengikuti alunan
musik yang mengiringi. Matanya awas, menatap sekeliling, lalu merekamnya di
dalam ingatan. Ia sedang mencari Rene, adik Shimza yang sedang menyamar menjadi
diplomat. Rene sendiri adalah pemuda tanggung yang menjadi korban indoktrinasi
oleh Moriarty, musuh bebuyutan Holmes.
Holmes
sedang melakukan deduksi. Ia melihat orang-orang sekitarnya, menggali data
lewat pakaian, atribut, gaya bicara, sampai gestur, lalu menarik kesimpulan
tentang orang yang dilihatnya tadi. Sebuah gaya yang khas dari Holmes.
“Ini
kebiasaanmu?” tanya Madam Shimza pada detektif eksentrik itu.
“Ini
kutukanku, “ jawab Holmes santai.
***
Penggalan
cerita di atas saya tuliskan dari film Sherlock
Holmes 2: A Game of Shadow besutan
Guy Ritchie. Saya sudah pernah menuliskan review-nya
di sini. Tak akan saya bahas ulang. Bukan pula saya hendak menggali lebih jauh
soal kebiasaan deduksi detektif yang indekost
di Baker Street 221 B itu.
Saat
itu, setelah menonton film itu (dan puas), saya membawa pulang sepaket
pemahaman yang mengusik. Yang menarik buat saya adalah ketika Holmes membuat
pernyataan bahwa kemampuan deduksi yang menjadi senjata utamanya itu adalah
kutukan.
Saya
sepakat dengan itu. Kadang terlalu banyak tahu itu meresahkan. Knowledge is a weapon adalah ungkapan yang terlalu lawas. Buat
saya, terkadang, knowledge is a curse.
Terlalu
banyak tahu itu kadang tidak menyenangkan. Sebab tahu saja kerapkali tidak
cukup. Banyak masalah yang tidak selesai hanya dengan hanya sekadar tahu.
Ketika sampai pada titik itu, pengetahuan kerapkali menampakkan wajahnya sebagai
kutukan. Maksud saya ketika kita tahu banyak hal, tapi selanjutnya kita tidak
bisa berbuat banyak–walau kita tahu apa yang harus dilakukan–ketika itu pula
pengetahuan menjadi kutukan.
Pengetahuan
juga menjadi kutukan ketika semakin banyak kita tahu, semakin itu pula kita
merasa kurang tahu. Sisi paradoks pengetahuan yang membuat kita senantiasa haus
.
Selain
itu, orang yang diberikan pengetahuan tertentu, mendapatkan “tanggung jawab” yang
lebih besar daripada yang tidak tahu apa-apa. Mereka, yang mereguk pengetahuan
lebih banyak daripada yang lain, harus mutlak melakukan sesuatu yang lebih
daripada mereka yang sekadar mencicipi tetesan pengetahuan saja. Sedikit lebih merepotkan, memang.
Kutukan
semakin terasa perih, saat ternyata upaya kita menunaikan tanggung jawab tadi
ternyata dibenturkan pada realitas, bahwa ada hal lain di luar kapasitas kita,
sehingga kita tidak dapat melakukan apa-apa. Kita serupa pejalan yang
terperangkap pada lorong gelap, tahu caranya menyalakan api sebagai penerang,
tapi kita tidak punya pemantik. Pada akhirnya serapah menjadi kawan karib.
Maka
saya semakin paham kenapa dalam cerita di kitab suci agama samawi, Adam dan Hawa diturunkan ke dunia setelah Hawa
mencicipi buah pengetahuan (khuldi). Terlalu banyak tahu itu merepotkan, maka
Adam dan Hawa disuruh turun ke dunia dengan ketidakmengertian mereka.
Pengetahuan
menjadi kutukan, juga kerap saya alami. Misalnya, di saat saya bekerja di UGD.
Unit yang sering mengantarkan saya pada batas-batas yang tidak boleh saya
lewati, bahkan saya intip celahnya.
Saya
membekali diri saya dengan banyak hal yang terkait dengan penanganan kasus
kegawatdaruratan, tapi kenyataan kerap menampar saya, bahwa itu semua hanyalah
perkara yang terlampau kecil untuk sebuah keniscayaan bernama maut. Seterampil
apapun saya menangani pasien gawat darurat, sebagaimanapun canggihnya kerjasama
yang dibangun oleh tim kode biru di UGD, tetap saja maut selalu hadir dengan
dingin dan tak bisa ditampik.
Di kala
seperti itu, pengetahuan menjadi kutukan buat saya. Tak bisa saya tolak dan
harus saya jalani tuahnya.
Namun pada
akhirnya saya harus memilih sikap. Kutukan ini, bagaimanapun akan menghinggapi
saya. Dan saya harus menerima itu. Tapi saya menerima dengan senang hati. Lebih
jelasnya, saya merayakan kutukan ini. Perkara batas-batas yang tidak bisa saya
sentuh, itu bukan urusan saya.
Saya akan
terus berjalan pada lorong gelap dengan penuh kesadaran, dengan berbekal
pengetahuan, sebab kita tidak akan pernah tahu di titik mana kita akan
menemukan pemantik, lalu menyalakan terang.
Jika
Chairil Anwar sambil menghisap rokok pernah menulis “nasib adalah kesunyian masing-masing”, maka mungkin juga tidak ada salahnya bila saya
bilang bahwa “pengetahuan adalah kutukan
masing-masing”.
Selamat
merayakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar