Senin, 13 Mei 2013

Kutukan





Holmes memeluk Madam Shimza sambil berdansa. Tubuhnya bergoyang pelan mengikuti alunan musik yang mengiringi. Matanya awas, menatap sekeliling, lalu merekamnya di dalam ingatan. Ia sedang mencari Rene, adik Shimza yang sedang menyamar menjadi diplomat. Rene sendiri adalah pemuda tanggung yang menjadi korban indoktrinasi oleh Moriarty, musuh bebuyutan Holmes. 


Holmes sedang melakukan deduksi. Ia melihat orang-orang sekitarnya, menggali data lewat pakaian, atribut, gaya bicara, sampai gestur, lalu menarik kesimpulan tentang orang yang dilihatnya tadi. Sebuah gaya yang khas dari Holmes. 


“Ini kebiasaanmu?” tanya Madam Shimza pada detektif eksentrik itu. 


“Ini kutukanku, “ jawab Holmes santai. 

***


Penggalan cerita di atas saya tuliskan dari film Sherlock Holmes 2: A Game of Shadow besutan Guy Ritchie. Saya sudah pernah menuliskan review-nya di sini. Tak akan saya bahas ulang. Bukan pula saya hendak menggali lebih jauh soal kebiasaan deduksi detektif yang indekost di Baker Street 221 B itu. 


Saat itu, setelah menonton film itu (dan puas), saya membawa pulang sepaket pemahaman yang mengusik. Yang menarik buat saya adalah ketika Holmes membuat pernyataan bahwa kemampuan deduksi yang menjadi senjata utamanya itu adalah kutukan. 


Saya sepakat dengan itu. Kadang terlalu banyak tahu itu meresahkan. Knowledge is a weapon  adalah ungkapan yang terlalu lawas. Buat saya,  terkadang, knowledge is a curse. 


Terlalu banyak tahu itu kadang tidak menyenangkan. Sebab tahu saja kerapkali tidak cukup. Banyak masalah yang tidak selesai hanya dengan hanya sekadar tahu. Ketika sampai pada titik itu, pengetahuan kerapkali menampakkan wajahnya sebagai kutukan. Maksud saya ketika kita tahu banyak hal, tapi selanjutnya kita tidak bisa berbuat banyak–walau kita tahu apa yang harus dilakukan–ketika itu pula pengetahuan menjadi kutukan.
Pengetahuan juga menjadi kutukan ketika semakin banyak kita tahu, semakin itu pula kita merasa kurang tahu. Sisi paradoks pengetahuan yang membuat kita senantiasa haus . 


Selain itu, orang yang diberikan pengetahuan tertentu, mendapatkan “tanggung jawab” yang lebih besar daripada yang tidak tahu apa-apa. Mereka, yang mereguk pengetahuan lebih banyak daripada yang lain, harus mutlak melakukan sesuatu yang lebih daripada mereka yang sekadar mencicipi tetesan pengetahuan saja.  Sedikit lebih merepotkan, memang. 


Kutukan semakin terasa perih, saat ternyata upaya kita menunaikan tanggung jawab tadi ternyata dibenturkan pada realitas, bahwa ada hal lain di luar kapasitas kita, sehingga kita tidak dapat melakukan apa-apa. Kita serupa pejalan yang terperangkap pada lorong gelap, tahu caranya menyalakan api sebagai penerang, tapi kita tidak punya pemantik. Pada akhirnya serapah menjadi kawan karib. 


Maka saya semakin paham kenapa dalam cerita di kitab suci agama samawi,  Adam dan Hawa diturunkan ke dunia setelah Hawa mencicipi buah pengetahuan (khuldi). Terlalu banyak tahu itu merepotkan, maka Adam dan Hawa disuruh turun ke dunia dengan ketidakmengertian mereka. 


Pengetahuan menjadi kutukan, juga kerap saya alami. Misalnya, di saat saya bekerja di UGD. Unit yang sering mengantarkan saya pada batas-batas yang tidak boleh saya lewati, bahkan saya intip celahnya. 


Saya membekali diri saya dengan banyak hal yang terkait dengan penanganan kasus kegawatdaruratan, tapi kenyataan kerap menampar saya, bahwa itu semua hanyalah perkara yang terlampau kecil untuk sebuah keniscayaan bernama maut. Seterampil apapun saya menangani pasien gawat darurat, sebagaimanapun canggihnya kerjasama yang dibangun oleh tim kode biru di UGD, tetap saja maut selalu hadir dengan dingin dan tak bisa ditampik.
Di kala seperti itu, pengetahuan menjadi kutukan buat saya. Tak bisa saya tolak dan harus saya jalani tuahnya. 


Namun pada akhirnya saya harus memilih sikap. Kutukan ini, bagaimanapun akan menghinggapi saya. Dan saya harus menerima itu. Tapi saya menerima dengan senang hati. Lebih jelasnya, saya merayakan kutukan ini. Perkara batas-batas yang tidak bisa saya sentuh, itu bukan urusan saya. 


Saya akan terus berjalan pada lorong gelap dengan penuh kesadaran, dengan berbekal pengetahuan, sebab kita tidak akan pernah tahu di titik mana kita akan menemukan pemantik, lalu menyalakan terang.


Jika Chairil Anwar sambil menghisap rokok pernah menulis “nasib adalah kesunyian masing-masing”,  maka mungkin juga tidak ada salahnya bila saya bilang bahwa “pengetahuan adalah kutukan masing-masing”


Selamat merayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar