Jumat, 05 Juli 2013

Jaga Malam



Hidup terlalu teratur, seringkali tidak menarik. Bukan hanya itu, hidup yang terlalu teratur, juga seringkali malah merepotkan. Bayangkan saja bila semua orang bekerja hanya di siang hari, dan menghabiskan waktu malam untuk tidur. Keteraturan macam itu justru akan merepotkan. Masalah hajat seringkali hidup tidak mengenal pembagian waktu siang dan malam. Untuk itulah, beberapa orang diberi sedikit kekuatan untuk melek ketika teman-temannya sedang pulas terlelap.

 Orang-orang tadi melawan circadiac system tubuhnya sendiri, demi melakukan sesuatu untuk orang lain. Tuhan memberkati mereka yang menjaga malam. Polisi, hansip, tukang jual ketan dan wedang ronde, paramedis, dokter, pemadam kebakaran, atau justru Batman adalah sekian contoh mereka yang menukar waktu istirahatnya untuk berbuat sesuatu. Bayangkan malam tanpa mereka berjaga, pasti merepotkan. 

Taruhlah saya menghimpun apologi untuk saya sendiri. Atau sekadar upaya menghibur diri sendiri sebab saya sedang menjalani laku yang saya maksudkan sebagaimana uraian pembuka yang tidak penting-penting amat di pembuka tulisan ini. Ya, saat saya menulis tulisan ini, saya sedang jaga malam di Unit Gawat Darurat (UGD). 

Jaga malam di UGD selalu menarik buat saya. Saya bukannya makhluk abnormal yang tidak memiliki peningkatan hormon kortisol di malam hari. Saya sama saja dengan manusia lainnya. Seharusnya, saya tidur di saat malam hari tiba. Tapi sekali lagi, hidup terlalu teratur itu tidak menarik. Ditambah lagi, mungkin saya kena balasan dari ilmu yang saya peroleh, khususnya menyoal kegawatdaruratan. Dulu –sampai sekarang–saya terus menuntut ilmu soal kegawatdaruratan. Giliran ilmu soal kegawatdaruratan saya cecap manisnya, giliran dia yang menuntut saya untuk mengamalkannya. Tak peduli siang, tak peduli malam. Sekali lagi hajat menyoal hidup –dan mati –seseorang, tak kenal siang-malam.  Mengapa saya antusias setiap jaga malam, tak lain karena saya kerap menemukan kasus menarik tentang kondisi gawat darurat, ketika saya jaga malam. 

Kasus terbanyak tentu saja dihuni oleh kasus kecelakaan lalu lintas alias trauma mekanik. Circadiac system kerap kali tidak bisa diajak bekerjasama ketika malam hari. Sistem yang mereka buat “memaksa” tubuh untuk beristirahat. Jika manusia memaksa untuk melawannya, maka fungsi asosiasi dan koordinasi tubuh akan menurun. Ini yang memicu kecelakaan lalu lintas sering terjadi. 

Kasus kecelakaan lalu lintas yang kemudian mampir ke UGD saat saya juga malam, kebanyakan juga terjadi  karena mengikuti kebiasaan buruk: mabuk. Mungkin kondisi malam hari yang dingin dan senyap, membuat mereka membiasakan diri minum minuman keras. Hanya saja karena dosisnya kelewat banyak, maka mabuklah  mereka. Lalu mencari angin dengan mengendarai mobil atau motornya, dan terjadilah kecelakaan. Saat di UGD, biasanya mereka sering meracau dan mulutnya masih berbau sengak alkohol. Kasus-kasus semacam ini mempunyai ciri khas: datangnya cepat, mematikan, dan mahal. 

Selain kasus-kasus trauma mekanik, jaga malam di UGD juga mengantarkan saya pada kasus-kasus gawat yang sebenarnya tidak gawat-gawat amat. Biasanya didominasi oleh kaum hawa. Dan biasanya lagi, kasus yang sering muncul, erat hubungannya dengan masalah-masalah asmara. Semisal seorang perempuan muda yang diputuskan oleh kekasihnya, lalu dia menenggak parfum dengan setengah hati, sang lelaki kemudian panik, dan membawanya ke UGD. Yang lebih menyayat, biasanya aksi tanggung untuk coba-coba menyayat nadi sendiri, tapi masih ragu. Jadilah sayatan-sayatan tadi tidak memotong nadi dan urung menghabiskan darah. Hanya sekadar goresan-goresan yang tidak terlalu dalam di pergelangan tangan. Khusus untuk kasus gawat semacam ini, biasanya berakhir dengan happy ending. Setidaknya untuk sesaat. Biasanya sang lelaki akan mengubah sikapnya sejenak, agar perempuannya tidak melanjutkan aksinya lebih jauh. Sang perempuan juga menjadi lebih asertif. Lalu mereka keluar UGD dengan perasaan yang lebih intim. Setidaknya itu yang saya lihat. 

Begitulah. Jaga malam selalu menarik buat saya. Kerapkali ketika jaga malam di UGD, saya menampik kantuk. Alih-alih demikian, kadang-kadang rasa kantuk juga tidak sempat hinggap. Saya bisa terjaga sampai pagi dengan fokus penuh. Padahal biasanya jika di rumah, saya sangat jarang begadang. 

Ketika jaga malam di UGD, saya cenderung lebih bersemangat saat subuh tiba. Saat-saat menjelang fajar. Saat-saat yang menurut kaum melankolis cum filosofis adalah saat paling reflektif. Sebab  di saat subuh, saat tergelap sekaligus saat menjelang terang hadir. Masa-masa yang kental dengsan paradoks. Biasanya, sangat jarang ada pasien datang di jam-jam seperti ini. Kalau pun datang, biasanya juga kasus yang unik (saya pernah menerima pasien sekitar jam empat pagi yang datang dengan keluhan panik setelah minum Viagra). 
Saat-saat jelang fajar, kerap saya manfaatkan untuk aktifitas kesukaan saya: melamun. Kalaupun tidak, saya biasanya menulis atau membaca. Kalaupun sedang malas melakukan keduanya, biasanya saya berolahraga ringan, melakukan peregangan otot, mencium bau parfum kesukaan saya, dan sesudahnya saya menghirup angin subuh yang dingin. 

Sepulang jaga malam, saya tidak langsung tidur. Rasa kantuk tak juga hinggap. Biasanya saya baru tidur selepas tengah hari. Molor sampai sore. 

 
Saat jaga malam. Oh iya, saya narsis maka saya ada.

Begitulah. Mereka yang terjaga di malam hari, bukanlah orang-orang yang luar biasa. Mereka sama-sama butuh tidur juga. Bukan manusia-manusia sok gagah yang coba melawan ketentuan alam. Tapi kadang-kadang mereka terjaga karena dibenturkan pada kepentingan dasar: bekerja untuk bertahan hidup. Atau juga terjaga karena demi menuntaskan “kutukan” ilmu pengetahuan yang harus mereka terima dan jalani. Saya melakoni melek di malam hari dengan dua alasan tadi sekaligus. 

Apapun alasannya, semoga akan terus ada orang-orang yang mau terjaga di malam hari, memeriahkannya dengan bekerja, hingga pagi tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar