Hidup terlalu teratur,
seringkali tidak menarik. Bukan hanya itu, hidup yang terlalu teratur, juga
seringkali malah merepotkan. Bayangkan saja bila semua orang bekerja hanya di
siang hari, dan menghabiskan waktu malam untuk tidur. Keteraturan macam itu justru
akan merepotkan. Masalah hajat seringkali hidup tidak mengenal pembagian waktu
siang dan malam. Untuk itulah, beberapa orang diberi sedikit kekuatan untuk
melek ketika teman-temannya sedang pulas terlelap.
Orang-orang tadi melawan circadiac system tubuhnya sendiri, demi melakukan sesuatu untuk
orang lain. Tuhan memberkati mereka yang menjaga malam. Polisi, hansip, tukang
jual ketan dan wedang ronde, paramedis, dokter, pemadam kebakaran, atau justru
Batman adalah sekian contoh mereka yang menukar waktu istirahatnya untuk
berbuat sesuatu. Bayangkan malam tanpa mereka berjaga, pasti merepotkan.
Taruhlah saya menghimpun
apologi untuk saya sendiri. Atau sekadar upaya menghibur diri sendiri sebab
saya sedang menjalani laku yang saya maksudkan sebagaimana uraian pembuka yang
tidak penting-penting amat di pembuka tulisan ini. Ya, saat saya menulis
tulisan ini, saya sedang jaga malam di Unit Gawat Darurat (UGD).
Jaga malam di UGD selalu
menarik buat saya. Saya bukannya makhluk abnormal yang tidak memiliki
peningkatan hormon kortisol di malam hari. Saya sama saja dengan manusia
lainnya. Seharusnya, saya tidur di saat malam hari tiba. Tapi sekali lagi,
hidup terlalu teratur itu tidak menarik. Ditambah lagi, mungkin saya kena
balasan dari ilmu yang saya peroleh, khususnya menyoal kegawatdaruratan. Dulu
–sampai sekarang–saya terus menuntut ilmu soal kegawatdaruratan. Giliran ilmu
soal kegawatdaruratan saya cecap manisnya, giliran dia yang menuntut saya untuk
mengamalkannya. Tak peduli siang, tak peduli malam. Sekali lagi hajat menyoal
hidup –dan mati –seseorang, tak kenal siang-malam. Mengapa saya antusias setiap jaga malam, tak
lain karena saya kerap menemukan kasus menarik tentang kondisi gawat darurat,
ketika saya jaga malam.
Kasus terbanyak tentu saja
dihuni oleh kasus kecelakaan lalu lintas alias trauma mekanik. Circadiac system kerap kali tidak bisa
diajak bekerjasama ketika malam hari. Sistem yang mereka buat “memaksa” tubuh
untuk beristirahat. Jika manusia memaksa untuk melawannya, maka fungsi asosiasi
dan koordinasi tubuh akan menurun. Ini yang memicu kecelakaan lalu lintas
sering terjadi.
Kasus kecelakaan lalu lintas
yang kemudian mampir ke UGD saat saya juga malam, kebanyakan juga terjadi karena mengikuti kebiasaan buruk: mabuk.
Mungkin kondisi malam hari yang dingin dan senyap, membuat mereka membiasakan
diri minum minuman keras. Hanya saja karena dosisnya kelewat banyak, maka
mabuklah mereka. Lalu mencari angin
dengan mengendarai mobil atau motornya, dan terjadilah kecelakaan. Saat di UGD,
biasanya mereka sering meracau dan mulutnya masih berbau sengak alkohol. Kasus-kasus
semacam ini mempunyai ciri khas: datangnya cepat, mematikan, dan mahal.
Selain kasus-kasus trauma
mekanik, jaga malam di UGD juga mengantarkan saya pada kasus-kasus gawat yang
sebenarnya tidak gawat-gawat amat. Biasanya didominasi oleh kaum hawa. Dan
biasanya lagi, kasus yang sering muncul, erat hubungannya dengan
masalah-masalah asmara. Semisal seorang perempuan muda yang diputuskan oleh
kekasihnya, lalu dia menenggak parfum dengan setengah hati, sang lelaki
kemudian panik, dan membawanya ke UGD. Yang lebih menyayat, biasanya aksi
tanggung untuk coba-coba menyayat nadi sendiri, tapi masih ragu. Jadilah
sayatan-sayatan tadi tidak memotong nadi dan urung menghabiskan darah. Hanya
sekadar goresan-goresan yang tidak terlalu dalam di pergelangan tangan. Khusus
untuk kasus gawat semacam ini, biasanya berakhir dengan happy ending. Setidaknya untuk sesaat. Biasanya sang lelaki akan
mengubah sikapnya sejenak, agar perempuannya tidak melanjutkan aksinya lebih
jauh. Sang perempuan juga menjadi lebih asertif. Lalu mereka keluar UGD dengan
perasaan yang lebih intim. Setidaknya itu yang saya lihat.
Begitulah. Jaga malam selalu
menarik buat saya. Kerapkali ketika jaga malam di UGD, saya menampik kantuk.
Alih-alih demikian, kadang-kadang rasa kantuk juga tidak sempat hinggap. Saya
bisa terjaga sampai pagi dengan fokus penuh. Padahal biasanya jika di rumah,
saya sangat jarang begadang.
Ketika jaga malam di UGD, saya
cenderung lebih bersemangat saat subuh tiba. Saat-saat menjelang fajar. Saat-saat
yang menurut kaum melankolis cum filosofis adalah saat paling reflektif. Sebab di saat subuh, saat tergelap sekaligus saat
menjelang terang hadir. Masa-masa yang kental dengsan paradoks. Biasanya,
sangat jarang ada pasien datang di jam-jam seperti ini. Kalau pun datang,
biasanya juga kasus yang unik (saya pernah menerima pasien sekitar jam empat
pagi yang datang dengan keluhan panik setelah minum Viagra).
Saat-saat jelang fajar, kerap
saya manfaatkan untuk aktifitas kesukaan saya: melamun. Kalaupun tidak, saya
biasanya menulis atau membaca. Kalaupun sedang malas melakukan keduanya,
biasanya saya berolahraga ringan, melakukan peregangan otot, mencium bau parfum
kesukaan saya, dan sesudahnya saya menghirup angin subuh yang dingin.
Sepulang jaga malam, saya tidak
langsung tidur. Rasa kantuk tak juga hinggap. Biasanya saya baru tidur selepas
tengah hari. Molor sampai sore.
Begitulah. Mereka yang terjaga
di malam hari, bukanlah orang-orang yang luar biasa. Mereka sama-sama butuh
tidur juga. Bukan manusia-manusia sok gagah yang coba melawan ketentuan alam.
Tapi kadang-kadang mereka terjaga karena dibenturkan pada kepentingan dasar:
bekerja untuk bertahan hidup. Atau juga terjaga karena demi menuntaskan “kutukan”
ilmu pengetahuan yang harus mereka terima dan jalani. Saya melakoni melek di
malam hari dengan dua alasan tadi sekaligus.
Apapun alasannya, semoga akan terus ada orang-orang yang mau
terjaga di malam hari, memeriahkannya dengan bekerja, hingga pagi tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar