Tulisan
kedua saya umtuk proyek #5BukuDalamHidupku
===================================================================
Membaca
Caping adalah membaca Goenawan Mohamad yang konsisten dengan produktivitasnya.
Membaca Caping adalah membaca vitalitas yang tak kunjung padam.
Membaca Caping adalah membaca ide dan kejenakaan yang tak lekang oleh panas.
Membaca Caping adalah membaca sejarah sekaligus aktualitas berlatar sejarah.
Membaca Caping adalah membaca lompatan.
Membaca Caping adalah membaca diksi yang penuh dan kata yang padat.
Membaca Caping adalah membaca kesederhanaan dan efektivitas, sekaligus kerumitan bahasa.
Membaca Caping adalah membaca makna.
Membaca Caping adalah membaca semangat dan gairah.
Membaca Caping adalah membaca ketidaktahuan dan kenaifan kita.
Membaca Caping adalah membaca vitalitas yang tak kunjung padam.
Membaca Caping adalah membaca ide dan kejenakaan yang tak lekang oleh panas.
Membaca Caping adalah membaca sejarah sekaligus aktualitas berlatar sejarah.
Membaca Caping adalah membaca lompatan.
Membaca Caping adalah membaca diksi yang penuh dan kata yang padat.
Membaca Caping adalah membaca kesederhanaan dan efektivitas, sekaligus kerumitan bahasa.
Membaca Caping adalah membaca makna.
Membaca Caping adalah membaca semangat dan gairah.
Membaca Caping adalah membaca ketidaktahuan dan kenaifan kita.
--diambil
dari blog Caping
Ada yang
bilang, hampir semua anak muda di
Indonesia yang belajar menulis esai secara serius, pasti mengawali dengan membaca Catatan
Pinggir (Caping) milik Goenawan Mohamad (GM) sebagai acuan. Dan bisa dipastikan
pula, sebagian besar dari mereka kepincut dengan Caping. Saya berani bertaruh.
Saya juga masuk golongan yang sama. Caping,
bagaimanapun sempat memberikan pengaruh dalam cara saya menulis, sedikit atau
banyak. Minimal, dalam hal penyusunan lead,
Caping kerap memberikan teladan yang baik. Dan saya mencoba mengikutinya. GM
lewat Caping juga memberikan contoh yang
baik tentang bagaimana menggagas kalimat-kalimat pendek, tapi efektif. Caping
pula yang membuat saya tahu, bahwa judul esai tak harus berbelit-belit. Cukup
satu kata (ini menjadi ciri khas tulisan Caping).
Ide penulisan Caping pada
mulanya berangkat dari kebiasaan GM mengomentari apa yang dia baca, lalu dia
menuliskan komentarnya di pinggir halaman buku tersebut. GM
memilih model tulisan esai karena ingin mengajak orang berpikir. Tulisan esai
diperkenalkan oleh Michel de Montagne pada abad 15. Montagne berpendapat
sebenarnya yang kita ketahui tidak banyak bahkan tidak ada. Sehingga ia
mempergunakan esai sebagai percobaan untuk mengajak orang berpikir untuk
mendapatkan kejernihan dari kekalutan masalah.
Perkenalan saya dengan Caping dimulai ketika
saya menjelang tamat SMA. Seorang kawan meminjam di perpustakaan sekolah, dan
saya lantas meminjam darinya. Kesan pertama setelah membaca Caping untuk
pertama kali adalah saya terpukau sekaligus tidak mengerti.
Pada mulanya bukan menyoal bagaimana Caping
mempengaruhi teknik menulis. Caping ibarat lorong panjang dengan berbagai hal
menarik di dinding-dindingnya. Caping
bercerita begitu lengkap, namun tidak pernah riuh apalagi pekak. Diksi-diksinya unik dan kerap “memaksa” saya
harus mencari tahu apa maksudnya. GM lewat Caping juga kerap “mengenalkan”
nama-nama pemikir yang kerap ia kutip dan tidak pernah saya dengar sebelumnya.
GM juga sangat sering menyebut buku-buku bacaan yang entah, film yang tidak
pernah saya tonton, atau lagu yang tak
pernah hinggap di telinga saya. Pendek kata, membaca Caping saat itu terasa
menggairahkan.
Tapi justru di situ paradoks muncul.
Tema-tema dalam Caping diusung GM dengan konsisten. Sangat
konsisten. Apa yang GM tulis tidak akan jauh-jauh dari perkara Tuhan, agama dan sikap keberagamaan, spiritualitas, sekulerisme.
Sesekali ia akan mengulik soal perkara politik, ekonomi, atau humaniora. Tidak
pernah beranjak dari itu semua. Jangan lupa, formula yang digunakan adalah
dengan memoles lewat kutipan-kutipan dari para pemikir, mempercantik diksi lalu
menarik diri dari persoalan dengan memosisikan diri sebagai “orang ketiga” dari
persoalan yang diangkat. Konsistensi lalu menjadi bias dengan hal yang
membosankan.
Tapi apapun itu, Caping
mengajarkan saya banyak hal. Satu hal penting lainnya yang saya warisi adalah
bagaimana berpikir dengan begitu plastis. Semua tulisan GM di Caping begitu
lentur. Ketika dia membenturkan diri dengan bahasan yang ia kritisi sekalipun,
lewat permainan kata yang ajaib, dia seakan memantul kembali untuk menjaga diri
agar tidak hinggap di satu sudut saja.
Bicara Caping juga bicara tentang komitmen dan produktivitas. Jilid
1 sampai jilid 9 (jumlah sekuelnya mengalahkan sinetron Tersanjung) adalah
bukti GM begitu menjaga komitmen sekaligus menjaga level produktivitasnya.
Pernah suatu saat dia ditanya,
“Mas Goen, apa rahasia Anda begitu produktif menulis Caping?”
GM menjawab kurang lebih
begini, “Ya karena disuruh Tempo. Selama saya bisa
pasti saya lakukan," katanya. Buat saya itu bentuk
kejenakaan sekaligus bentuk kerendahhatian
seorang GM.
Seperti kita tahu Caping yang
berjilid-jilid itu disusun dari tulisan GM di halaman belakang majalah TEMPO
setiap minggu. Ada cerita menarik soal ini. Konon, saat GM masih menjadi pimred
TEMPO, awak redaksi baru bisa “tenang”
kalau GM sudah menulis Caping. Kalau Caping belum selesai, dia tidak akan
pulang dari kantor.
Toriq, seorang redaksi senior
TEMPO juga pernah berujar, “Dia itu selalu gelisah.
Bahkan setelah nulis sekalipun dia tetap gelisah. Pernah Caping yang sudah
diserahkan direvisi hingga 9 kali. Ke mana pun dia pergi, dia pasti akan tetap
menulis,"
Ketika sudah tidak di TEMPO
lagi pun, GM tetap menjaga komitmennya menulis Caping. Pernah suatu saat dia di
Amerika Serikat dan dia sedang menghadapi deadline
menulis Caping. Untuk pergi ke pusat kota, ia harus menempuh perjalanan
sekitar 3 jam agar dia bisa mengirim email ke TEMPO. Tapi kala itu udara sangat
dingin. GM malas keluar. Akhirnya dia menulis Caping lewat SMS.
Bagaimanapun, Caping menurut
saya adalah sebuah catatan penting di khazanah perbukuan Indonesia. Terlepas
dari segala macam paradoksnya, Caping termasuk buku yang memberikan banyak
pengaruh kepada saya secara pribadi.
Justru karena paradoksnya yang
tak kunjung selesai itu, saya menulis catatan sederhana ini untuknya.
Catatan ini juga padat, penuh, dan nampak bergairah. Barangkali sudah waktunya Sahad Bayu menggantikan Pak Goen :)
BalasHapusTuh kan, mulai deh Mas Bro menebar jurus mautnya: menggombal. :D
Hapus