Gambar diambil dari sini |
Dua
hari terakhir, saya banyak bicara tentang kematian.
Sabtu
kemarin, saya pulang larut malam. Udara dingin nian. Jalanan sunyi dan lengang.
Hingga saat saya sampai di sebuah tikungan yang cukup tajam, saya menghentikan
kendaraan saya sejenak.
Di
sekitar tikungan itu, terlihat banyak orang yang berkerumun. Saya turun dari
kendaraan untuk melihat apa yang terjadi. Tatapan saya terhenti pada dua sosok
yang tergeletak di pinggir jalan. Dua
sosok yang sudah tidak bernyawa. Beberapa orang bergidik, beberapa menjerit.
Sisanya tercekat, sesekali menelan ludah. Saya salah satunya.
Satu dari
dua sosok tadi tergeletak tak bernyawa dengan tungkai kaki yang berotasi hampir
180 derajat. Jelas, itu diakibatkan benturan yang sangat keras, hingga tungkai
kaki bisa berputar seperti itu. Seorang lagi lebih mengenaskan. Tempurung
kepalanya pecah. Saya mengamati aspal di sekitar kepala yang pecah itu. Saya tercengang melihat
sebuah onggokan berwarna putih pucat agak merah muda di dekat mayat pemuda yang tergeletak itu. Sebagian
dari onggokan itu hancur, terseret aspal. Sebagian besar masih utuh. Itu adalah
jaringan otak yang keluar dari batok kepala. Tulang kepala yang keras itu pecah,
tentu karena benturan yang lebih keras.
Dua pemuda
naas itu tewas karena kecelakaan kendaraan bermotor. Mereka tak pakai helm. Motor yang mereka naiki
adalah motor hasil modifikasi ala kadar. Di dekat lokasi kecelakaan itu, memang sering diadakan
balap liar. Entah, apakah dua pemuda yang ditemukan tewas itu juga hendak
mengikuti balap liar atau tidak.
Saya
berdiri mematung melihat dua sosok mayat pemuda
itu. Saya membayangkan kesedihan anggota keluarga mereka, saat mendapat
kabar bahwa mereka tewas mengenaskan. Saya juga terhenyak karena jasad dua
orang itu dibiarkan begitu saja di pinggir jalan, sembari menunggu keluarganya
datang.
Omongan
Soe Hok-Gie soal maut tak lagi relevan. "Maut: indah datangnya dan selalu diberi
salam," kata Gie. Tapi itu seakan tidak berlaku bagi dua orang mayat tadi,
mungkin.
Setelah
agak lama, keluarga mereka datang. Saya melanjutkan perjalanan. Khawatir tidak
sanggup mengendalikan perasaan.
***
Paginya,
saya berkirim pesan pendek dengan seorang kawan. Entah bagaimana mulanya,
hingga obrolan kami sempat membicarakan kematian. Saya sempat mengaku, bahwa
dulu saya pernah berobsesi mati muda. Dia berseloroh, “Mati muda itu ndewo banget.”
Kawan
saya juga punya obsesi. Jika saya berobsesi mati muda, dia sempat berobsesi
menikah muda. Tapi hidup bukan hanya menyoal obsesi. Lambat laun obsesi kami
memudar. Kawan saya menggeser obsesinya menjadi menikah (saja), meski mungkin
di usia yang tak semuda harapannya. Dan obsesi saya untuk mati muda juga tidak
sekuat dulu, meski mungkin obsesi itu masih ada.
Keinginan
mati muda itu saya ungkapkan juga pada percakapan lainnya dengan seorang yang
lain, di hari yang sama.
Sore,
pada percakapan di fitur obrolan di smartphone, saya bertanya pada seseorang di
ujung sana, “Bagaimana kalau saya mati muda?”
Pertanyaan
itu muncul setelah sebelumnya kami mengobrol tentang seorang kawannya yang
meninggal di usia muda. Kebetulan, saya yang jaga di UGD tahu kondisi awal
kawan yang dia ceritakan itu, sebelum dia akhirnya dirawat di ruang ICU dan
meninggal di sana.
Pertanyaan
saya tidak dijawabnya saat itu. Mungkin dia malas, atau justru takut.
Saya
tidak pernah merasa takut atau menanam perasaan khawatir saat membicarakan
kematian saya sendiri. Saya bahkan sering meraba-raba dalam imajinasi saya,
bagaimana kelak saya meninggal dan bagaimana saya dimakamkan. Buat saya,
imajinasi adalah hak istimewa manusia, ihwal maut sekalipun.
Saya
kerap membayangkan saya meninggal diam-diam. Setelah berjalan-jalan, duduk di
teras sambil melihat langit yang biru—sebagaimana kebiasaan saya sekarang. Atau
meninggal setelah menulis dan membaca buku di kala subuh. Atau meninggal
setelah mengulum cokelat. Atau meninggal dalam pelukan orang yang saya cintai
sebagaimana kisah-kisah dalam roman.
Tapi saya sangat sadar, jika kehidupan bukan cuma
perkara yang kita inginkan, maka kematian juga mengamini hal yang sama.
Kawan dari
teman saya itu sempat menuliskan “pertanda” dia akan meninggal. Sebelum
meninggal, dia menulis di status Blackberry
Messenger: “Ya Rabb, jika hamba
diberi kesempatan hidup, beri kebarokahan”.
Betapa
menariknya bisa “meramal” kematian sendiri lalu menuliskannya. Semacam pamit
menggunakan aksara kepada kehidupan. Tidak semua orang diberi hak semacam itu.
Saya pernah membaca tulisan Zen RS soal beberapa penyair yang membuat sajak
tentang kematian dan mereka meninggal sesuai dengan kondisi yang digambarkan
lewat sajak masing-masing.
Tentu
saja, catatan yang sedang Anda baca ini bukanlah hal semacam itu. Saya tidak
sekeren itu.
Saya
menulis tulisan ini sambil ditemani lagu-lagu yang berbaris di playlist. Saya lalu memencet sebuah lagu
yang rasa-rasanya sangat pas. Dari Dream Theater, grup musik yang karib dengan kesan
garang dan angker, yang membicarakan kematian dengan begitu manis lewat sebuah
lagu: Spirit Carries On.
If I die tomorrow
I'd be allright
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on
I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before
I'm not scared anymore
I know that my soul will transcend
I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try…..Move on, be brave
Don't weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear
Safe in the light that surrounds me
Free of the fear and the pain
My questioning mind
Has helped me to find
The meaning in my life again…
Saya bergumam. Menyanyikannya
lirih. Barangkali, jika nasib adalah makhluk hidup, ia sedang menertawakan tingkah saya pelan-pelan.
Baca tulisan ini dan waktu hapir menunjukkan 00:00 adalah sebuah kebetulan yang tidak mengenakkan. Berhenti membaca sebentar utk membangunkan istri karna AL minta nenen dan melanjutkannya kembali.
BalasHapusJadi ingat puisi dari Bung Remi tentang kematian beberapa saat sebelum beliau benar-benar pergi. Seperti lagi Nike Ardilla tentang pulang sesaat sebelum dia benar-benar pulang.
Tulisan inipun Sebuah pertanda atau bukan, saya tidak mengamini. hanya saja sudah cukup bekal untuk kehidupan setelah kematian? karna buat saya kematian itu tak perlu diminta ato diharapkan karena TUHAN pasti akan memberikannya secara cuma-cuma. yang terpenting adalah mempersiapkan semuanya ketika kematian itu datang.
The King Casino Review - SEGPORTS.COM
BalasHapusThe casinosites.one King Casino review was written by Chief Executive Officer John 1등 사이트 Cook as follows: · Established in 2017, The King Casino was one of the first https://septcasino.com/review/merit-casino/ online communitykhabar casinos available to US