Jumat, 25 Mei 2012

Paradoks Seni Ala Bung Besar

” Aku dicaci seperti bandit dan dipuja bagai dewa"
–Sukarno


25 Mei 1926. Tepat 86 tahun yang lalu, pemuda tampan bernama Sukarno itu menamatkan studinya di Technische Hooge School (sekarang bernama Institut Teknologi Bandung) di usianya yang ke-25. Konsentrasi studinya ke bidang teknik bangunan. Ia diganjar gelar insinyur sipil.


Namun teknik sipil bukanlah minat sebenar-benarnya dari pemuda yang nantinya kerap disapa Bung Besar itu. Ia justru menggairahi dua hal: arsitektur dan kesenian. Dua hal tadi  memberi pengaruh besar pada keputusan-keputusan politiknya. Sukarno sebagai seorang presiden yang tahu benar bahwa romantisme adalah gagasan yang mudah menyentuh hati. Kawin silang antara hasrat yang mendalam pada seni dan rancang gambar bangunan menjadikan Sukarno membangun kenangan yang tak hanya berdaya pikat, tapi juga simbolik, dan mengikat ingatan.

Maka Sukarno gencar merancang gedung, patung dan  monumen. Hampir semua monumen besar di Jakarta adalah buah rancang dari pikirannya. Monumen Nasional, Patung Selamat Datang, Patung Dirgantara, Tugu Pak Tani, patung di persimpangan Menteng. Hotel Priangan juga salah satu karyanya sebagai arsitek.

Sukarno juga menggilai lukisan. Banyak karya dari pelukis ternama ia koleksi. Dari yang bergaya coret-moret ekspresif ala Affandi, sampai realis macam Basuki Abdullah. Sukarno juga gandrung dengan pagelaran. Ia penikmat tarian, wayang, dan sandiwara. Ketika ia diasingkan di Ende pada periode 1934-1938, ia mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kalimutu. Ia merancang kostum sekaligus membuat latar panggung sendiri.

Sebagai seorang ahli pidato, ia juga seorang orator yang sadar panggung. Ia tahu benar seni berkomunikasi massa. Kata-katanya menggugah, mahir memainkan tempo, tematik, dan tentunya retorik. Dia seakan-akan ingat benar kata-kata Adolf Hitler: ”Gross sein heisst Massen bewegen könen.” (Seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak akan menjadi seseorang yang besar).

Gairahnya yang mendalam terhadap estetika, tak sepenuhnya polos. Bagaimanapun, ia menjadikan seni lebih dari sekedar ungkapan ekspresi tapi juga simbol-simbol di perjalanan politik. Kecintaan seni ala Sukarno adalah sebuah cinta yang berparadoks.

Di satu sisi, caranya memuliakan seni dan seniman membuatnya seakan-akan tercitra sebagai sosok yang penuh dengan gagasan-gagasan yang “memerdekakan”. Sebab seni memang berangkat dari sebuah ungkapan kebebasan berekspresi. Dan Bung Karno seakan mengamini ihwal ini. Ia pernah menulis,” Mutu daripada lukisan-lukisan dan patung dalam koleksi saya ini tidak selamanya sama-tinggi, tetapi lukisan-lukisan dan patung-patung itu sendiri adalah bukti "hasil kemerdekaan".

Di sisi lain, di sanalah paradoks itu hadir. Sikap Sukarno yang pandai mengungkapkan retorika dan mengumbar ekspresi keindahan serta cara Sukarno mengapresiasi seni berlawanan dengan sikapnya sebagai seorang pemimpin.

Wacana kemerdekaan, kebebasan berekspresi dan sikap yang otentik tidak tampak pada saat dia menyikapi kawan-kawan yang mengkritiknya, yang melempar pendapat berbeda. Termasuk sikapnya memenjarakan Sutan Sjahrir yang kerap dipanggil Bung Kecil, Perdana Menteri Indonesia pertama, sampai akhirnya Sjahrir meninggal tragis sebagai tahanan. Sikap Sukarno yang memberangus pers dan main bredel pada beberapa media juga rasanya jauh dari semangat seni yang karib dengan kebebasan ekspresi. Ia seakan mengingkari pilihannya sendiri.

Sikap berkesenian Sukarno kandas oleh tendensi politik.  Masih ingat sikap Sukarno yang melarang keras musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles yang dipandang tidak nasionalis?

Sedikit atau banyak, Sukarno memang dipengaruhi Lekra yang bersitegang dengan kaum Manifes Kebudayaan,  memang tidak setuju dengan ungkapan “seni untuk seni”. Manifesto Kebudayaan yang digagas kaum seniman dan budayawan itu konon lahir untuk mempertahankan kebebasan berkesenian.

Ya, Sukarno sebagai seorang pecinta seni memang lebih mementingkan imagologi. Sebuah ungkapan bahwa jerat image adalah sebuah pikat yang membius. Obsesinya pada jerat image dengan membangun monumen, tugu, dan patung-patung sebagai sebuah simbol imaji kebesaran, rasanya kurang tepat di tengah inflasi pada tahun 1950-1960an.

Bagaimanapun, dari sisi kepekaan estetik dan sikap-sikap politisnya, tersirat bahwa Sukarno memang sebuah paradoks yang unik. Kesukaannya pada simbol, membuatnya yakin bahwa sedikit atau banyak ini dipengaruhi karena naungan rasi Gemini, sebagai mana yang diungkapnya sendiri. “Gemini adalah lambang kekembaran; dua sifat yang saling berlawanan,” katanya.  Antara  idealis sekaligus pragmatis. Antara percaya diri dan inferioritas. Antara obsesif dan peragu. Kata Hatta, “Tujuan Sukarno baik, tapi langkah-langkah yang ia ambil kerap menjauhkannya dari tujuan itu”.

Sikap Sukarno yang paham benar jerat imaji itu tak pernah berhenti menjadikannya ikon revolusional Indonesia yang paling menonjol. Mirip Che Guavara untuk Kuba, Mao untuk Cina, dan mirip Kurt Cobain untuk musik grunge.  Sukarno  adalah simbol keteguhan  yang membius. Ia seperti Bima, tokoh Pandawa, yang mengisyaratkan sikap nglamak, tidak sopan, pemberontak, dan cenderung ngoko pada imperialisme Barat. Dia memang kerap menyamakan dirinya dengan ksatria Pandawa dalam perang besar melawan kolonial.

Sikap Sukarno yang gagah justru menjadi pemicu kemundurannya. Ia kelewat gagah. Politik tak segegap-gempita epik, memang. Demokrasi Terpimpin menjadi sebuah codet yang menggurat wajahnya. Ia barangkali contoh bahwa kebanggaan diri yang kelewat besar, akan menghantam diri sendiri.
Apapun yang menjadi dosa-dosa politik yang ia empu, Sukarno adalah contoh sebuah produk romantisme sejarah yang penuh daya pikat.

Ia adalah paradoks yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar