Gambar diambil dari sini |
Ketika saya masih
kecil, Bapak pernah beberapa kali bercerita tentang betapa hebat seorang
Muhammad Ali. Kata Bapak, saat petinju yang semula bernama Cassius Clay itu
bertanding dan disiarkan lewat stasiun televisi, jalanan kerap lengang.
Orang-orang berkerumun di depan layar cembung televisi untuk menyaksikan
aksinya di atas ring. Gaya bertarungnya yang disebut-sebut indah ibarat kupu-kupu namun menyengat bagai
lebah itu memesona banyak orang hingga rela meninggalkan sengkarut kegiatan
masing-masing untuk menyaksikan Ali. Mendengarkan Bapak bercerita tentang hal
itu, saya hanya terdiam. Tidak menampakkan raut muka terkesima. Buat saya yang
saat itu masih belum dikhitan, cerita tentang olahraga adu jotos adalah cerita
yang jauh dari belas kasihan. Cerita yang dominan oleh naluri barbar. Cerita
tentang manusia rela menyakiti manusia yang lain. Saya yang kencing masih belum
lurus saat itu menolak segala macam perkelahian dalam bentuk apapun. Memang, saya memang kelewat naif sedari
bocah.
Ternyata hidup tidak
sesederhana yang saya kira. Bahkan untuk perkara-perkara remeh, kita kadang melaluinya
dengan jalan kekerasan. Saya yang masih bocah ternyata harus mengalami masa
kecil yang akrab dengan bogem. Masalah yang jadi pemicu biasanya kelewat remeh:
mulai dari sekadar olok-olok nama Bapak hingga berebut stiker hologram.
Perkelahian pertama
saya tentu saja sudah saya alami bahkan sejak saya masih duduk di bangku
Sekolah Dasar. Yang menjadi gara-gara adalah olok-olok nama orang tua. Saya
membentak teman yang terus tertawa cengengesan karena mengejek nama orang tua
saya. Anak itu tidak terima. Ia lalu membentak balik. Saya tidak terima dan
kemudian mengajukan tantangan agar kami menyelesaikan masalah dengan berkelahi.
Hilang sudah pendapat saya bahwa kekerasan dalam bentuk apapun harus ditolak.
Saya harus berkelahi, meski tidak seindah kupu-kupu dan tidak menyengat bak
lebah.
Seusai pulang sekolah,
saya menunggu lawan saya tadi di lapangan sepakbola. Dan rupanya gaya bertarung
ala Ali sangat susah dilakukan. Selain saya tidak pernah berlatih tinju, saya
ternyata dikeroyok! Lawan saya
membawa tiga temannya yang masing-masing
membawa sepeda kayuh. Mereka berempat lalu mengepung saya, lalu menyerbu dengan
segera. Saya berkelahi sebisa saya entah dengan jurus apa. Perkelahian itu
akhirnya bubar dan kami berempat lari tunggang langgang setelah diusir ke luar
lapangan oleh penggembala kambing.
Lapangan sepakbola juga
beberapa kali menjadi arena perkelahian saya. Seperti suatu sore di beberapa
tahun setelah perkelahian pertama saya. Di usia itu, saya sudah berlatih silat.
Saya masih ingat, sore itu langit berwarna abu-abu. Hujan usai turun dengan
derasnya. Lapangan tergenang air. Saya bermain bola tanpa alas kaki bersama
teman-teman. Suasana usai hujan sangat menyenangkan untuk melakukan tackling kepada kawan yang menggiring
bola. Hingga kaki saya menjegal seorang kawan. Usai terbangun dari jatuh, ia
lalu mendekati saya dengan raut muka yang biasa-biasa saja. Saya baru sadar
bahwa ia marah ketika tangannya yang besar mengepal dan meninju bibir saya.
Saya meludah dan menyadari bahwa bibir saya berdarah. Saya balas memukul, namun
hanya terkena angin. Saya tidak terima dan kembali memukul. Hilang sudah
hafalan jurus pencak silat yang pernah saya pelajari. Setelahnya saya tidak
ingat benar bagaimana kelanjutannya, kecuali permainan bubar dan orang-orang
dewasa di lapangan itu turut melerai.
Saya tergopoh-gopoh
menghampiri dan mengulurkan tangan kepada orang itu. Uluran tangan saya
dibalasnya dengan sumpah serapah dan tinju yang berhamburan ke kepala saya.
Merasa terancam, saya membalas serangannya. Beberapa kali pukulan saya masuk
dan menghantam telak ke badannya yang tidak terlalu kekar. Namun saya akhirnya
memutuskan untuk meredakan serangan setelah orang-orang melerai dan saya
menyadari pertarungan tidak seimbang. Betapa tidak, saya berkelahi dengan helm full face yang masih melekat di kepala,
sedangkan dia tidak memakai pelindung apa-apa. Pantas saja tinju orang itu
tidak terasa apa-apa. Sebab tangannya yang ringkih rupanya hanya bertemu dengan
kerasnya helm saya.
***
Belakangan, saya
kembali agak “risih” melihat dan menonton hal-hal yang berbau kekerasan. Pernah
saya tidak enak makan selama beberapa hari setelah melihat video penganiayaan
penganut jamaah tertentu oleh jamaah lainnya yang masih sama-sama dalam koridor
satu agama namun berbeda tafsir dan pemahaman. Perut saya juga pernah langsung
bereaksi saat menyaksikan video aksi main hakim sendiri oleh sekerumunan orang
terhadap dua orang penjambret. Mereka membakar dua orang itu hidup-hidup. Ngeri
benar.
Saya juga sebisa
mungkin selektif terhadap tayangan televisi yang saya tonton. Saya tidak seperti
Bapak, yang di usia tuanya sering menikmati tontonan tarung bebas di salah satu
kanal, walaupun saya sesekali mencuri lihat aksi petarung brewok bernama Conor Mc
Gregor yang kerap membuat lawannya tersungkur mencium lantai. Tapi itu jarang sekali, kendati saya tak bergidik dan masih menikmati film-film laga yang digarap dengan
koreografi yang apik, semisal film-film yang dibintangi Scott Adkins, Tony Jaa, atau mungkin
Donnie Yen.
Teringat Donnie Yen,
saya teringat ketika dia memerankan mahaguru Ip Man yang juga guru dari master
Jet Kun Do, Bruce Lee. Tak ada yang menyangsikan ketangguhan seorang Ip Man
kendati badannya kecil. Tapi Ip Man sadar, banyak hal yang lebih baik dilakukan daripada sekadar bertarung. Itulah mengapa dia langsung bermuka masam
setelah diomeli istrinya karena dia lebih mementingkan pertarungan ketimbang keluarganya. “Lebih
penting mana, makan malam bersama keluarga atau bertarung?” kata istri Ip Man
dengan cemberut.
Tentang hal itu, saya jadi
teringat petuah salah satu guru saya yang entah beliau kutip dari mana. Kata
beliau, “Jangan takut bertarung. Tapi ketahuilah, sebaik-baik jurus adalah
maaf. Dan sebaik-baik pertarungan adalah pertarungan yang tidak pernah terjadi.”
Begitu.
Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar