Selasa, 23 Agustus 2016

Memoar tentang Kelahi




Gambar diambil dari sini

Ketika saya masih kecil, Bapak pernah beberapa kali bercerita tentang betapa hebat seorang Muhammad Ali. Kata Bapak, saat petinju yang semula bernama Cassius Clay itu bertanding dan disiarkan lewat stasiun televisi, jalanan kerap lengang. Orang-orang berkerumun di depan layar cembung televisi untuk menyaksikan aksinya di atas ring. Gaya bertarungnya yang disebut-sebut  indah ibarat kupu-kupu namun menyengat bagai lebah itu memesona banyak orang hingga rela meninggalkan sengkarut kegiatan masing-masing untuk menyaksikan Ali. Mendengarkan Bapak bercerita tentang hal itu, saya hanya terdiam. Tidak menampakkan raut muka terkesima. Buat saya yang saat itu masih belum dikhitan, cerita tentang olahraga adu jotos adalah cerita yang jauh dari belas kasihan. Cerita yang dominan oleh naluri barbar. Cerita tentang manusia rela menyakiti manusia yang lain. Saya yang kencing masih belum lurus saat itu menolak segala macam perkelahian dalam bentuk apapun.  Memang, saya memang kelewat naif sedari bocah.

Ternyata hidup tidak sesederhana yang saya kira. Bahkan untuk perkara-perkara remeh, kita kadang melaluinya dengan jalan kekerasan. Saya yang masih bocah ternyata harus mengalami masa kecil yang akrab dengan bogem. Masalah yang jadi pemicu biasanya kelewat remeh: mulai dari sekadar olok-olok nama Bapak hingga berebut stiker hologram.


Perkelahian pertama saya tentu saja sudah saya alami bahkan sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Yang menjadi gara-gara adalah olok-olok nama orang tua. Saya membentak teman yang terus tertawa cengengesan karena mengejek nama orang tua saya. Anak itu tidak terima. Ia lalu membentak balik. Saya tidak terima dan kemudian mengajukan tantangan agar kami menyelesaikan masalah dengan berkelahi. Hilang sudah pendapat saya bahwa kekerasan dalam bentuk apapun harus ditolak. Saya harus berkelahi, meski tidak seindah kupu-kupu dan tidak menyengat bak lebah.

Seusai pulang sekolah, saya menunggu lawan saya tadi di lapangan sepakbola. Dan rupanya gaya bertarung ala Ali sangat susah dilakukan. Selain saya tidak pernah berlatih tinju, saya ternyata dikeroyok! Lawan  saya membawa  tiga temannya yang masing-masing membawa sepeda kayuh. Mereka berempat lalu mengepung saya, lalu menyerbu dengan segera. Saya berkelahi sebisa saya entah dengan jurus apa. Perkelahian itu akhirnya bubar dan kami berempat lari tunggang langgang setelah diusir ke luar lapangan oleh penggembala kambing.

Lapangan sepakbola juga beberapa kali menjadi arena perkelahian saya. Seperti suatu sore di beberapa tahun setelah perkelahian pertama saya. Di usia itu, saya sudah berlatih silat. Saya masih ingat, sore itu langit berwarna abu-abu. Hujan usai turun dengan derasnya. Lapangan tergenang air. Saya bermain bola tanpa alas kaki bersama teman-teman. Suasana usai hujan sangat menyenangkan untuk melakukan tackling kepada kawan yang menggiring bola. Hingga kaki saya menjegal seorang kawan. Usai terbangun dari jatuh, ia lalu mendekati saya dengan raut muka yang biasa-biasa saja. Saya baru sadar bahwa ia marah ketika tangannya yang besar mengepal dan meninju bibir saya. Saya meludah dan menyadari bahwa bibir saya berdarah. Saya balas memukul, namun hanya terkena angin. Saya tidak terima dan kembali memukul. Hilang sudah hafalan jurus pencak silat yang pernah saya pelajari. Setelahnya saya tidak ingat benar bagaimana kelanjutannya, kecuali permainan bubar dan orang-orang dewasa di lapangan itu turut melerai.

Perkelahian di jalanan pun pernah saya coba. Kejadiannya sekian belas tahun silam saat saya pulang kuliah dan menyempatkan diri mampir ke Perpustakaan Kota Malang. Sepulangnya dari sana, saya baru ingat kalau kartu perpustakaan saya hilang. Saya memutuskan kembali lagi untuk mengurus kartu yang baru. Kepala terasa berat karena sedari pagi kuliah begitu membosankan dan setelahnya saya masih bolak-balik untuk mengurusi kartu anggota perpustakaan. Karena lelah, saya memutuskan pulang ke kost untuk segera istirahat. Namun begitu saya membelokkan motor yang saya pinjam dari teman saya ke sebuah gang, sebuah motor hendak menyalip dari arah kiri. Saya yang berbelok ke kiri kemudian menghantam motor tersebut. Pengendaranya jatuh berguling-guling.

Saya tergopoh-gopoh menghampiri dan mengulurkan tangan kepada orang itu. Uluran tangan saya dibalasnya dengan sumpah serapah dan tinju yang berhamburan ke kepala saya. Merasa terancam, saya membalas serangannya. Beberapa kali pukulan saya masuk dan menghantam telak ke badannya yang tidak terlalu kekar. Namun saya akhirnya memutuskan untuk meredakan serangan setelah orang-orang melerai dan saya menyadari pertarungan tidak seimbang. Betapa tidak, saya berkelahi dengan helm full face yang masih melekat di kepala, sedangkan dia tidak memakai pelindung apa-apa. Pantas saja tinju orang itu tidak terasa apa-apa. Sebab tangannya yang ringkih rupanya hanya bertemu dengan kerasnya helm saya.

***

Belakangan, saya kembali agak “risih” melihat dan menonton hal-hal yang berbau kekerasan. Pernah saya tidak enak makan selama beberapa hari setelah melihat video penganiayaan penganut jamaah tertentu oleh jamaah lainnya yang masih sama-sama dalam koridor satu agama namun berbeda tafsir dan pemahaman. Perut saya juga pernah langsung bereaksi saat menyaksikan video aksi main hakim sendiri oleh sekerumunan orang terhadap dua orang penjambret. Mereka membakar dua orang itu hidup-hidup. Ngeri benar.

Saya juga sebisa mungkin selektif terhadap tayangan televisi yang saya tonton. Saya tidak seperti Bapak, yang di usia tuanya sering menikmati tontonan tarung bebas di salah satu kanal, walaupun saya sesekali mencuri lihat aksi petarung brewok bernama Conor Mc Gregor yang kerap membuat lawannya tersungkur mencium lantai. Tapi itu jarang sekali, kendati saya tak bergidik dan masih menikmati film-film laga yang digarap dengan koreografi yang apik, semisal film-film yang dibintangi Scott Adkins, Tony Jaa, atau mungkin Donnie Yen.

Teringat Donnie Yen, saya teringat ketika dia memerankan mahaguru Ip Man yang juga guru dari master Jet Kun Do, Bruce Lee. Tak ada yang menyangsikan ketangguhan seorang Ip Man kendati badannya kecil. Tapi Ip Man sadar, banyak hal yang lebih baik dilakukan daripada sekadar bertarung. Itulah mengapa dia langsung bermuka masam setelah diomeli istrinya karena dia lebih mementingkan pertarungan ketimbang keluarganya. “Lebih penting mana, makan malam bersama keluarga atau bertarung?” kata istri Ip Man dengan cemberut.

Tentang hal itu, saya jadi teringat petuah salah satu guru saya yang entah beliau kutip dari mana. Kata beliau, “Jangan takut bertarung. Tapi ketahuilah, sebaik-baik jurus adalah maaf. Dan sebaik-baik pertarungan adalah pertarungan yang tidak pernah terjadi.”

Begitu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar