Senin, 13 Agustus 2012

Hidup Melawan Mati Menawan

Dulu saat saya pertama kali belajar menulis pada guru yang galak bernama Pito, saya sering mendapat tugas menulis hal-hal yang tidak saya kenal sebelumnya. Salah satu tugas pertama saya adalah menulis soal film animasi pendek. Tulisan saya juga sangat pendek. :). Silakan dibaca.


Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa bila orang hanya jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Barangkali itu memang benar. Tapi tidak sepenuhnya demikian. Jika memang hidup kerap diasumsikan sebagai pilihan-pilihan, kadangkala ada pilihan-pilihan sempit yang justru memberikan kematian sebagai tawaran terbaik. Setidaknya begitulah alasan kenapa seorang martir menjalani lakunya. Seorang martir, berbeda dengan tumbal. Tumbal adalah sebentuk kelemahan yang dijadikan korban demi jalan pintas. Tapi martir tidak demikian. Menjadi martir adalah memilih kematian secara sadar demi kehidupan lebih baik bagi orang lain. Saya teringat omongan Mahatma Gandhi, The sacrifice which causes sorrow to the doer of the sacrifice is no sacrifice. Real sacrifice lightens the mind of the doer and gives him a sense of peace and joy..”.
 
Setidaknya itu yang saya dapatkan usai menonton film ini. Sebuah film besutan Joaquin Baldwin, sutradara film kelahiran Paraguay dan spesialis film-film pendek animasi. Ia diganjar banyak award sebagai wujud apresiasi terhadap karyanya ini. Dan penonton dihadiahi momen yang menawarkan jeda untuk speechless, dada menyesak, bibir terkatup gemetar dan timbunan kristal bening di pelupuk mata meragu jatuh. Mereka akan membawa sepaket keharuan, dan tentunya sebuah pesan. Hanya setelah sekitar empat menit film ini hadir. Ya, hanya empat menit lebih sedikit.

Lakon utama film ini adalah boneka-boneka voodoo. Praktek voodoo sendiri adalah produk klenik terkenal dari Afrika. Dalam pelaksanaannya, dukun voodoo menggunakan boneka yang dijompa-jampi agar dapat mengejewantahkan berbagai manipulasi sang dukun-sesuai pesanan-terhadap orang yang “diserang”. Saya belum pernah menemukan pengejewantahan manipulasi yang enak selain rasa sakit, bahkan kematian yang merambat pelan-pelan. Sang boneka voodoo biasanya ditusuk jarum, dijilat api, atau ditancap pisau. Boneka-boneka mungil itu adalah obyek penderita atas setiap perlakuan sang dukun, dari sebermula dibuat sampai dibuang pada akhirnya.

Namun apa jadinya kalau boneka voodoo tak mau sekedar diam? Bagaimana jika mereka tidak mau melulu menerima nasib sebagai media penyalur rasa sakit dan kematian? Bagaimana jika mereka mencari celah-celah untuk berontak, menyusupi kemungkinan-kemungkinan, mendobrak tatanan, dengan mempertaruhkan hidup sendiri sekalipun?
Itu adegan utama film ini. Boneka-boneka voodoo pada mulanya digantung berjajar, menunggu kematiannya masing-masing. Hingga saat sang dukun lalai, salah seorang… ehm… maksudnya salah satu boneka voodoo tersebut melarikan diri diam-diam dari gantungan. Sang dukun kembali lalu meraih satu boneka dan memulai ritual menusuk boneka dengan jarum.

Saat jarum semakin mendekati boneka dalam genggaman sang dukun, boneka pelarian membuat keputusan besar dan di luar dugaan. Terlampau di luar dugaan. Sebab boneka pelarian tadi ternyata mengambil jarum secara diam-diam lalu menusukkannya ke lengan sendiri. Tindakan boneka pelarian ternyata berefek penting. Nyeri yang diterimanya dirasakan pula oleh sang dukun.

Tahu akan hal itu, si boneka pelarian melanjutkan aksinya. Tak hanya menusuk lengan, tapi juga berlanjut dengan menusuk kaki, dan diakhiri dengan menusuk jantungnya sendiri. Sang dukun, setelah menerima nyeri yang sama, akhirnya ambruk setelah kepalanya menghantam tiang gantungan lalu jatuh tak bergerak. 
Boneka-boneka lainnya bebas, sedang si boneka pelarian dan sang dukun sama-sama tak bernapas. Boneka pelarian menjadi martir bagi kawan-kawannya. Tubuhnya berhias jarum-jarum yang mengakhiri nyawanya.

Barangkali film ini hadir sebagai pengingat betapa pedih sekaligus berartinya sebuah pengorbanan. Juga tentang keberanian melawan nasib. Terdengar klise? Bukankah hidup memang selalu klise semenjak dulu? Alurnya begitu-begitu saja. Yang menjadikannya berbeda adalah cara kita membuat hidup berarti. Mungkin hidup bukan menyoal durasi, bukan soal panjang pendeknya himpitan umur, tapi selalu apa yang kita lakukan. Pas sekali dengan anatomi film ini yang ringkas, cepat, pendek dan singkat namun padat dan sarat muatan pesan. Pengambilan judulnya sendiri mungkin adalah cerminan kisah hidup seorang martir abad ke-3 bernama Saint Sebastian. Laku martir sang santo membuatnya mati muda di usia tiga puluh dua. Ia mati dengan tubuh tertikam panah-panah, mirip akhir kisah si boneka pelarian.

Film ini semakin menandaskan kecintaan saya mengkhidmati daun-daun jatuh sebagai perwakilan sebuah keharuan dan pengorbanan. Setelah menyerahkan diri untuk dimakan ulat yang kelaparan, memberikan sarang buat burung, menaungi orang-orang dari terik, tempat sembunyi wewe gombel, juga demi sebuah siklus alam, daun akan gugur.

Kematian bukanlah satu-satunya pilihan yang menjadikan hidup berarti. Tapi saat tidak ada pilihan lain, saya kira tidak semua orang berani memilihnya dengan penuh kekhusyukan. Atas dasar itulah, seorang martir selalu saja layak dimuliakan.

post scriptum: Judul diambil kata-kata Mas Heri, (37 tahun, bapak satu anak, penjual nasi goreng)..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar