Kinasih,
tiba-tiba aku ingin berbicara tentang kematian.
Dulu,
sering aku berkisah kepadamu tentang apa cita-citaku. Kututurkan padamu waktu
itu, tentang keinginanku mati muda. Itu adalah cita-citaku. Raut wajahmu yang
manis langsung berubah menjadi masam seketika. Sebuah ungkapan rasa
tidak suka. Katamu waktu itu, aku terlalu banyak membaca buku. Terlalu
mengagumi Soe Hok-Gie yang pernah mengutip seorang filsuf Yunani bahwa nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan dan yang kedua adalah dilahirkan, tetapi mati
muda. Kau minta aku berhati-hati dengan ucapan sendiri. Katamu, setiap ucap
adalah doa. Terbukti, Gie memang mati muda setelah gugur di pendakiannya yang
syahdu di Semeru. Termakan omongannya sendiri. Kau tidak ingin aku pun
demikian. Walau sesungguhnya aku pun tahu, kau setengah merengek saat itu
karena takut aku tinggalkan. Aih, manisnya.
Kinasih,
aku ingin berbicara soal kematian.
Lalu
aku akhirnya mengubah haluan cita-cita. Mencintaimu barangkali adalah
alasannya. Ketahuilah manis, life is just
a game. A God’s game. Tak ada
yang meminta dirinya berpartispasi dengan peran masing-masing dalam permainan
ini. Namun ketika sudah larut dalam permainan, rayakanlah. Teriak, berlari, melompat
dan bersenang-senanglah. Kita riuhkan humor ini. Memaksakan diri mati muda
hanya akan memotong rantai permainan yang menyenangkan. Mari mencintai, mari
merayakan hidup. Tak menjadi soal permainan kita dihentikan di usia berapa.
Tetapi memaksakan diri mati muda hanyalah upaya menyerah. Padahal kita
sama-sama keras kepala, bukan?
Tetapi
Kinasih, aku masih ingin berbicara soal kematian.
Maka
ketika permainanku usai lebih dulu, aku ingin sedikit rewel soal pemakamanku. Aku
ingin membayangkan bagaimana pemakamanku kelak. Bagaimana aku memasuki gerbang
senyap bernama maut dengan sendirian, tanpa kamu.
Aku
membayangkan saat itu langit mendung, awan enggan berarak. Mereka yang datang ke tanah pemakamanku tidak terlalu
ramai, hanya beberapa orang saja. Beberapa memakai baju berwarna favorit kita:
biru, putih dan hitam. Beberapa membawa bunga yang tidak diikat, meletakkannya
di atas nisan. Tapi jangan biarkan mereka menangis, Sayang. Ajak mereka
tersenyum. Toh, langit sudah cukup gerimis kelak waktu itu.
Aku
membayangkan makamku di bawah pohon yang
rindang, agar kamu bisa sesekali duduk di situ, sekadar menyanyikan lagu, membaca
buku, atau bercakap-cakap lirih denganku. Ah, kelak sering nyanyikanlah lagu Somewhere Only We Know milik Keane di
sana. Itu lagu favorit kita.
Di bawah pohon yang rindang, aku ingin makamku ditemani daun-daun yang gugur. Kau tentu ingat kenapa aku mencintai
daun gugur? Bagiku, daun gugur adalah simbol keberanian menghadapi hidup,
selemah apapun kita. Simbol mereka yang berani menantang terik, diusap angin
yang dingin, membangun pohonnya sendiri, lalu tak masalah mati terhempas atau jatuh
perlahan. Ya, hidup seharusnya demikian.
Kinasih,
aku masih ingin berbincang mengenai kematian.
Sebelum
aku dikuburkan, jika ada yang meminta sebagian dari jasadku untuk mereka yang
membutuhkan, hendaklah kau berikan. Mata, ginjal, jantung, atau apapun yang
bisa dipakai. Kau tentu ingat, aku
pernah berkisah padamu soal Karna. Seingatku aku dulu berkisah saat kita usai
menikmati nasi goreng yang kita buat bersama. Aku bercerita sambil memotong
kuku, padahal kau mendengarkan dengan seksama.
Ya,
aku berkisah soal Karna, tokoh wayang putra Kunti yang dibesarkan sais kereta
itu. Ksatria terbuang yang penuh paradoks. Ksatria yang tak menolak siapapun yang meminta kepada dirinya.
Sebelum ia bertarung dengan Arjuna, Batara Indra menyamar menjadi seorang
pengemis yang meminta pusaka yang melekat di kulitnya. Karna iba, lalu mengiris
kulitnya dan memberikan pusaka tadi ke pengemis jelmaan Indra. Alhasil, Arjuna
berhasil membunuhnya dengan Pasopati. Karna gugur dengan setelah berderma. Bukankah
itu indah, Kinasih? Menghadapi maut dengan berani.
Kinasih,
aku masih ingin bercerita soal kematian.
Oh,
aku lupa, Kinasih. Sebelum Karna berangkat ke Baratayudha dan gugur di padang
Kurusetra, ia sempat menuliskan surat kepada Surtikanti, istri tercintanya. Di
surat itu ia menulis bahwa ia merasakan firasat bahwa aura kematian datang
begitu syahdu di dekatnya. Dan ternyata, firasat Karna benar. Ia benar-benar
gugur.
Aku
juga sering membacakan puisi terakhir dari Soe Hok-Gie sebelum ia gugur karena gas beracun di Semeru. Aku tuliskan lagi puisi itu. Semoga kau tidak bosan.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah,Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Wiraza,Tapi aku ingin menghabiskan waktuku disisimu sayangkuBicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucuAtau tentang bunga-bunga yang manis di lembah MandalawangiAda serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di DanangAda bayi-bayi yang lapar di BiafraTapi aku ingin mati disisimu maniskuSetelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanyaTentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahuMari sini sayangkuKalian yang pernah mesraYang pernah baik dan simpati padakuTegaklah ke langit luasAtau awan yang menangKita tak pernah menanamkan apa-apaKita takkan pernah kehilangan apa-apaNasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkanYang kedua dilahirkan tapi mati mudaDan yang tersial adalah berumur tuaBerbahagialah mereka yang mati mudaMakhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiadaBerbahagialah dalam ketiadaanmu
Begitulah. Mereka seakan sama-sama punya firasat
kapan mereka harus pergi, Kinasih. Sebagaimana aku sepakati ucap seorang kawan,
bahwa manusia selain memiliki naluri untuk hidup, juga memiliki naluri untuk
mati.
Kinasih, tak usah kau bersedih lalu membangun
bayangan bahwa lewat tulisan ini aku pun hendak pergi mengakrabi kematian,
Tidak, aku tidak tahu. Kalau pun demikian memang nantinya, bukankah kita sudah
berikrar bahwa bagaimanapun hidup harus tetap dijalani dengan berani?
Ah..Kinasih, barangkali cinta lebih panjang dari jejak-jejak
perjalanan bernama hidup dan kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar