Sebut saja namanya Toha. Ia datang
ke Unit Gawat Darurat (UGD) saat saya bertugas, pada suatu siang di pertengahan
bulan Agustus. Saya masih mengingat hari itu, ketika Toha memasuki ruang pemeriksaan
dengan berjalan kaki lalu naik ke atas tempat tidur, mengeluhkan badannya yang
lemas karena usai muntah-muntah.
Saya
memulai pemeriksaan dengan menanyakan segala hal yang terkait dengan keluhan
utama. Lelaki baya itu masih mampu bercerita tentang apa yang ia rasakan. Tapi
semakin lama nafasnya semakin tersengal-sengal. Bicaranya lalu patah-patah.
Sejurus kemudian, mata Toha melotot, dan mulutnya mengerang. Sontak raut
wajahnya membiru dan saya panik luar biasa. Toha kejang.
Saya
dan teman-teman di UGD tergopoh-gopoh. Kami lalu mengelilingi Toha dan kemudian
menanganinya secara keroyokan. Ada yang segera mengamankan jalan nafasnya,
sedang yang lain memasang kabel-kabel
sebuah monitor kecil, menghubungkannya dengan elektroda yang sebelumnya
ditempel pada dada Toha. Yang lain tampak berusaha dengan sigap memasang infus.
Tak
lama kemudian, Toha berhenti bernafas. Kami melirik layar monitor yang lampunya
berkedip-kedip. Tampak gambar garis bergerigi berwarna hijau pada layar yang
mewakili gambaran irama jantung Toha. Saat itu, Toha mengalami Ventricel
Fibrilation—suatu kondisi saat jantung hanya bergetar, tidak berdenyut karena
mengalami kekacauan “listrik”. Saya
berusaha meraba denyut nadi di sekitar leher Toha, tapi tidak menemukan
apa-apa.
Di
belakang kami, keluarga Toha meraung-raung. Jelas, mereka histeris. Toha yang
datang dalam kondisi berjalan kaki dan “hanya” mengeluh muntah-muntah,
tiba-tiba mengalami kejang yang dilanjutkan dengan nafas yang berhenti dan
jantung yang menggelepar.
Kami
berusaha sebisa mungkin agar Toha kembali bernafas. Mulai dengan memasukkan
pipa plastik hampir sepanjang 25 centimeter ke dalam tenggorokannya, melakukan
tindakan “kejut listrik” dengan menghentakkan alat yang mirip dua buah setrika
kecil di dada Toha, melakukan kompresi jantung dengan menekan dadanya dalam
beberapa kali siklus, serta memberikan obat-obat kegawatan melalui selang infus
di tangan kirinya. Kami beruntung, setelah melakukan tindakan sekitar 20 menit
terhitung sejak nafasnya mandek, Toha hidup, namun masih belum sadarkan diri.
Kami
sedikit lega, namun masih tegang. Toha harus segera dipindah ke ruang rawat
intensif jantung (ICCU). Namun
sebelumnya, kami harus mengawasi kondisi Toha dulu dalam beberapa saat. Dalam
kondisi semacam itu, dikhawatirkan kondisinya kembali memburuk. Dan kemudian
saya dikejutkan oleh sebuah suara dengan nada sedikit membentak di belakang
saya.
“Kenapa
Bapak saya tidak segera ditangani?” kata pemilik suara tadi.
Rupanya,
dia adalah putra Toha. Dia bersikap seperti itu karena melihat kami yang
seperti tidak melakukan apa-apa, kecuali mengawasi Toha yang masih tergolek
lemah dengan nadi yang baru muncul dan nafas yang masih dibantu lewat alat.
Singkatnya, anak Toha merasa bapaknya hanya didiamkan dan tidak segera
ditangani.
Saya
bisa saja marah pada putra Toha yang membentak kami. Apalagi mengingat betapa
menegangkannya upaya penyelamatan Toha sekitar 20 menit yang lalu. Saat itu,
mungkin karena panik, pihak keluarga Toha tidak melihat apa yang kami lakukan.
Sehingga pada saat kondisi berubah menjadi sedikit lebih tenang karena ketegangan
mulai surut dan kami “hanya” mengawasi layar monitor, mereka merasa bapaknya
tidak mendapat perlakuan yang semestinya. Tapi saya urungkan niat saya untuk
marah pada salah satu keluarga Toha itu. Sebisa mungkin saya membisiki diri
saya sendiri, bahwa dia hanya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Informasi
yang dia miliki terbatas.
***
Semakin
lama, permasalahan pelayanan kesehatan memang kian kompleks. Tuntutan semakin
beragam, masalah semakin berbiak. Salah satu sebabnya, karena arus informasi
yang semakin menderas. Di jaman ini, informasi tentang kesehatan dengan mudah
bisa diakses di mana saja. Tapi justru dari sini paradoks terjadi. Kanal
informasi yang alirannya begitu deras bisa berbalik menenggelamkan masyarakat
pada pemahaman praktis yang kerap dimengerti secara parsial. Ini menjadi pemicu
masalah baru. Kesenjangan informasi yang mencoba ditutupi dengan informasi
cepat saji justru menimbulkan potensi dampak anyar, yakni masyarakat yang
seolah-olah sudah mengerti.
Sedari
dulu, masalah informasi yang timpang adalah masalah yang krusial bagi
masyarakat selaku penerima layanan kesehatan. Ketimpangan informasi
mengakibatkan ketidakadilan sering diterima oleh konsumen (baca: masyarakat). Konsumen
kerap tidak paham benar dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka
tidak paham dengan kebutuhannya sendiri. Rumah sakitlah yang memilih, tapi
pasien yang harus membayar pilihan rumah sakit tadi. Herannya, rumah sakit
tidak memberikan garansi. Inilah anehnya bisnis layanan kesehatan.
Saya
teringat sebuah anekdot tentang resep obat. Saat membutuhkan barang
sehari-hari, kita akan membeli. Saat kita sakit, kita akan menebus obat.
Pertanyaannya, kenapa untuk obat kita menggunakan kata “menebus” bukan
“membeli”? Ini bukan sekadar menyoal pemilihan diksi, tapi karena ada makna
yang dalam. Untuk mendapatkan obat, ada sesuatu yang tergadai: kesehatan kita.
Artinya, menebus obat lebih serupa paksaan daripada pilihan. Alasannya, karena
mereka yang menebus obat kerap tidak paham tentang hubungan obat dengan
penyakit yang dideritanya.
Ketimpangan
informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan serupa celah lebar yang
mudah disusupi oleh kenakalan oknum penyedia layanan kesehatan itu sendiri. Ketidakmengertian
konsumen bisa menjadi peluang terjadinya kecurangan-kecurangan dari pihak
tertentu. Informasi yang asimetris ini membuka kesempatan munculnya tindakan moral hazard dari penyedia layanan
kesehatan. Keterbatasan pengetahuan membuat kebebasan memilih yang seharusnya
dimiliki pasien menjadi hilang.
Kita
bisa mengaca pada kasus dr. Dewa Ayu
Sasiari, Sp.OG, dkk. yang sedang panas dalam beberapa waktu belakangan ini.
Pihak keluarga pasien merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang apa
yang dilakukan pada almarhumah korban. Keluar dari konteks siapa benar dan
siapa yang salah dalam kasus ini, yang jelas keluarga pasien tidak puas akan
informasi yang diterimanya. Informasi yang terbatas akan membatasi pengetahuan.
Pengetahuan yang terbatas akan membuat kebebasan memilih yang dimiliki oleh
pasien dan keluarga lenyap. Pasien dan keluarga menjadi pasif menerima tindakan
medik yang memang sifatnya tidak mengenal garansi.
Turbulensi Informasi
Tapi
marilah kita berterima kasih pada teknologi. Lewat salah satu keajaibannya yang
bernama internet, ratusan informasi kesehatan bisa diakses dalam satu hari.
Informasi ini tentu diharapkan berdampak baik bagi masyarakat, utamanya dalam
mengatasi ketimpangan informasi kesehatan yang sudah terjadi. Dengan adanya
informasi kesehatan yang dapat dicari di manapun kita berada, akan membuka
pintu-pintu pemahaman tentang kondisi kesehatan yang bisa kita masuki.
Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Informasi
kesehatan yang tersedia begitu banyak. Arusnya begitu deras. Alan Greenspan,
seorang tokoh ekonomi global, menyebut
fenomena ini sebagai turbulensi informasi. Pusaran informasi membuat kita
tenggelam bila kita tidak jeli memilih. Masyarakat sebagai konsumen pelayanan
kesehatan yang semula kebebasan memilihnya terbatas karena minimnya informasi,
mungkin bisa sedikit terbantu dengan adanya arus informasi ini. Tapi gambaran
lainnya, masyarakat seakan masuk ke hutan belantara informasi. Alih-alih paham
dan menemukan jalan yang benar, masyarakat berpeluang untuk takut melangkah
atau justru melangkah jauh namun tersesat.
Ada
banyak informasi soal layanan kesehatan alternatif yang tidak jelas dasar bukti ilmiahnya.
Kebanyakan hanya berangkat dari asumsi pemberi layanan. Ironisnya,
golongan ini memiliki frekuensi yang
lebih banyak dalam penyampaian informasi kepada masyarakat dibandingkan dengan
informasi layanan kesehatan yang lebih teruji. Masyarakat lebih sering terpapar
informasi kesehatan yang kurang benar, menyesatkan, semata-mata demi
kepentingan komersial pemberi layanan kesehatan tadi.
Peran
media juga sangat penting dalam hal ini. Penyedia layanan kesehatan yang hendak
menyampaikan informasi yang benar harus bisa bekerjasama dengan media. Ini juga
bisa menjadi upaya memupus anggapan buruk bahwa media adalah oposisi sistem
kesehatan di Indonesia. Anggapan buruk ini muncul karena media dianggap
terlalu setia pada kredo “bad news is good news” sehingga dirasa
kerap menyoroti kasus-kasus yang terjadi pada dunia kedokteran, utamanya dalam
perkara malapraktik, tidak dengan asas covering
both side sesuai dengan prinsip jurnalisme.
Lalu Bagaimana?
Kesehatan
adalah perkara holistik. Bukan hanya menyangkut informasi tentang kondisi fisik
yang mengalami masalah dan aspek pengobatannya. Kesehatan juga menyoal bagaimana
masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar tentang status kesehatannya
agar terus meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya pencegahan dan upaya
rehabilitatif.
Silang
sengkarut problema pelayanan kesehatan
yang salah satu pokok persoalannya adalah mengenai informasi yang kacau, tentu
bukannya tanpa jalan keluar. Sebagai bagian dari profesi yang turut pula
menjadi bagian intergral sistem pelayanan kesehatan, saya secara pribadi
berpendapat bahwa persoalan ini sebaiknya diatasi dengan berfokus pada
perbaikan internal di kalangan penyedia layanan kesehatan itu sendiri.
Pertama,
dengan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Ini bukan menyoal
kecanggihan alat atau kelengkapan fasilitas yang identik dengan tarif yang
mahal. Ada tiga hal mendasar yang membuat kualitas pelayanan kesehatan dibilang
baik: bukti ilmiah yang sahih, standard
operating procedure yang jelas dan patient safety procedure. Pada setiap
jenjang pelayanan kesehatan, keselamatan pasien adalah prioritas pokok. Ini
semacam yang diucap oleh Hippocrates ribuan tahun lalu. “Salus aegroti suprema lex est”, menyelamatkan penderita adalah
kewajiban utama. Menyampaikan informasi yang benar tapi tidak diimbangi dengan
pelaksanaan yang sesuai di lapangan tentu adalah perkara yang sia-sia.
Kedua,
penyedia layanan kesehatan harus karib dengan teknologi infromasi. Informasi
memang harus dibalas informasi. Jika memang arus informasi di era ini dirasa
terlalu riuh akan informasi yang kurang tepat, maka penyedia layanan kesehatan harus
menyikapinya dengan memberikan informasi yang benar. Pilihan yang bisa diambil
salah satunya adalah dengan mengakrabi sosial media yang memang lebih dekat
dengan masyarakat. Atau juga dengan memanfaatkan kanal-kanal media lainnya yang
tersedia. Penyedia layanan kesehatan yang memang harus menyampaikan informasi
yang benar kepada masyarakat bisa menulis di blog, memaksimalkan web,
mengirim tulisan ke media cetak dan online,
menulis buku kesehatan untuk konsumsi masyarakat, atau justru mengagas media cetak
sendiri yang memuat informasi kesehatan untuk masyarakat. Kontennya tentu
berupa informasi yang mengarah pada Evidence
Based Medicine. Informasi yang sekadar ditulis dengan mengarah pada Opinion Based Medicine tentu harus
dijauhi. Informasi kesehatan yang sekadar berbasis pendapat tanpa bukti harus
digantikan dengan infromasi kesehatan yang berangkat dari bukti medis yang
sahih, transparan dan terukur.
Ketiga,
memaksimalkan potensi satelit-satelit layanan kesehatan di masyarakat
sebagai pemberi layanan informasi
kesehatan. Dalam hal ini, penyedia layanan kesehatan yang paling dekat dengan
masyarakat (praktik pribadi dokter, poliklinik, puskesmas) harus lebih gencar
memberikan informasi kesehatan pada masyarakat. Langkahnya bisa diawali dengan
upaya peningkatan promosi kesehatan masyarakat dan upaya preventif. Untuk upaya
kuratif lanjutan, biar menjadi fokus dari rumah sakit. Satelit-satelit ini memiliki akses yang lebih
dekat dengan masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat akan informasi yang
benar tentang kesehatan lebih bisa dijangkau. Selain sebagai lini depan
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, mereka juga bisa menjadi pendamping
pasien saat hendak menerima prosedur kuratif lanjutan yang dilakukan rumah
sakit.
Informasi yang Benar atau
Konsultasi
Semua
boleh mengeluh tentang kekacauan sistem kesehatan di negeri ini. Banyak hal-hal
yang jauh dari kondisi ideal. Untuk masalah penyebaran tempat tidur di rumah
sakit, misalnya. Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dr. Sutoto
menjelaskan pada medio 2012 bahwa baru tersedia sekitar 1900 rumah sakit dengan
sekitar 120.000 tempat tidur. Kondisi ideal menurut WHO adalah satu tempat
tidur per 1000 penduduk. Sehingga kita membutuhkan sekitar 240.ooo tempat
tidur. Ini belum ditambah data tentang penyebaran tenaga kesehatan yang tidak
merata, kualitas SDM penyedia layanan kesehatan, sistem rujukan yang buruk,
anggaran kesehatan nasional yang minim,
sengkarut informasi yang tidak bisa dikontrol, juga sekian masalah pelik
lainnya.
Tapi
mengeluh saja tidak cukup. Harus ada tindakan nyata sekecil apapun. Salah
satunya adalah melalui penyampaian informasi kesehatan yang benar. Ini
merupakan tanggung jawab moral semua lini pelayanan kesehatan. Jika tidak mampu
memberikan informasi yang benar, setiap tenaga kesehatan sebaiknya diam atau
segera melakukan konsultasi pada tenaga kesehatan lain yang mempunyai kapasitas
lebih jauh.
Saya
sepakat dengan ucapan seorang
epidemiolog bernama Sir Michael Marmot (WHO) bahwa kesehatan adalah kendaraan
untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi saya lebih sepakat lagi bahwa
bahan bakar untuk kendaraan tersebut adalah informasi yang benar.
***
Saya
menyusuri lorong rumah sakit usai berjaga di UGD. Melewati ruang ICCU, saya
menatap sekerumunan orang. Saya melewati mereka yang bergerombol memenuhi
hampir separuh lorong. Saya mempercepat langkah, hingga kemudian langkah saya
dihentikan oleh sebuah panggilan dari arah kanan saya.
“Mas!”
Saya
menoleh, mencari asalnya suara.
“Bapak
sudah mulai sadarkan diri,” kata pemilik suara tadi.
Saya
mengenali wajah itu. Dia adalah anak Toha, pasien yang tadi datang ke UGD
dengan jantung yang menggelepar. Setelah sebelumnya membentak saya, orang itu
berusaha menerima penjelasan dari kami tentang
kondisi bapaknya yang dalam kondisi kritis usai diresusitasi. Observasi di UGD
bukan menunda penanganan, tapi kewaspadaan agar kondisi sebelumnya tidak
berulang selama perjalanan dari UGD menuju ICCU.
“Oh
ya? Syukurlah. Bagaimana kondisinya?” saya menanggapi sambil menjabat
tangannya, memberikan selamat.
“Tadi
sudah mulai bicara. Suaranya patah-patah. Dia mengeluhkan dadanya terasa linu.
Seperti remuk,” kata orang itu.
Saya
tersenyum. Dada Toha terasa linu karena usai dilakukan kompresi di dadanya saat
jantungnya berhenti.
Orang
itu membalas dengan senyum yang lebih lebar. Matanya sedikit berbinar. Saya
lalu pamit dan berlalu.
*Tulisan ini diikutkan pada
Lomba Blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” yang digagas oleh
FPKR. Subtema yang dipilih adalah “Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia”.
Congratulation dah menang.. ngilmu bacanya :)
BalasHapusTerima kasih..:))
Hapusperjuangan berat seorang dokter dalam menyelamatkan nyawa pasien.. masya allah.. luar biasa :)
BalasHapusSaya bukan dokter, saya paramedis gawat darurat. Dan di dalam UGD, say goodbye to solo player. Tidak ada superman, yang ada hanya supertim. :))
Hapussuper! saya suka banget liak-liuk pilihan kata anda. Dan appreciate banget, menjumpai blog dokter yang piawai menulis. (jika berkenan mari sua blog saya di http://thedoctorundercover.wordpress.com/)
BalasHapusSekali lagi, profesi saya bukan dokter. Tidak ada satu pernyataan pun di blog ini yang mengatakan saya adalah dokter. Saya adalah paramedis gawat darurat. :))
HapusTerima kasih link-nya. Saya suka blog Anda. :))
thanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id