![]() |
Gambar diambil dati sini |
Air Susu Ibu (ASI) adalah anugerah luar biasa yang sangat
patut disyukuri keberadaannya. Betapa tidak, ASI adalah nutrisi yang terbaik
bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, selain menyimpan keistimewaan sebagai
proteksi terhadap berbagai penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis. Data
yang ditunjukkan oleh Lancet Journal
tahun 2003 menunjukkan bahwa 13% dari angka kematian balita dapat dicegah
dengan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.
ASI juga memberikan efek yang positif terhadap kesehatan ibu.
ASI secara signifikan mampu menggeser kurva status kesehatan ibu untuk ke arah
yang lebih baik. Sehat secara holistik. Fisik maupun psikis. Jasmani maupun
batin.
Bagi ibu, menyusui secara eksklusif selama 6 bulan akan
merangsang uterus untuk berkontraksi kembali ke ukuran semula sebagaimana sebelum
hamil, sehingga akan membantu mengurangi perdarahan setelah melahirkan. Ini
berkaitan dengan peningkatan konsentrasi hormon oksitosin selama menyusui.
Menyusui secara eksklusif selama 6 bulan juga akan
meningkatkan kadar antibodi dalam darah ibu sehingga dapat mengurangi
terjadinya infeksi setelah melahirkan. Tak hanya itu, risiko kanker payudara,
kanker ovarium, dan osteoporosis pasca menopause juga dilaporkan lebih kecil
jumlahnya pada ibu menyusui.
Secara psikis, menyusui akan meningkatkan rasa hubungan batin
antara ibu dan bayi. Proses menyusui juga dapat menurunkan kadar stress pada
ibu, sehingga secara psikologis ibu menyusui lebih nyaman.
Dari sudut pandang agama, menyusui juga dipandang sebagai hak
mulia seorang ibu. Budaya menyusui sudah lahir sejak ratusan tahun silam, yang
terbentuk karena insting seorang ibu dan dikuatkan oleh kepatuhan terhadap
agama. Seiring berjalannya waktu, budaya masyarakat modern yang semakin tinggi
ragam tuntutannya, turut mempengaruhi budaya menyusui. Ini kemudian memunculkan
budaya tandingan berupa pemberian susu formula yang sampai sekarang masih
kontroversial baik secara regulasi maupun efek terhadap kesehatan ibu dan anak.
Terlepas dari itu semua, dengan segala efek positif yang
didapatkan oleh ibu pada proses menyusui, memberikan ASI adalah hak yang
dilindungi. Ibu manapun berhak memberikan ASI pada bayinya. Mereka berhak hidup
sehat lahir dan batin dengan memberikan ASI kepada bayinya. Undang-Undang
Kesehatan Indonesia juga menyatakan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja
menghalangi ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya akan dihukum.
Lantas, bagaimanakah
ibu yang positif terkena Human Imunodeficiency Virus (HIV)? Apakah mereka berhak menyusui anaknya? Apakah
mereka berhak hidup sehat dengan memberikan ASI, mengingat sekian banyak efek
positif ASI bagi kesehatan baik secara fisik
maupun psikis?
Menyusui pada ibu positif HIV ini memang kerap memicu
perdebatan yang susah ditemukan pangkal ujungnya. Ini tentu tidak lepas dari
efek ganda yang muncul dari pemberian ASI itu sendiri. Dengan segala
keistimewaannya, ASI adalah sumber nutrisi utama pada bayi, utamanya dalam 6
bulan pertama kehidupannya. Dan dengan segala sifatnya, ilmu pengetahuan yang
terus dikaji untuk sementara membuktikan bahwa ASI adalah salah satu media
penularan vertikal HIV.
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang menampik stagnansi. Ia akan
terus dikaji, ditera, dan dipelajari terus menerus dengan memgang teguh
penelitian sebagai kendalinya. Begitupun perihal polemik pemberian ASI oleh ibu
pengidap HIV kepada anaknya.
Selama lebih dari 16 tahun terakhir, beragam rekomendasi
silih berganti disepakati menyoal pemberian ASI oleh ibu positif HIV kepada
bayinya. Di beberapa negara maju, diawali dengan menihilkan paparan laktasi.
Lalu berganti dengan pemberian ASI yang diijinkan asal dalam waktu yang singkat
dan diikuti dengan penghentian yang cepat. Dan rekomendasi terakhir menyepakati
bahwa ibu positif HIV boleh memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan
pertama dan boleh berlanjut hingga usia anak 2 tahun.
Ini tentu bukannya tanpa syarat. Dengan mengkaji sekian
fenomena dan melakukan ragam penelitian, pada tahun 2010 WHO menyepakati ibu-ibu yang positif HIV diperbolehkan
memberikan ASI kepada bayi yang dilahirkannya dengan cara melakukan pemberian
secara ekslusif dan diikuti dengan upaya perlindungan melalui pemberian Anti Retroviral (ARV) selama jangka
waktu menyusui. Hal penting yang harus terus dipantau adalah efek samping obat
serta kadar virus pada bayi, sehingga perlu dilakukan upaya monitoring yang rutin. Intinya,
pemberian ASI oleh ibu pengidap HIV kepada bayinya harus diimbangi dengan
kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter.
Ini relevan dengan hasil beberapa penelitian yang mendukung.
Di Mozambique, dilakukan sebuah penelitian yang menunjukkan hasil bahwa terjadi
penurunan transmisi HIV bila ibu menyusui minum ARV selama menyusui sebagai
kelanjutan ARV selama proses kehamilan.
Di luar itu, proses sebuah penelitian menyimpulkan bahwa
proses menyusui oleh ibu pengidap HIV dapat menghentikan peningkatan konsentrasi
virus dalam darah, maupun angka kematian, walaupun sempat ditemukan penurunan
kadar sel limfosit CD4 dan indeks massa tubuh ibu yang bersangkutan.
Sebagaimana kita tahu, bahwa sel limfosit CD4 adalah salah satu subtipe sel
limfosit dalam tubuh kita yang memiliki peran mengatur respon imun tubuh
terhadap berbagai macam serangan infeksi dari luar. Infeksi HIV merusak
limfosit CD4 sehingga menyebabkan jumlahnya menjadi sedemikian rendah, sehingga
sistem imun tubuh tidak dapat mengatasi serangan infeksi yang ringan sekalipun.
Menyusui bukan proses yang mudah, apalagi proses menyusui
oleh ibu positif HIV. Ini membutuhkan persiapan psikis dan mental yang cukup,
serta support system yang setia mendukung ibu positif HIV selama
proses menyusui berlangsung. Support
system ini bisa diawali oleh suami. Agar sukses dalam proses menyusui, tak
bisa dipungkiri peran suami sangat penting. Peran ini bisa ditunjang melalui
upaya partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, senantiasa memberikan
sikap positif kepada istri, dan senantiasa meningkatkan pengetahuan tentang
segala hal yang menyangkut upaya menyusui. Lebih jauh, suami dapat mendukung
ibu positif HIV dengan membangun networking
dengan keluarga lain yang mempunyai pengalaman sebelumnya, sehingga terjadi
proses tukar informasi tentang pentingnya proses menyusui, terlebih pada ibu
yang mengidap HIV.
Selain suami, komposisi support
system juga bisa berasal dari anggota keluarga yang lain, nenek misalnya.
Peran nenek yang seringkali sangat dominan pada ibu menyusui dapat membantu
menguatkan psikologis ibu untuk menggapai keberhasilan menyusui di samping
menjalani kehidupan sebagai pengidap HIV. Yang tak kalah krusial adalah peran dan
dukungan para profesional kesehatan. Sebagai sosok yang memiliki kapasitas dan
wacana yang luas soal HIV dan ASI sekaligus, maka keberhasilan proses menyusui
pada ibu positif tak bisa lepas dari mereka.
Yang jelas, menyusui adalah hak bagi setiap ibu. Pada kondisi
khusus seperti pada ibu positif HIV, hak itu belum terhapus. Hak itu masih bisa
didapatkan dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah
disebutkan tadi. Dengan menyusui, ibu positif HIV dapat mendapatkan haknya
untuk menjalin kedekatan dengan anaknya, sekaligus memenuhi haknya untuk hidup
sehat. Ini tentu harus didukung.
ternyata ibu dengan HIV AIDS boleh ya menyusui anaknya. Mudah-mudahan informasi ini lebih byk lagi yang tahu, sehingga hak bayi dan ibu dapat terpenuhi. Selama ini kan , ibu dengan HIV AIDS pasti takut menularkannya pada bayinya.
BalasHapusya, bunda. Proses menyusui pada ibu positif HIV masih diperbolehkan, asalkan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan. Mulai dari pemakaian ARV, pemantauan rutin kadar CD4 dan virus dalam darah. Perlu juga dipastikan tidak ada lecet dan luka pada puting ibu yang memperbesar resiko penularan vertikal HIV.
HapusSehingga pemeberian ASI oleh ibu positif HIV sebaiknya tetap melalui bimbingan dokter. Bahkan secara khusus, bisa melalui bimbingan konselor laktasi. Lembaga nirlaba yang bergerak di pemberian informasi tentang ibu menyusui juga mulai masif dan tersebar di kota-kota seluruh Indonesia.
Yang jelas, secara hak, ibu positif HIV masih dilindungi. Ini sebelumnya juga memicu perdebatan. Namun rekomendasi terakhir menganjurkan pemberian ASI pada kondisi khusus macam ini. Dasarnya, tentu ragam penelitian yang dilakukan berbagai lembaga kesehatan.
Selebihnya dikembalikan pada ibu itu sendiri. Menyusui adalah hak, namun menolak menyusui juga hak. Poin dari tulisan ini adalah menyusui itu menyehatkan secara psikis dan fisik, baik untuk ibu, maupun untuk bayi. Dan untuk ibu positif HIV, hak sehat melalui proses menyusui, masih belum terhapus.
info yang menarik kawan untuk bahan artikel. Baru tau nih klw ternyata menyusui bg penderita AIDS gk apa2 :D
BalasHapusInilah Kebebasan
Terima kasih, Bung. :)
Hapus