Beberapa
hari yang lalu, ada hal menarik di
linimasa salah satu media sosial yang saya gunakan. Beberapa kawan saling
menguak borok digital masing-masing. Maksud saya, mereka saling mengorek
ekspresi tertulis di dinding akun media sosial masing-masing—secara lebih tepat
disebut dengan status.
Kawan-kawan
saya itu, ada yang memang saya kenal baik, meskipun banyak pula yang
tak pernah saya temui secara
langsung. Hampir semua dari mereka sekarang adalah penulis yang jempolan,
menggawangi portal-portal media daring
yang kontennya yahud, atau setidaknya mereka adalah pegiat di dunia
baca-tulis. Dengan melihat posisi mereka
sekarang, maka ekspresi-ekspresi
tertulis yang pernah mereka catat di dinding akun mereka beberapa tahun silam
adalah artefak sekaligus aib yang menggelikan. Mereka saling membongkar
arsip-arsip lawas di akun kawan yang lain, lalu bila didapati hal yang terkesan
lucu, naif, konyol, mereka sebarkan ulang di dinding akun yang sekarang, lalu
ditertawakan bersama-sama. Aktivitas saling buka borok digital ini begitu riuh,
berseliweran di linimasa, dan membuat saya ikut tersenyum sekaligus kadang
tertawa terbahak-bahak.
Lewat
media yang berbeda, kegiatan mengumbar borok digital juga terjadi di antara dua
penulis idola saya: Muhidin M Dahlan dan Zen RS. Keduanya adalah nama yang
mengantarkan saya pada kecintaan yang mendalam kepada dunia baca-tulis. Muhidin
dan Zen sudah saling kenal dan menjadi kawan karib semenjak masih berseliweran
di area kampus di Jogjakarta (kedua
orang ini akhirnya sama-sama tidak menyelesaikan kuliahnya).
Di
salah satu portal yang terkenal dengan kontennya yang tengil, Muhidin membagi
tulisannya tentang Zen RS. Sebagaimana
yang saya bilang, dalam tulisan itu, Muhidin mengumbar borok digital Zen RS. Muhidin
“memamerkan” esai-esai (cenderung berbau seksual) yang ditulis Zen dan dikirimkan ke harian Kompas—dan ditolak.
Tentu saja ditolak, tulisan Zen yang ditampilkan Muhidin tersebut sungguh membuat
tersenyum geli. Keangkeran
halaman opini di Kompas yang terkenal sukar ditembus, mencoba
ditaklukkan Zen beberapa tahun yang lalu dengan kalimat-kalimat yang lucu dalam
esainya. Misalnya, “Wah, kayak Agnes Monica di sinetron Cewekku Jutek sewaktu disetrap
gurunya. Hii… hii…,” tulis Zen RS di esai “Agnes Monica dan Para Sosial” yang ditolak Kompas, 5 Agustus 2006.
Dari
beragam upaya menguak borok digital itu, yang menarik buat saya adalah sebuah
penegasan yang ditampilkan oleh kawan-kawan. Sebaik dan sebernas apapun mereka
dalam menulis sekarang, ternyata dulu juga kacau balau, naif, dan sekali lagi
menggelikan. Banyak dari mereka ketika beberapa tahun silam sangat belepotan
dalam mengungkapkan isi kepalanya lewat
tulisan. Kaidah-kaidah penulisan diabaikan dan diterobos. Ide dibangun
sekenanya dan disampaikan dengan tanpa berpikir panjang. Sehingga kesan yang
muncul –meminjam istilah sekarang—adalah alay.
Mereka semua juga pernah norak.
Apalagi saya.
Sehingga
betapa beruntungnya ingatan kita yang kerap silap diselamatkan oleh internet.
Lewat internet, catatan tentang apa saja
yang pernah kita bagikan akan diindeks, disimpan, dan bisa ditayang ulang.
Melihat
kawan-kawan asyik membongkar borok digital masing-masing, saya pun melakukan
hal yang serupa terhadap diri sendiri. Hasilnya lebih dari cukup untuk membuat
saya sakit perut sendirian. Saya kerap malu-malu sendiri membaca apa yang saya
tulis dan saya bagi di masa lalu.
Yang menarik, selain mengabadi, tulisan juga
memiliki nuansanya sendiri. Sehingga
ketika dulu saya menulis dan membagikannya di internet, tulisan itu mungkin
tidak terasa norak dan alay. Hal itu baru
terasa sekarang. Mungkin tulisan ini juga akan terkesan norak bagi saya di masa
yang akan datang.
Namun,
tidak ada yang salah dengan pernah norak dan alay. Sepanjang menulis disepakati dan dimaklumi sebagai sebuah
proses yang terus berlangsung, norak dan alay
adalah hal yang lumrah. Borok-borok digital adalah pengingat, bahwa kita
semua pernah mengalami fase masing-masing. Yang menjadi penting adalah terus menjalani proses, tanpa terlalu
terbebani dengan apa yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan.
Pada
konteks ini, saya mengibaratkan upaya menguak borok digital layaknya spion pada
mobil. Gunanya adalah untuk melihat ke belakang. Retrospektif. Namun tak selayaknya kita abai
pada jalan yang ditempuh dan lupa melaju. Spion adalah cermin yang
mengingatkan kita, bahwa ada jalan yang sudah kita lewati. Dan segala hal yang
terjadi di belakang sana, senorak dan semenggelikan apapun, adalah bagian dari
jalan kita yang harus kita lalui.
Yang
tak kalah menariknya dari yang dilakukan kawan-kawan dalam saling mengumbar
borok digital masing-masing adalah kegembiraannya. Saling menertawakan diri
sendiri tanpa harus tersakiti. Menyadari bahwa menulis adalah perkara yang tidak mudah dan memaklumi kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebagai bagian dari proses belajar. Sisanya, mari bergembira saja.
Mungkin
saya norak. Mungkin saya naif. Tapi mungkin saja, hal yang dilakukan
kawan-kawan ini bisa dilakukan setiap diri terhadap perjalanannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih beragam, mungkin. Dalam perjalanan yang lain. Melihat spion dan
jalan yang telah dilewati, menghindari mengutuk, lalu menertawainya sesekali. Yang
tak kalah penting, diri sendiri harus memaklumi bahwa sekecil atau sebesar apapun kesalahan yang terjadi adalah bagian dari jalan yang harus
dilalui, tetapi tak lupa untuk selalu belajar dan terus memperbaiki diri.
Alangkah
indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar