Senin, 31 Oktober 2016

Spion dan Pemakluman



 

Beberapa hari yang lalu, ada hal menarik  di linimasa salah satu media sosial yang saya gunakan. Beberapa kawan saling menguak borok digital masing-masing. Maksud saya, mereka saling mengorek ekspresi tertulis di dinding akun media sosial masing-masing—secara lebih tepat disebut dengan status.

Kawan-kawan saya itu, ada yang memang saya kenal baik, meskipun banyak  pula yang  tak pernah saya temui secara  langsung. Hampir semua dari mereka sekarang adalah penulis yang jempolan, menggawangi portal-portal media daring  yang kontennya yahud, atau setidaknya mereka adalah pegiat di dunia baca-tulis. Dengan melihat  posisi mereka sekarang, maka  ekspresi-ekspresi tertulis yang pernah mereka catat di dinding akun mereka beberapa tahun silam adalah artefak sekaligus aib yang menggelikan. Mereka saling membongkar arsip-arsip lawas di akun kawan yang lain, lalu bila didapati hal yang terkesan lucu, naif, konyol, mereka sebarkan ulang di dinding akun yang sekarang, lalu ditertawakan bersama-sama. Aktivitas saling buka borok digital ini begitu riuh, berseliweran di linimasa, dan membuat saya ikut tersenyum sekaligus kadang tertawa terbahak-bahak.

Lewat media yang berbeda, kegiatan mengumbar borok digital juga terjadi di antara dua penulis idola saya: Muhidin M Dahlan dan Zen RS. Keduanya adalah nama yang mengantarkan saya pada kecintaan yang mendalam kepada dunia baca-tulis. Muhidin dan Zen sudah saling kenal dan menjadi kawan karib semenjak masih berseliweran di area kampus di Jogjakarta  (kedua orang ini akhirnya sama-sama tidak menyelesaikan kuliahnya).

Di salah satu portal yang terkenal dengan kontennya yang tengil, Muhidin membagi tulisannya tentang Zen RS.  Sebagaimana yang saya bilang, dalam tulisan itu, Muhidin mengumbar borok digital Zen RS. Muhidin “memamerkan” esai-esai (cenderung berbau seksual) yang ditulis Zen  dan dikirimkan ke harian Kompas—dan ditolak. Tentu saja ditolak, tulisan Zen yang ditampilkan Muhidin tersebut sungguh  membuat  tersenyum geli. Keangkeran  halaman opini di Kompas yang terkenal sukar ditembus, mencoba ditaklukkan Zen beberapa tahun yang lalu dengan kalimat-kalimat yang lucu dalam esainya. Misalnya, “Wah, kayak Agnes Monica di sinetron Cewekku Jutek sewaktu disetrap gurunya. Hii… hii…,” tulis Zen RS di esai “Agnes Monica dan Para Sosial” yang ditolak Kompas, 5 Agustus 2006.

Dari beragam upaya menguak borok digital itu, yang menarik buat saya adalah sebuah penegasan yang ditampilkan oleh kawan-kawan. Sebaik dan sebernas apapun mereka dalam menulis sekarang, ternyata dulu juga kacau balau, naif, dan sekali lagi menggelikan. Banyak dari mereka ketika beberapa tahun silam sangat belepotan dalam mengungkapkan isi  kepalanya lewat tulisan. Kaidah-kaidah penulisan diabaikan dan diterobos. Ide dibangun sekenanya dan disampaikan dengan tanpa berpikir panjang. Sehingga kesan yang muncul –meminjam istilah sekarang—adalah alay. Mereka semua juga pernah norak.  Apalagi saya.

Sehingga betapa beruntungnya ingatan kita yang kerap silap diselamatkan oleh internet. Lewat internet, catatan tentang apa  saja yang pernah kita bagikan akan diindeks, disimpan, dan bisa ditayang ulang.

Melihat kawan-kawan asyik membongkar borok digital masing-masing, saya pun melakukan hal yang serupa terhadap diri sendiri. Hasilnya lebih dari cukup untuk membuat saya sakit perut sendirian. Saya kerap malu-malu sendiri membaca apa yang saya tulis dan saya bagi di masa lalu.

 Yang menarik, selain mengabadi, tulisan juga memiliki nuansanya sendiri.  Sehingga ketika dulu saya menulis dan membagikannya di internet, tulisan itu mungkin tidak terasa norak dan alay. Hal itu baru terasa sekarang. Mungkin tulisan ini juga akan terkesan norak bagi saya di masa yang akan datang.

Namun, tidak ada yang salah dengan pernah norak dan alay. Sepanjang menulis disepakati dan dimaklumi sebagai sebuah proses yang terus berlangsung, norak dan alay adalah hal yang lumrah. Borok-borok digital adalah pengingat, bahwa kita semua pernah mengalami fase masing-masing. Yang menjadi penting adalah  terus menjalani proses, tanpa terlalu terbebani dengan apa yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan.

Pada konteks ini, saya mengibaratkan upaya menguak borok digital layaknya spion pada mobil. Gunanya adalah untuk melihat ke belakang. Retrospektif. Namun tak selayaknya kita abai pada jalan yang ditempuh dan lupa melaju. Spion adalah cermin yang mengingatkan kita, bahwa ada jalan yang sudah kita lewati. Dan segala hal yang terjadi di belakang sana, senorak dan semenggelikan apapun, adalah bagian dari jalan kita yang harus kita lalui. 

Yang tak kalah menariknya dari yang dilakukan kawan-kawan dalam saling mengumbar borok digital masing-masing adalah kegembiraannya. Saling menertawakan diri sendiri tanpa harus tersakiti. Menyadari bahwa menulis adalah perkara yang tidak mudah dan memaklumi  kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebagai bagian dari proses belajar. Sisanya, mari bergembira saja.

Mungkin saya norak. Mungkin saya naif. Tapi mungkin saja, hal yang dilakukan kawan-kawan ini bisa dilakukan setiap diri terhadap perjalanannya  masing-masing.  Dalam konteks yang lebih beragam, mungkin. Dalam perjalanan yang lain. Melihat spion dan jalan yang telah dilewati, menghindari mengutuk, lalu menertawainya sesekali. Yang tak kalah penting, diri sendiri harus memaklumi bahwa sekecil atau sebesar apapun kesalahan yang terjadi adalah bagian dari jalan yang harus dilalui, tetapi tak lupa untuk selalu belajar dan terus memperbaiki diri.

Alangkah indahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar