Kamis, 15 September 2016

Belajar pada Lelaki Tua dan Laut



 
Gambar diambil dari sini

Kemarin saya membaca lagi buku Lelaki Tua dan Laut (The Oldman and The Sea) setelah sempat membacanya beberapa tahun silam. Saya kembali terpikat oleh kepiawaian Ernest Hemingway menggubah narasi untuk menceritakan perjuangan Santiago, sang nelayan tua, yang berlayar dan terombang-ambing di tengah lautan Teluk Meksiko untuk menaklukkan ikan marlin raksasa. Hemingway menulis karya legendarisnya ini di Kuba pada tahun 1951 dan kemudian diterbitkan setahun setelahnya.

Novel pendek yang meraih penghargaan Pulitzer di tahun 1953 untuk  kategori fiksi dan Nobel Sastra di tahun 1954 ini memang sangat menarik. Kesan pertama yang terbersit di dalam benak setelah menamatkan cerita ini adalah betapa hidup kerap berisi hal-hal yang di luar dugaan. Rencana-rencana yang disusun bisa jadi karam oleh beragam sebab—dan seringkali karena banyak hal yang membuat kita bingung bersikap: bersedih, tertawa satir, atau sekadar bercakap-cakap dengan angin. 

Santiago melewati sekitar tiga purnama tanpa menangkap ikan seekorpun. Ia memiliki murid bernama Manolin yang sempat dilarang oleh orang tuanya untuk berlayar dengan Santiago dan diperintahkan untuk mencari nelayan lain yang lebih moncer. Manolin terus berkunjung ke gubuk Santiago dan membicarakan banyak hal dengan lelaki tua, yang yakin bahwa kelak kesialannya akan surut dan dia akan mendapatkan ikan di tengah teluk.

Suatu hari Santiago berangkat berlayar sendirian dan keyakinannya berbuah manis. Kailnya digigit oleh seekor ikan marlin besar. Laut memang bukan medan yang mudah untuk tulang tua Santiago. Ia bersusah payah menaklukkan ikan marlin raksasa hingga terluka dan kesakitan, namun sang ikan malah menyeret perahu kecilnya. Dua hari dua malam dia berkutat dalam pertarungan itu, hingga muncul perasaan haru di benak Santiago. Ia berubah mengasihi lawannya itu. Dan karena menyadari ketangguhan sang ikan marlin, ia berpikir bahwa sang ikan sesungguhnya  tidak layak untuk dimakan oleh siapapun.

Esoknya, sang ikan mulai mendekat di perahu kecilnya karena dia kelelahan usai bertarung dengan nelayan tua. Santiago juga sudah ambruk, kelelahan, mengigau dan meracau seperti orang gila. Ia mengumpulkan sisa tenaga untuk menikam ikan marlin dengan harpun untuk mengakhiri pertarungan mereka.

Santiago mengikat bangkai ikan marlin di sisi perahunya dan mulai berlayar pulang. Hidup memberikan kejutan lain. Selama perjalanan pulang, darah ikan marlin yang tergenang di air menggoda kerumunan ikan hiu. Santiago menjaga hasil buruannya dengan melawan serangan ikan-ikan hiu. Ia bahkan merakit dayungnya dengan sebilah pisau sebagai pengganti harpun dan mengusir kerumunan hiu. Ia sempat membunuh beberapa hiu walaupun hiu yang lain akhirnya melahap habis bangkai ikan marlin miliknya—menyisakan kerangka saja. Santiago begitu sedih karena kehilangan lawan sekaligus kawannya mengarungi lautan. Ia terpukul dan ingin menghukum dirinya karena membuat ikan yang semula hendak diburunya pulang itu hanya tertinggal tulang belulang saja. Sambil berjalan dengan langkah yang berat, dipanggulnya tiang kapal menuju gubuknya. Sesampainya di gubuk, ia merebahkan diri dan memilih untuk beristirahat dalam tidur yang panjang.

***

Pernah ketika ditanya tentang intepretasi soal ceritanya ini, Hemingway tidak berkomentar terlalu banyak. Kata penulis brewok ini, “Tidak ada buku bagus yang ditulis dengan simbol-simbol yang sudah ada sebelumnya dan terpatri di benak. Saya hanya mencoba untuk bercerita tentang sebenar-benar lelaki tua, sebenar-benar bocah lelaki, sebenar-benar laut, sebenar-benar ikan dan sebenar-benar hiu-hiu. Apabila saya telah bercerita dengan baik dan sebenar-benarnya tentang itu semua, saya rasa mereka bisa bermakna banyak hal”.

Lelaki Tua dan Laut buat saya adalah karya hebat yang ringkas, sangkil, sarat humor tentang hidup, tapi sekaligus memberikan bias tentang vitalitas hidup di tengah dunia yang tak pernah selalu baik-baik saja sesuai sangkaan kita. Banyak hal yang pada akhirnya menjadi rentan dan terlalu mudah untuk dimaki, diumpat dan disalahkan. Tapi begitulah hidup, yang seringkali justru bisa direguk hikmahnya dengan mencari humor lewat penghayatan sikap sehari-hari sambil kerapkali membuang segala sangkaan.

Setelah menamatkan lagi buku ini, saya kemudian melamun sejenak. Bukan hendak membayangkan kembali keluguan Santiago atau polosnya Manolin. Entah kenapa, saya malah  membayangkan bagaimana jika karakter Santiago digantikan oleh satu sosok perempuan? Sosok yang—sebagaimana Santiago—berjuang menjalani hidup yang penuh gelombang dan arahnya seringkali tak sesuai harapan? Judulnya mungkin bisa diganti Perempuan Muda dan Laut. Bisa jadi, Hemingway memenangkan lebih banyak penghargaan jika yang menjadi karakter utamanya adalah sesosok perempuan. Atau justru sebaliknya, penulis flamboyan itu tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali sebuah novel pendek yang buruk. Dikira mudah apa menghayati dan menuliskan pikiran serta laku hidup perempuan?

 Ah sudahlah, kadang-kadang saya memang suka melantur tak karuan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar