Selasa, 26 Juli 2016

Jurus Pamungkas untuk Swasembada Gula*




Gambar diambil dari situs www.bumn.go.id



Yang menyenangkan dari mempelajari sejarah adalah menikmati kisah manis yang ditoreh oleh pelakunya. Industri gula, yang menjadi bagian penting dari sejarah negeri ini pun juga memiliki catatan manis. Menengok sejarah industri gula di Indonesia, maka kita akan menikmati sajian cerita kejayaan  industri gula di sekian dekade silam.

Tak bisa ditampik, bahwa salah satu “karya” terbesar kolonialisme terhadap negeri ini adalah tanam paksa. Ide tanam paksa digagas oleh seorang Belanda bernama Johannes Van den Bosch, yang saat itu menjadikan gula sebagai komoditas unggulan dari sistem yang juga sering disebut dengan cultuurstelsel ini. Gula pula yang menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Di dekade 1930-an, negeri kita adalah produsen gula kelas utama di dunia. Indonesia bahkan pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia—setelah Kuba, melampui negara-negara lain yang kini dikenal sebagai produsen utama gula semisal Brazil, Thailand, dan India.

Namun kisah industri gula nasional tak melulu manis dan romantis. Masalah demi masalah kemudian timbul, menggeser posisi kita yang mulanya adalah peringkat atas dalam persoalan ekspor gula, menjadi negara yang sibuk dengan rutinitas impor gula setiap tahun. Bila diurai perlahan, ditemukan beragam problem yang pelik dan berkelindan. Beberapa yang mendasar di antaranya adalah produktivitas gula nasional yang relatif stagnan, sedangkan di sisi lain pertumbuhan penduduk kian pesat yang berimbas pada peningkatan konsumsi gula.

Gula yang Manis, Gula yang Kompleks

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mempunyai data yang menyebutkan bahwa total kebutuhan konsumsi gula nasional adalah 17 kg per kapita per tahun. Angka ini masih bisa dirinci menjadi kebutuhan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi langsung adalah 9 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 2,205 juta ton untuk sekitar 245 juta jiwa penduduk.

Sedangkan kebutuhan gula rafinasi yang digunakan untuk industri besar dan menengah adalah sekitar 5 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 1,225 juta ton. Angka ini diikuti oleh kebutuhan gula untuk industri kecil dan rumahan yakni 3 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 735 ribu ton.

Dari data di atas, bila dijumlahkan, maka angka kebutuhan gula nasional per tahun adalah sekitar 17 kilogram per kapita atau sekitar 4, 165 juta ton.

Saat ini, target produksi gula nasional di  pemerintahan Joko Widodo adalah 4,5 juta ton yang dicanangkan dapat dicapai pada tahun 2017-2019. Pemerintah menargetkan Indonesia bisa swasembada gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Upaya swasembada ini bukan wacana baru yang didengungkan. Ini adalah wacana lama yang mencoba diwujudkan oleh pemerintah, namun berkali-kali pula belum mencapai target yang diharapkan.

Pertanyaannya sekarang: apakah swasembada gula itu bisa terwujud?

Alih-alih optimistis, banyak pihak yang pesimistis dan ragu swasembada gula  bisa tercapai. Pasalnya, wacana swasembada gula sudah dipancang sejak sekitar duapuluh tahun silam, namun tak kunjung terwujud hingga kini. Permasalahan gula nasional adalah permasalahan yang kompleks. Banyak masalah yang sudah terlanjur mengakar kuat  di bisnis industri hasil tebu ini.

Gula memang komoditas yang highly regulated. Banyak silang sengkarut kepentingan yang mencoba mengambil kesempatan dalam industri ini. Ketergantungan akan pasokan gula impor masih menjulang tinggi. Kecurigaan pun kerap merebak. Beberapa pihak menilai bahwa tingginya angka impor terjadi karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit daripada biaya produksi gula lokal, sehingga bisa membuahkan keuntungan yang lebih besar untuk kalangan tertentu. Persaingan antara gula impor dan gula lokal ini dikenal sebagai rembesan gula impor di pasar umum.

Masalah lain yang dianggap mendasar dalam persoalan gula dalam negeri adalah keterbatasan lahan untuk menanam tebu. Tak hanya soal lahan, pabrik gula juga dianggap belum mampu menggenjot maksimal kapasitas peningkatan produksinya karena kinerja pabrik-pabrik yang sebagian besar dianggap sudah uzur. Masalah lain mengikuti, semisal sarana dan infrastruktur produksi gula yang dianggap belum bisa terpenuhi dengan baik.

Beragam masalah tadi hendaknya diatasi dengan memberikan antidotnya. Misalnya diawali dengan subsidi bibit tebu dan pemberian penyuluhan kepada petani. Lahan perkebunan juga harus diperluas, revitalisasi pabrik sebaiknya ditempuh, infrastruktur berupa irigasi dan pupuk juga selayaknya disediakan dengan baik

Namun selayaknya kita berani berpikir kritis: apakah semua cara itu sudah dianggap cukup untuk mencapai swasembada gula?

Menggagas Jurus Pamungkas

Sebagaimana diujar di atas, masalah industri gula nasional adalah masalah yang highly regulated. Ditilik dari satu segi, harga tebu dari petani dan faktor upah yang terus meningkat mengakibatkan biaya produksi ikut menanjak. Di segi lain, ada variabel lain semisal faktor daya beli konsumen dan intervensi pemerintah, yang mengakibatkan harga gula tidak bisa dibentuk pada level yang menjanjikan margin yang memadai. Setiap harga gula merangkak naik, pemerintah melakukan intervensi. Kenyataan ini membuat margin yang diperoleh perusahaan tidak cukup guna untuk melakukan upaya ekpansif lebih jauh lagi semisal memperluas lahan dan membangun pabrik baru. Padahal industri gula adalah industri yang sarat dengan upaya ekpansi dan investasi—dari revitalisasi mesin sampai perluasan lahan.

Karena itu, selain mengulik berbagai masalah mendasar dan memberikan tawaran antidotnya, diperlukan satu jurus lagi untuk mencapai swasembada gula. Jurus ini dinamakan diversifikasi.

Diversifikasi sebagai jurus pamungkas berangkat dari pemahaman bahwa swasembada gula yang tidak dimaknai sebatas persoalan produktivitas saja. Ada filosofi yang mengakar dalam dan imajinasi yang membentang luas, bahwa swasembada dimaknai dalam konteks upaya bersama untuk membangun industri tebu (sugarcane based industry) yang ditatakelola secara terintegrasi.   


Kenyataan bahwa margin yang diperoleh perusahaan tidak cukup untuk melakukan upaya ekspansif lebih jauh lagi kian membuat diversifikasi harus dilakukan.

Tebu tak hanya bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi gula, tetapi menjadi produk turunan lain yang bernilai ekonomi tinggi. Ampasnya bisa diolah menjadi listrik, tetesnya bisa diolah menjadi bioetanol (yang masih bisa diolah lagi menjadi listrik), limbah padatnya juga bisa menjadi biokompos.
Peluang bisnis dari upaya diversifikasi sangat menjanjikan. Dari kajian tim independen, dengan asumsi lahan sekitar 473 ribu hektar dan 38 juta ton tebu, diversifikasi bisa menghasilkan surplus power sebesar 3.300 GWH, 1,5 juta ton biokompos, dan 460 ribu kiloliter bioetanol.

Potensi yang menggiurkan dari upaya diversifikasi ini bisa dikelola untuk langkah ekspansif di sektor on-farm dan off-farm, yang pada mulanya menemui hambatan. Ini berarti bahwa upaya diversifikasi benar-benar berdaya guna terhadap peningkatan target produksi gula untuk mencapai swasembada. Asumsi bahwa diversifikasi mengganggu ikhtiar swasembada gula nasional jelas-jelas kandas.

Di negara-negara produsen gula kelas wahid, diversifikasi adalah upaya yang menjadi prioritas. Salah satu alasannya selain keuntungan yang didapat dari sektor hilir, upaya ini relatif memiliki risiko produksi yang kecil bila dihubungkan dengan pengupayaan tebu secara menyeluruh, seperti ongkos buruh dan tebang angkut, harga jual gula yang naik turun, serta biaya operasional yang terus meningkat.

Kita bisa menengok industri gula di Brazil, India, dan Thailand yang bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena mengandalkan pendapatan dari diversifikasi, mulai dari listrik yang berbasis ampas tebu hingga  bioetanol yang berbasis tetes tebu. Di Brazil, pabrik gula ada yang mampu menghasilkan listrik lebih dari 3.000 megawatt, yang setelah dihitung secara netto, listrik yang dijual bisa mencapai 506 MW. Di India, pabrik gula bisa menghasilkan listrik 2.200 MW dengan daya yang dikomersilkan hingga  1.400 MW.

Kendati demikian, diversifikasi adalah jurus yang tidak boleh sembarang dirapal. Sebagai jurus pamungkas, diversifikasi baru bisa dilakukan jika posisi kuda-kuda yang dimiliki sudah benar dan kuat. Kuda-kuda yang dimaksud adalah pengolahan pabrik dan sisi budi daya. Soal pengolahan pabrik, persoalan peningkatan kapasitas giling harus dibenahi dulu. Sedang dari sisi budi daya, produksi tebu rata-rata per hektar lahan harus ditingkatkan—tentu saja hal ini juga harus diikuti oleh peningkatan rendemen tebu. Bila kuda-kuda ini tidak cukup kokoh, maka jurus pamungkas berupa diversifikasi hendaknya tidak buru-buru dirapal karena diversifikasi adalah upaya yang membutuhkan pasokan tebu dan mesin pabrik yang prima.

Rintisan pengembangan industri hilir melalui metode diversifikasi, sudah ditapaki oleh PTPN XI. Mereka pernah menjajaki peluang pengembangan pakan ternak dari pucuk tebu di PG Djatiroto Lumajang. PTPN XI juga pernah melakukan upaya memperkuat biokompos dari limbah blotong sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisik tanah.

PTPN XI menyadari bahwa gula sudah bukan lagi sumber revenue utama perusahaan perkebunan berbasis tebu. Laba tidak akan benar-benar bertumbuh optimal jika hanya menggantungkan pendapatan dari bisnis gula. Maka perlu dilakukan upaya akselerasi penguatan keuangan perusahaan. Salah satu caranya adalah memecah-mecah bisnis di lini hilir melalui diversifikasi. Diversifikasi yang dilakukan secara terintegrasi akan menghemat biaya operasional sehingga harga pokok gula juga bisa menjadi lebih ideal.

Mengejar Harapan

Swasembada gula adalah harapan bersama yang terus dikejar agar bisa terwujud. Dengan menjalankan bisnis industri gula yang sekadarnya, maka harapan itu mustahil digapai. Diperlukan upaya yang lebih sangkil dan mangkus untuk mengejar harapan tercapainya swasembada gula. Pilihan yang sudah ditawarkan salah satunya adalah diversifikasi industri berbasis tebu. Sehingga kelak, gerbang kejayaan industri gula nasional bisa kita buka dan kembali kita masuki, bukan sekadar mencecap romantisme sejarahnya seperti sekarang ini.

====================================================================================

*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Penulisan Jurnalistik PTPN XI 2016. Tema yang diambil adalah “Peluang dan Tantangan Diversifikasi serta Hilirisasi Industri Berbasis Tebu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar