Gambar diambil dari situs www.bumn.go.id |
Yang
menyenangkan dari mempelajari sejarah adalah menikmati kisah manis yang ditoreh
oleh pelakunya. Industri gula, yang menjadi bagian penting dari sejarah negeri
ini pun juga memiliki catatan manis. Menengok sejarah industri gula di
Indonesia, maka kita akan menikmati sajian cerita kejayaan industri gula di sekian dekade silam.
Tak
bisa ditampik, bahwa salah satu “karya” terbesar kolonialisme terhadap negeri
ini adalah tanam paksa. Ide tanam paksa digagas oleh seorang Belanda bernama
Johannes Van den Bosch,
yang saat itu menjadikan gula sebagai komoditas unggulan dari sistem yang juga
sering disebut dengan cultuurstelsel ini.
Gula pula yang menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Di dekade 1930-an, negeri
kita adalah produsen gula kelas utama di dunia. Indonesia bahkan pernah menjadi
eksportir gula terbesar kedua di dunia—setelah Kuba, melampui negara-negara
lain yang kini dikenal sebagai produsen utama gula semisal Brazil, Thailand,
dan India.
Namun
kisah industri gula nasional tak melulu manis dan romantis. Masalah demi
masalah kemudian timbul, menggeser posisi kita yang mulanya adalah peringkat
atas dalam persoalan ekspor gula, menjadi negara yang sibuk dengan rutinitas
impor gula setiap tahun. Bila diurai perlahan, ditemukan beragam problem yang
pelik dan berkelindan. Beberapa yang mendasar di antaranya adalah produktivitas
gula nasional yang relatif stagnan, sedangkan di sisi lain pertumbuhan penduduk
kian pesat yang berimbas pada peningkatan konsumsi gula.
Gula yang Manis, Gula yang Kompleks
Asosiasi
Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mempunyai data yang menyebutkan bahwa
total kebutuhan konsumsi gula nasional adalah 17 kg per kapita per tahun. Angka
ini masih bisa dirinci menjadi kebutuhan Gula Kristal Putih (GKP) untuk
konsumsi langsung adalah 9 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 2,205
juta ton untuk sekitar 245 juta jiwa penduduk.
Sedangkan
kebutuhan gula rafinasi yang digunakan untuk industri besar dan menengah adalah
sekitar 5 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 1,225 juta ton. Angka ini
diikuti oleh kebutuhan gula untuk industri kecil dan rumahan yakni 3 kilogram
per kapita per tahun atau sekitar 735 ribu ton.
Dari
data di atas, bila dijumlahkan, maka angka kebutuhan gula nasional per tahun
adalah sekitar 17 kilogram per kapita atau sekitar 4, 165 juta ton.
Saat
ini, target produksi gula nasional di
pemerintahan Joko Widodo adalah 4,5 juta ton yang dicanangkan dapat dicapai pada tahun 2017-2019. Pemerintah menargetkan Indonesia
bisa swasembada gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Upaya swasembada
ini bukan wacana baru yang didengungkan. Ini adalah wacana lama yang mencoba
diwujudkan oleh pemerintah, namun berkali-kali pula belum mencapai target yang
diharapkan.
Pertanyaannya
sekarang: apakah swasembada gula itu bisa terwujud?
Alih-alih
optimistis, banyak pihak yang pesimistis dan ragu swasembada gula bisa tercapai. Pasalnya, wacana swasembada
gula sudah dipancang sejak sekitar duapuluh tahun silam, namun tak kunjung
terwujud hingga kini. Permasalahan gula nasional adalah permasalahan yang
kompleks. Banyak masalah yang sudah terlanjur mengakar kuat di bisnis industri hasil tebu ini.
Gula
memang komoditas yang highly regulated.
Banyak silang sengkarut kepentingan yang mencoba mengambil kesempatan dalam
industri ini. Ketergantungan akan pasokan gula impor masih menjulang tinggi.
Kecurigaan pun kerap merebak. Beberapa pihak menilai bahwa tingginya angka
impor terjadi karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit daripada biaya
produksi gula lokal, sehingga bisa membuahkan keuntungan yang lebih besar untuk
kalangan tertentu. Persaingan antara gula impor dan gula lokal ini dikenal
sebagai rembesan gula impor di pasar umum.
Masalah
lain yang dianggap mendasar dalam persoalan gula dalam negeri adalah
keterbatasan lahan untuk menanam tebu. Tak hanya soal lahan, pabrik gula juga
dianggap belum mampu menggenjot maksimal kapasitas peningkatan produksinya karena
kinerja pabrik-pabrik yang sebagian besar dianggap sudah uzur. Masalah lain mengikuti,
semisal sarana dan infrastruktur produksi gula yang dianggap belum bisa
terpenuhi dengan baik.
Beragam
masalah tadi hendaknya diatasi dengan memberikan antidotnya. Misalnya diawali
dengan subsidi bibit tebu dan pemberian penyuluhan kepada petani. Lahan
perkebunan juga harus diperluas, revitalisasi pabrik sebaiknya ditempuh, infrastruktur
berupa irigasi dan pupuk juga selayaknya disediakan dengan baik
Namun
selayaknya kita berani berpikir kritis: apakah semua cara itu sudah dianggap cukup
untuk mencapai swasembada gula?
Menggagas Jurus Pamungkas
Sebagaimana
diujar di atas, masalah industri gula nasional adalah masalah yang highly regulated. Ditilik dari satu
segi, harga tebu dari petani dan faktor upah yang terus meningkat mengakibatkan
biaya produksi ikut menanjak. Di segi lain, ada variabel lain semisal faktor daya
beli konsumen dan intervensi pemerintah, yang mengakibatkan harga gula tidak
bisa dibentuk pada level yang menjanjikan margin yang memadai. Setiap harga
gula merangkak naik, pemerintah melakukan intervensi. Kenyataan ini membuat
margin yang diperoleh perusahaan tidak cukup guna untuk melakukan upaya
ekpansif lebih jauh lagi semisal memperluas lahan dan membangun pabrik baru.
Padahal industri gula adalah industri yang sarat dengan upaya ekpansi dan
investasi—dari revitalisasi mesin sampai perluasan lahan.
Karena
itu, selain mengulik berbagai masalah mendasar dan memberikan tawaran
antidotnya, diperlukan satu jurus lagi untuk mencapai swasembada gula. Jurus
ini dinamakan diversifikasi.
Diversifikasi
sebagai jurus pamungkas berangkat dari pemahaman bahwa swasembada gula yang
tidak dimaknai sebatas persoalan produktivitas saja. Ada filosofi yang mengakar
dalam dan imajinasi yang membentang luas, bahwa swasembada dimaknai dalam
konteks upaya bersama untuk membangun industri tebu (sugarcane based industry) yang ditatakelola secara terintegrasi.
Kenyataan bahwa margin yang diperoleh perusahaan tidak cukup untuk melakukan upaya ekspansif lebih jauh lagi kian membuat diversifikasi harus dilakukan.
Tebu tak hanya bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi gula, tetapi menjadi produk turunan lain yang bernilai ekonomi tinggi. Ampasnya bisa diolah menjadi listrik, tetesnya bisa diolah menjadi bioetanol (yang masih bisa diolah lagi menjadi listrik), limbah padatnya juga bisa menjadi biokompos.
Peluang
bisnis dari upaya diversifikasi sangat menjanjikan. Dari kajian tim independen,
dengan asumsi lahan sekitar 473 ribu hektar dan 38 juta ton tebu, diversifikasi
bisa menghasilkan surplus power
sebesar 3.300 GWH, 1,5 juta ton biokompos, dan 460 ribu kiloliter bioetanol.
Potensi
yang menggiurkan dari upaya diversifikasi ini bisa dikelola untuk langkah
ekspansif di sektor on-farm dan off-farm, yang pada mulanya menemui
hambatan. Ini berarti bahwa upaya diversifikasi benar-benar berdaya guna
terhadap peningkatan target produksi gula untuk mencapai swasembada. Asumsi
bahwa diversifikasi mengganggu ikhtiar swasembada gula nasional jelas-jelas
kandas.
Di
negara-negara produsen gula kelas wahid, diversifikasi adalah upaya yang
menjadi prioritas. Salah satu alasannya selain keuntungan yang didapat dari
sektor hilir, upaya ini relatif memiliki risiko produksi yang kecil bila
dihubungkan dengan pengupayaan tebu secara menyeluruh, seperti ongkos buruh dan
tebang angkut, harga jual gula yang naik turun, serta biaya operasional yang
terus meningkat.
Kita
bisa menengok industri gula
di Brazil, India, dan Thailand yang bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena
mengandalkan pendapatan dari diversifikasi, mulai dari listrik yang berbasis
ampas tebu hingga bioetanol yang
berbasis tetes tebu. Di Brazil, pabrik gula ada yang mampu menghasilkan listrik
lebih dari 3.000 megawatt, yang setelah dihitung secara netto, listrik yang
dijual bisa mencapai 506 MW. Di India, pabrik gula bisa menghasilkan listrik
2.200 MW dengan daya yang dikomersilkan hingga
1.400 MW.
Kendati
demikian, diversifikasi adalah jurus yang tidak boleh sembarang dirapal. Sebagai
jurus pamungkas, diversifikasi baru bisa dilakukan jika posisi kuda-kuda yang
dimiliki sudah benar dan kuat. Kuda-kuda yang dimaksud adalah pengolahan pabrik
dan sisi budi daya. Soal pengolahan pabrik, persoalan peningkatan kapasitas
giling harus dibenahi dulu. Sedang dari sisi budi daya, produksi tebu rata-rata
per hektar lahan harus ditingkatkan—tentu saja hal ini juga harus diikuti oleh
peningkatan rendemen tebu. Bila kuda-kuda ini tidak cukup kokoh, maka jurus
pamungkas berupa diversifikasi hendaknya tidak buru-buru dirapal karena
diversifikasi adalah upaya yang membutuhkan pasokan tebu dan mesin pabrik yang
prima.
Rintisan
pengembangan industri hilir melalui metode diversifikasi, sudah ditapaki oleh
PTPN XI. Mereka pernah menjajaki peluang pengembangan pakan ternak dari pucuk
tebu di PG Djatiroto Lumajang. PTPN XI juga pernah melakukan upaya memperkuat
biokompos dari limbah blotong sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki sifat
fisik tanah.
PTPN XI
menyadari bahwa gula sudah bukan lagi sumber revenue utama perusahaan perkebunan berbasis tebu. Laba tidak akan
benar-benar bertumbuh optimal jika hanya menggantungkan pendapatan dari bisnis
gula. Maka perlu dilakukan upaya akselerasi penguatan keuangan perusahaan.
Salah satu caranya adalah memecah-mecah bisnis di lini hilir melalui
diversifikasi. Diversifikasi yang dilakukan secara terintegrasi akan menghemat
biaya operasional sehingga harga pokok gula juga bisa menjadi lebih ideal.
Mengejar Harapan
Swasembada
gula adalah harapan bersama yang terus dikejar agar bisa terwujud. Dengan
menjalankan bisnis industri gula yang sekadarnya, maka harapan itu mustahil
digapai. Diperlukan upaya yang lebih sangkil dan mangkus untuk mengejar harapan
tercapainya swasembada gula. Pilihan yang sudah ditawarkan salah satunya adalah
diversifikasi industri berbasis tebu. Sehingga kelak, gerbang kejayaan industri
gula nasional bisa kita buka dan kembali kita masuki, bukan sekadar mencecap
romantisme sejarahnya seperti sekarang ini.
====================================================================================
*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba
Penulisan Jurnalistik PTPN XI 2016. Tema yang diambil adalah “Peluang dan
Tantangan Diversifikasi serta Hilirisasi Industri Berbasis Tebu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar