Sabtu, 15 Oktober 2011

Tak Kenal Maka Tak Selamat

Saya percaya, bahwa setiap disiplin ilmu punya metode. Pemahaman tidak diberikan dengan abstrak, tapi dengan runtutan yang sebisa mungkin dilakukan efisien dan efektif di ranah praktis. Sherlock Holmes pun tidak asal-asalan dalam mengembangkan nalar deduksinya. Ia menarik garis kesimpulan setelah melalui langkah-langkah pendekatan yang detail, mencatatnya, dan mencari keterkaitannya.

lambang kedokteran ini selalu membuat saya berpikir jorok: ular betina sedang striptis!


Ilmu kedokteran pun demikian. Banyak algoritma disusun, banyak jembatan keledai dibangun. Sebab memang, masalah kedokteran adalah masalah yang kompleks. Sistem tubuh manusia tidak sesederhana yang diperkirakan.  Banyak subsistem yang saling  berkoherensi. Karena rumit, maka pendekatannya dibuat sistematis pula, namun sesederhana mungkin. Agar mudah diingat. Satu yang pernah saya baca di novel Doctors-nya Erich Segal adalah bagaimana menyingkat 12 saraf kranial dihafalkan dengan sebuah kalimat yang singkat dan agak membuat geli telinga: "Oh, Oh, Oh, to touch and to feel a girl's vagina. Ah, heaven!"

Dalam praktiknya, dunia kedokteran juga mengenal banyak trias dan skala. Semuanya bentuk pendekatan yang sebisa mungkin sederhana untuk menghadapi kerumitan kasus. Salah satu Skala yang paling terkenal adalah Glasgow Coma Scale, dibuat oleh sepasang dokter dari Universitas Glasgow, Skotlandia.Ini skala paling populer untuk menilai tingkat kesadaran pasien, utamanya pada kasus-kasus traumatik. Ada pula Triad of  Cushing, yang dibuat untuk mendeteksi manifestasi tekanan di dalam kepala untuk kasus-kasus cedera kepala. Trias Cushing dibuat oleh ahli bedah syaraf asal Amerika, Harvey William Cushing. Atau sistem skoring paling terkenal untuk menilai bayi baru lahir, Apgar Score, yang dibuat oleh ahli anestesi legendaris (lagi-lagi) Amerika, Virginia Apgar.

Trias, skor, dan skala-skala tadi dibuat sebagai cara berkenalan dengan perubahan tanda dan gejala yang tampak pada pasien. Bicara soal wacana ideal, adalah mutlak metode kenalan yang banyak tadi wajib dikuasai oleh praktisi kedokteran, utamanya yang bergerak di divisi yang memerlukan "perkenalan" yang cepat, sebab dikejar oleh perkara sensitif: nyawa. Divisi-divisi semacam unit gawat darurat, critical care, dan surgery, sering menjumpai kasus-kasus yang ada hubungannya dengan upaya "kenalan' ini.

 Yang jadi ironis adalah ketika sebuah kasus datang, tapi praktisi (baik dokter maupun paramedis) tidak mengenalinya. Sebab memang mereka tidak paham bagaimana caranya mengenali. Di situlah terasa bahwa upaya pendekatan sistematis yang digagas leluhur-leluhur dunia kedokteran itu besar nian manfaatnya. Apalagi ketika dihadapkan pada kasus kegawatan, diperlukan upaya shortcut, agar kita bisa paham kasus yang kita hadapi. Di situlah skor, trias, skala, dan jembatan keledai berperan sebagai elemen pengenal.

Mengerikan rasanya ketika ada sebuah kasus, namun praktisi tidak mengenal pendekatan tanda dan gejalanya, lalu pasien tidak tertolong dan meninggal. Sebagaimana praktisi tidak mengenal perubahan irama ECG pada kasus-kasus acute coronary syndrome,  yang berlanjut sehingga pasien mengalami Ventrical Fibrilation, praktisi tidak paham juga, tidak melakukan defibrilasi, dan pasien meninggal.

Atau saat pasien dengan tensi rendah, diguyur cairan infus untuk memulihkan hemodinamik pasien, tapi ternyata ada tanda-tanda tamponade jantung yang luput dari pengamatan, karena ia memang tidak kenal. Akhirnya pasien malah meninggal.

 Kisah-kisah semacam itu sangat memungkinkan terjadi. Praktisi kedaruratan punya sekian bentuk apologi untuk menghindari rasa bersalah. Tapi rasa-rasanya, perlu dipahami, bahwa ilmu kegawatdaruratan adalah long life study. Metode silih berganti disusun, demi pendekatan sepraktis mungkin dan pertolongan semaksimal mungkin.

Belajar terus adalah upaya mengenal yang baik. Sebab tak kenal, maka tak selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar