Minggu, 27 November 2011

Hijrah


Saya sedang bermalas-malasan di hari itu. Mumpung libur. Hari-hari yang melelahkan di rumah sakit patut diganjar oleh kegiatan yang sama sekali tidak giat. Praktis, saya cuma berbaring di tempat tidur, menghidupkan laptop, blogwalking sebentar, mengoceh di twitter, makan dan kemudian membaca buku. Saya sudah sampai di level mahir untuk sekedar membuang -buang waktu.
Sampai sebuah pesan pendek  membunyikan ponsel saya."Maafin bapak kalau bapak ada salah. Maafin. ya?"
Saya terdiam sejenak. Membayangkan si pengirim pesan yang sudah terlampau saya kenal sedang dalam kondisi yang limbung kalau tidak boleh dibilang sedang kalut.
"Kamu pulang?", balas saya singkat.
"Iya, bapak sedang sakit keras". Dia kembali membalas.

Pikiran saya lantas teringat pada sosok yang sering ia ceritakan. Sosok yang keras kepala, tapi juga sebenarnya penuh kasih sayang ke anak-anaknya. Pria yang cenderung antipati ke segala macam jenis pengobatan, tapi juga berupaya sembuh meski dengan sedikit mencuri-curi kesempatan untuk melanggar larangan-larangan. Pria kecil dengan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi. Lelaki yang lemah diserang koalisi penyakit macam penyakit saluran empedu, diabetes, hipertensi, gangguan fungsi ginjal dan penurunan albumin, namun masih juga menjaga sholatnya meski tubuhnya terbaring lemah dan mengigau.

"Maafin bapak. Ya?"
Saya lalu membalas, bahwa untuk hal-hal tertentu, saya benar- benar pengingat yang buruk. Sedikit susah buat saya untuk menyimpan masalah sampai terlalu larut. Barangkali kalau saya hidup di lingkungan mafia Sisilia, saya bakal tewas pertama kali karena saya tidak cakap benar dalam memupuk rasa sakit hati.
Intinya, saya memaafkan. Karena bagi saya, beliau sebenarnya tidak punya salah.

                                                                        ***

Lalu siang tadi, dia kembali mengirimkan pesan ke ponsel saya. Saya membalas sambil tergesa. Lalu saya telepon dia, tak ada jawaban. Akhirnya diai mengirim pesan lagi. "Aku telepon nanti saja".
Saya juga membalas, "Selepas maghrib saja".
Saya melanjutkan pekerjaan sampai sore, dan lalu pulang saat mendung mulai menghitam. Tak langsung ke rumah, saya mampir sebentar ke toko buku, menyuplai stok bacaan bulanan.

Ketika saya pulang, mendung kian pekat. Petir berkali-kali menyambar. Hujan lalu seakan marah, turun dengan derasnya. Dan motor saya lalu mogok. Genangan air di jalanan terlalu tinggi. Busi motor saya basah. Dan matilah dia.

Saya mencoba membongkar busi sendiri. Mengeringkannya sebisa mungkin, menaruhnya di bawah pancaran lampu di sebuah teras sebuah toko tempat saya berteduh, sambil sesekali mengumpat. Ketika saya coba lagi, ternyata berhasil. Mesin motor saya hidup. Dan saya melanjutkan perjalanan pulang.

Ihwal kenapa saya ingin segera sampai rumah adalah karena saya sudah menyeduh janji. Janji dengan si pengirim pesan pendek di ponsel saya tadi. Janji untuk menjenguk bapaknya yang sedang sakit. Meskipun saya juga sangat yakin, tidak akan pernah ada pengaruh yang signifikan terhadap penyembuhan si bapak manakala saya datang. Memang siapa saya? Tapi yang jelas, bagaimana responnya, saya menyegerakan pulang.

Hujan reda sejenak. Tapi saya lihat, masih ada mendung yang menggulung hitam. Hujan masih menyimpan dendam, rupanya. Ketika hampir sampai ke rumah, sebuah ambulance melaju kencang dengan sirine yang meraung sekaligus lampu yang menyala. Saya sempat berpikir yang bukan-bukan, membayangkan kondisi bapak dari pengirim pesan pendek tadi.

Sesampainya di rumah, saya membuka handphone saya. Ada lima panggilan tidak terjawab. Ada dua pesan pendek. Yang mengirim dan yang memanggil sama. Dia yang bapaknya sakit. Namun dua pesan pendek isinya ternyata sama.

"Maafin bapak. Bapak sudah nggak ada"

                                                                         ***

"Sekarang tanggal berapa?" tanya lelaki itu.
"Sekarang tanggal 1 Muharram. Bapak ingat ada apa dengan tanggal 1 Muharram?", istrinya menjawab, lalu bertanya
Pria itu, bapak dari orang yang mengirim pesan pendek ke saya, lantas menjawab," Ingat, Buk."
"Ingat apa, Pak?"
"Ingat saat pertama kali aku bertemu sampeyan. Dulu", kata sang bapak. Lirih. Seperti menahan sakit.

Kini, momen itu bergeser. 1 Muharram yang menasbihkan mereka pertama kali  bertemu dan hijrah untuk sebuah hubungan, kini beralih pada momen yang mengharuskan mereka berpisah. Si Bapak terlebih dulu berhijrah. Meninggalkan istrinya, juga meninggalkan anaknya. Si Bapak, dalam perjalanan barunya seolah memberikan pengingat. Sebuah amsal yang selayaknya dikhidmati: setiap detik adalah hijrah menuju kematian.

Ada penggalan sajak dari Soe Hok Gie yang kerap saya ingat saat membicarakan kematian.
" ..Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita..
Maut; tempat pemberhentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam.."
( Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran : 5 Januari 1962 )
Dan saya membayangkan si anak, menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang dulu pernah diutarakan seorang teman kepada saya, saat saya pernah menulis soal kematian. Kematian, apapun bentuknya, adalah pengingat, agar hidup tetap dijalani dengan berani.
Dare to live until the very last
Dare to live forget about the past
Dare to live giving something of yourself to others
Even when it seems there's nothing more left to give
(Vivere, Andrea Bocelli)
Hujan turun semakin deras. Suara nyanyian dalam bayangan saya terdengar semakin lirih. Semakin lirih.

1 komentar: