Rabu, 17 Agustus 2011

Kegelapan, Kemerdekaan

Pada mulanya, sebisa mungkin saya menahan diri saya untuk tidak ikut-ikut menulis soal peringatan tujuhbelasan ini. Saya mencoba mengambil sisi lain, cukup melakukan perenungan. Sementara yang lain riuh oleh gegap perayaan, saya memilih diam. Tapi kok ya susah menahan. Di sekitar saya maupun di sosmed, beberapa ramai pesimis, beberapa riuh optimis. Beberapa pekak mengepul jargon, beberapa saling nyinyir, saling mengejek.

Saya percaya, semua itu menular. Kelatahan menular, hal baik menular, hal buruk juga menular. Tinggal bagaimana saling menebarkan pengaruh. Dan caranya bermacam-macam. Buat saya, silakan saja. Kemerdekaan itu juga berarti bebas mengungkapkan pendapatnya toh?
Maka ada yang sedikit membuat saya risau, saat beberapa teman yang pesimis menyalahkan teman yang optimis. Atau sebaliknya. Itu sikap yang konyol. Saya mencoba memahami, bahwa teman yang pesimis, tidak sejatinya pesimis, mereka hanya realistis. Dan teman yang optimis pun, tidak sejatinya optimis benar, mereka hanya ingin berbagi harapan di antara sengkarut masalah yang sudah terlampau merata seperti udara. Jadi keduanya, buat saya hanya mencoba membagi persepsi.

Maka rasa-rasanya, bukan sebuah hal bijak manakala kita menyalahkan kelompok lain yang mencoba mengkhidmati kemerdekaan dengan seremonial sendiri. Hidup itu memang lekat dengan rangkaian simbol-simbol. Hampir semua bagian kita, dijalani dengan ritus layaknya upacara. Dalam skala masing-masing tentunya.
Ketika ada beberapa orang yang mencoba menaruh harapan dengan laku seremonial berupa membuat upacara bendera digital, saya kira itu sebuah laku apresiatif. Laku yang dihela dengan mengumpulkan sekitar 1,7 juta hashtag #17an (tepatnya 1.781.945) di twitter itu bukan laku mudah. Menebar pengaruh sekaligus harapan pada sejuta orang di twitter itu susah.

Sebagaimana saya bilang tadi, rangkaian hidup kita,mau tidak mau, adalah rangkaian upacara dan simbol. Upacara bendera digital juga simbol. Bukan berarti melecehkan perjuangan pahlawan hanya dengan mengetik tanda pagar, tapi saya lihat mereka melakukan cara lain untuk menghimpun semangat komunal. Dan cara apalagi untuk melakukan itu semua kalau bukan melalui teknologi informasi? Dan akuilah, setiap zaman, memiliki zeitgeist-nya sendiri.

Ketika ada yang bilang,"Latah, ntar juga ilang-ilang sendiri. ", tidakkah kita lebih baik melakukan sesuatu daripada sekedar mencibir?
"Lebih baik lakukan di alam nyata", kata yang lain. Boleh, silakan. Lebih baik memang, mungkin. Tapi dengan output berupa mencibir orang lain yang sedang melakukan kebaikan, berarti hal nyata tadi juga tidak berimbas.

Jika tolok ukur kemerdekaan hanya disandarkan pada nihilnya masalah, kita tidak akan benar-benar merdeka. Tidak akan. Itu konsep utopis. Salah satu makna kemerdekaan itu bagaimana kita punya kesadaran untuk menghormati laku orang lain, sepanjang itu tidak saling merugikan. Merdeka juga berarti kita punya kesadaran untuk saling menghargai, bukan cuma mengutuk.

Iya, saya tahu, terlampau banyak hal gila di negeri ini. Setiap hari kita melihat orang-orang pilihan kita tertawa lebar dengan segala kenikmatan yang ia dapat, sedang kita jungkir-balik jumpalitan untuk sekedar bertahan hidup. Cuma bertahan hidup. Bukan memaknainya, apalagi bersenang-senang dengan hidup. Tapi mari merdekakan diri sendiri, dengan kesadaran sendiri, bahwa semakin kita saling mencintai, semakin kita kuat.

Kita boleh mengutuki kegelapan, tapi harus sambil menyalakan lilin.


*gambar dicomot sesukanya dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar