Sabtu, 26 November 2011

Gawande

Kondisi ideal adalah kondisi yang tidak benar-benar ada di dunia ini. Banyak hal yang tidak sesuai harapan. Banyak hal yang tak sepenuhnya selesai.  Dunia kedokteran juga mengamini kondisi itu.  Tidak semua hal benar-benar selaras dengan nilai-nilai yang disepakati, hambatan selalu ada, dan mustahil berhenti.

Gawande juga merasakan, bahkan paham nian kondisi yang dihadapi dunia kedokteran modern. Masalah terus berbiak, penyakit kian beragam, dan tuntutan semakin meninggi. Yang kerap jadi masalah, bisakah mereka, yang bergiat di dunia kedokteran tampil sebagai sosok-sosok penyelamat yang benar-benar mutlak menyelamatkan? Tanpa cela, tanpa cacat, tanpa kesalahan? Bukan sekedar menjalankan peran –seperti yang diucap Gawande sendiri- sebagai sekrup-sekrup berjas putih di sebuah mesin industri bertajuk pelayanan rumah sakit.

Bagaimana menjadi hebat dalam pekerjaan di mana kesalahan dan kelalaian mudah nian terjadi? Gawande menjawab ringan, ini adalah perihal yang similar dengan atlet.  Kita cukup berlatih, dan keahlian akan datang sebagai wujud kompensasi. Jawaban yang muncul bisa sesederhana itu.

Namun Gawande sadar, sebagaimana mungkin disadari oleh nurani masing-masing, bahwa cara kita melihat tidak layak disempitkan seperti itu. Ada dimensi lain yang harus berani dimasuki, dan mutlak menjadi pertimbangan tersendiri. Tak lain, tak bukan, adalah karena dunia kedokteran adalah dunia yang terlampau banyak mengandung muatan moral.  Ada nyawa manusia dan nilai-nilai kehidupan yang senantiasa menemani di setiap pengambilan keputusan.

Di sisi lain, banyak kondisi yang melemahkan. Ilmu kedokteran karib dengan langkah-langkah yang seringkali tidak pasti. Pengetahuan yang harus dikuasai sungguh banyak, namun juga tidak lengkap.

Saya teringat sebuah prolog di novel Doctors  karya Erich Segal. Setting-nya di Harvard Medical School. Sang Dekan, Courtney Holmes, hendak memberikan sambutan .  Ia maju ke depan, lalu mulai berbicara. Suaranya lembut, dengan satu oktaf lebih rendah.
“Mari saya simpulkan dengan mengungkapkan sebuah rahasia.”

Ia lalu berbalik dan menuliskan sesuatu pada papan tulis di belakangnya. Dua angka sederhana : "26". Holmes menunggu suasana hening, lalu menarik nafas. Dokter berambut perak itu berbicara, sambil menatap lurus ke depan.

“Saudara-saudara, saya ingin mengukirkan ini pada ingatan kalian: ada beribu-ribu penyakit di dunia ini, namun Ilmu Kedokteran hanya memiliki pengobatan empiris hanya untuk dua puluh enam diantaranya. Sisanya adalah ….menduga-duga.”

Dan, sambutan selesai. Orang-orang terlalu terkesima untuk memberikan tepuk tangan.

Begitulah. Banyak keterbatasan yang saling sengkarut di dunia kedokteran. Sebagaimana profesi apapun, mereka yang berkutat di dunia kedokteran dihadapkan pada pergulatan dengan sistem, sumber  daya, keadaan, maupun kekurangan kapasitas masing-masing subjek. Namun, dunia tidak berputar dengan rengekan. Dan Gawande memberi contoh bagaimana cara menghadapi itu semua. Bukan upaya akhir, sebab semua memang tak pernah berakhir. Entah sampai kapan.

Nama lengkapnya adalah Atul Gawande. Dokter bedah sub-spesialis bedah endokrin, kelahiran 46 tahun silam. Keturunan India. Dia juga kontributor tetap di sebuah harian terkemuka di Amerika, New Yorker. Majalah TIME pernah mengukuhkannya sebagai 100 orang paling berpengaruh (dia masuk urutan ke-50) di dunia pada tahun 2010.

Gawande adalah sebuah anomali untuk sebuah kedokteran modern. Pertama, dia dokter yang menulis secara aktif. Sebuah kelangkaan untuk profesi yang penuh tuntutan kesibukan. Boleh jadi, banyak contoh yang bisa diajukan sebagai pembanding. Che Guevara seorang dokter, juga menulis. Najib Mahfouz seorang dokter, juga menulis. Di tanah air, ada Mira W yang novelis, juga seorang dokter. Begitupun dengan Handrawan Nadesul. Tapi Gawande menulis dengan pendekatan yang lain.

Kedua, Gawande menulis untuk  sebuah koreksi atas apa-apa yang menjadi “dosa” dunia kedokteran modern. Ia seakan bermonolog lantang tapi juga berbisik, lirih sekaligus liris, Ia berani membuka tabir  tabu yang selama tertutup atas nama etis. Gawande juga bukan cuma menguliti profesinya, tapi juga mencari celah yang bisa dilewati u ntuk pencapaian-pencapaian yang lebih baik.  Gawande menulis dengan menelusuri upaya-upaya yang bisa digunakan para tenaga kesehatan untuk  mempersempit kesenjangan antara harapan terbaik dengan pekerjaan yang melelahkan, sambil menghadapi berbagai keterbatasan yang serasa sukar dilewati. Perihal menulis, Gawande pernah berujar ,”Menulislah. Yang ditulis tidak harus sempurna. Saya tidak menulis sebelum menjadi dokter. Tapi setelah menjadi dokter, saya mendapati bahwa saya perlu menulis.”

Tulisan-tulisan Gawande yang penuh nuansa kontemplatif soal dunia yang menjadi profesinya itu ia kumpulkan menjadi beberapa buku. Buku pertama adalah Complications, kedua adalah Better, dan ketiga adalah Checklist Manifesto.
Ia menuliskan kisah-kisah tentang kecermatan, gagasan cemerlang, dan nilai-nilai berbuat benar dengan membawa pembacanya untuk hadir di silang sengkarut dunia kesehatan. Membawa mereka seakan-akan hadir di bangsal, kamar operasi, tenda medan perang di Irak, ruang bersalin di Boston, wabah polio di India, atau di dalam keresahan Gawande sendiri.

Gawande juga berkisah soal bagaimana dokter dan rekan-rekannya juga terlampau berpeluang berbuat salah. Ia menyigi bagaimana kesalahan maut bisa terjadi dan tenaga kesehatan dapat bertindak bodoh. Ia seakan memberikan pengingat, bahwa tenaga kesehatan “hanya” manusia.

Kisah dan gagasannya mungkin memberikan tamparan keras bagi mereka yang berkecimpung di dunia kesehatan. Beberapa bisa marah, beberapa bisa gelisah. Tapi Gawande bukan cuma mengomel. Ia juga mencatat dan menganalisa hal-hal apa yang menjadi dasar agar setiap tenaga kedokteran bisa berubah dengan penyimpangan positif.

Gawande memberikan gagasan bahwa untuk mengubah kapasitas tenaga kesehatan ke arah yang lebih baik, setidaknya perlu melakukan beberapa hal. Itu meliputi mengajukan pertanyaan, menghindari mengeluh, menghitung sesuatu yang dianggap menarik, menulis, dan yang paling akhir adalah berubah.

Sebab sebagaimana dibilang di awal tulisan ini, dunia kedokteran adalah dunia yang tidak akan pernah benar-benar selesai. Dunia kedokteran bergerak pada jalur yang terus berkutat dengan perbaikan-perbaikan dari masa ke masa. Algoritma berkali-kali direvisi, sistem berkali-kali diubah. Dan dari waktu ke waktu, dunia kedokteran juga sudah menyaksikan banyak gagasan buruk. Dulu, lobotomy frontal (pengangkatan lobus prefrontal otak) dilakukan hanya untuk mengendalikan rasa sakit kronis. Bahkan belakangan, Viagra pun berefek pada hilangnya sebagian penglihatan.

Semua boleh mengumpat. Bahwa dunia ini tidak adil, kacau, dan kerap membuat sakit hati. Kedokteran juga tidak lepas dari itu. Namun rasa-rasanya perlu disepakati, bahwa tidak akan ada pilihan yang selalu benar. Tapi ada cara-cara membuat pilihan kita menjadi lebih baik. Gawande telah memberi contoh.

Lebih jauh soal Gawande, silakan baca di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar