Mas Aji Prasetyo |
Seperti halnya suatu hari, saat saya menyempatkan diri datang ke kedai buku di Malang, menemui seorang teman sekaligus salah satu guru, mas Aji Prasetyo. Mas-mas cakep (setidaknya kata istrinya) ini, saya temui jauh-jauh dari Jember untuk sekedar emm..cangkruk.
Sempat menunggu sebentar di halaman parkir, saya langsung sumringah ketika dia datang bersama istri dan anaknya, mempersilahkan masuk dan menyiapkan proses cangkrukan. Saya tidak pernah bertemu dengan orang ini, kecuali sebatas ramah tamah di internet. Saya mengenalnya di laman blog lawas saya, tempat saya mengawali diri belajar berinteraksi menjadi netizen dan menggairahi anomali internet.
Sebagai orang yang tidak pernah sebelumnya, sikap mas Aji sangat ramah. Kami bicara banyak hal. Orang selalu suka bicara tentang dunianya. Kebetulan, saya dan mas Aji sama-sama menyukai dunia komik. Mas Aji malah pelaku aktif, tidak seperti saya yang cenderung pasif. Pasif pun angin-anginan. Yang sering sih tidak melakukan apa-apa. Pembicaraan semakin meluas dan melebar, mulai dari sejarah seni sampai wanita dan kegilaan laki-laki. Sesekali, sambil ngobrol, mas Aji menggesek biolanya, mengajari seorang "murid"nya yang lain.
Sampai kami bicara tentang pulang. Meminjam analogi burung yang keluar sepanjang hari dan kembali ke sarang saat senja meredup, barangkali demikian pula laku yang kita empu setiap hari. Bedanya, manusia adalah homo ludens sekaligus homo sapiens. Binatang yang senang bermain-main sekaligus bisa berpikir.
Maka setelah "bermain" seharian layaknya burung mencari makanan, maka manusia pulang ke sarangnya. Hanya saja, esensi homo sapiens dilupakan. Kita kerap lalai dan mengalokasikan diri untuk berpikir dan menanyakan pada diri sendiri,"Apa yang telah saya dapat?"
Bukan menyoal uang. Tapi perenungan mengkhidmati nilai-nilai yang kita temui sepanjang hari. Perenungan yang berujung pertanyaan-pertanyaan sebagai sebuah upaya pengakrab diri sendiri kerap kita lalaikan. Saya kira saya dan banyak orang lainnya, setiap hari seakan menjadi manusia yang serba otomatis. Bangun-bekerja sampai larut-bermain-pulang, dan begitu lagi. Seterusnya. Kerap lupa menziarahi ingatan sendiri, tentang apa yang kita temui sepanjang hari.
Maka tak ayal, kita semacam menjadi mesin di sebuah lajur gigantik bernama hidup. Rumah, selayaknya menjadi tempat kita kembali menjadi manusia setelah sebelumnya kita seharian entah menjadi apa.
Saya teringat seorang kawan yang naluri travelling pekat nian mengendap di darah mudanya. Ia yakin, bahwa ke mana pun kita berpetualang, keluarga adalah tempat kita kembali. Di sana kita selayaknya mengevaluasi diri, mengumpulkan remah-remah yang kita dapat tentang nilai-nilai kehidupan, mengendapkannya, lalu membaginya dengan orang-orang tercinta.
Perbincangan dengan Mas Aji mengingatkan saya tentang esensi berpulang. Setelah bermain-main di luar sarang, cangkruk'an, atau berlari-lari di sebuah trek panjang dan melelahkan bernama kebutuhan hidup.
Mas Aji telah mengantarkan saya pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar