Perubahan adalah abadi. Tak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri. Dunia kedokteran, termasuk unit gawat darurat di dalamnya, menerima term yang sama. Dari waktu ke waktu, beragam upaya pendekatan tatalaksana kasus dan upaya-upaya solutif terus dikembangkan untuk mencapai sasaran terbebasnya pasien dari kondisi fisiologis yang terancam.
Sistem boleh berkembang, algoritma silih berganti, pendekatan-pendekatan kasus diupayakan sepraktis mungkin. Tapi sikap juga tak kalah penting. Dan itu niscaya tetap, segiat apapun perubahan algoritma, sesering apapun rumusan diganti. Sikap berasal dari pemahaman-pemahaman mental yang cenderung filosofis. Tanpa pemahaman itu, rumusan akan tinggal rumusan, algoritma hanya akan tampak semacam alur tanpa guna, dan banyak pendekatan yang akan tampak sia-sia.
Tak ada sedikitpun niat saya untuk menggurui. Saya cuma mengingatkan diri sendiri. Ini semacam amsal buat saya sendiri. Menulis akan menajamkan ingatan, itu yang saya percaya. Dan inti blogging adalah berbagi. Jadi saya memperingatkan diri sendiri, sekaligus berbagi. Sekali tepuk, dua pantat..eh..dua lalat.
Ya, mereka yang berkutat di dunia gawat darurat selayaknya berangkat dari pemahaman sikap yang secara singkat yang jabarkan dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Percaya diri
Bagaimanapun, saat kita menangani kasus gawat darurat, pasien sudah sepenuhnya percaya pada kita. Mereka tak ada waktu, apalagi kekuatan untuk curiga pada kita. Tubuh mereka hanya akan berupaya bagaimana kebutuhan fisiologis mereka tidak terancam. Dan mereka menyerahkan itu semua ada kita. Sederhananya, jika kita tidak percaya pada kita sendiri, apa yang hendak kita berikan pada pasien?
2. Fokus
Kita tahu, bahwa dunia gawat darurat adalah dunia yang penuh tekanan. Tekanan yang hadir karena munculnya ancaman nyawa bagi pasien. Dan ancaman itu menular. Ancaman pasien adalah ancaman bagi kita. Kita butuh fokus saat menghadapi itu semua. Maka aturlah nafas kita, agar kita tetap fokus dan tenang. Ini serius.
Otak kita memiliki respon khusus terhadap ancaman yang hadir. Ketika ancaman hadir, maka otak akan mengaktivasi shortcut ke amygdala, bagian otak yang kerap pula disebut “otak purba”. Amygdala ini berkaitan dengan reaksi-reaksi primitif yang berhubungan dengan ketakutan, kecemasan, dan reaksi bertahan hidup. Ketika shortcut ini diaktifkan, maka terjadilah sebuah reaksi yang disebut sebagai “hijacking amygdala”. Ya, amygdala akan membajak fungsi cortex serebri (kulit otak) yang selama ini bertanggung jawab pada fungsi nalar dan pemahaman.
Hijacking amygdala akan membuat amygdala mendominasi respon otak, sehingga ketika ancaman itu hadir, kita merasakan “ketakutan” yang direpresentasikan dengan sikap tergopoh-gopoh dan sulitnya berpikir secara nalar sebab fungsi cortex serebri ditekan oleh amygdala. Dengan pengaturan nafas dan sikap rileksasi, dominasi amygdala akan menurun. Oksigen ke otak akan lebih banyak, sehingga respon tubuh alami berupa denyut jantung yang cepat (akibat neurotransmitter dopamin dan epinefrin saat amygdala mendominasi) bisa diturunkan. Turunnya denyut jantung akibat pasokan oksigen yang cukup ke otak akan meningkatkan kembali kinerja kulit otak. Kita lebih bisa berpikir logis dan sistematis dalam memberikan tata laksana ke pasien.
3. Bergerak seperlunya.
Dunia gawat darurat memang identik dengan kecepatan. Tapi kecepatan tidak cukup. Bisa jadi kecepatan adalah salah satu penyebab kegagalan. Yang utana bukanlah bergerak secepat ninja, apalagi secepat kilat. Kita butuh gerakan yang tidak mubazir, bergerak seperlunya. Dengan bergerak seperlunya, kita bisa mengalokasikan tenaga untuk tindakan lain. Bergerak seperlunya dengan hitungan detik yang sedikit lebih lambat jauh lebih baik daripada bergerak secepat kilat untuk hal-hal yang tidak perlu. Manfaat lain,pasien selamat, kita tidak capek.
4. Bekerjasama.
Dunia gawat darurat bukan dunia superman. Mereka yang berkutat di dunia gawat darurat adalah manusia biasa. Dengan kapasitas masing-masing, dengan kelemahan masing-masing. Sehebat apapun kita, tetap tidak pernah bisa bekerja sendirian. Banyaknya personil bukan jaminan. Yang penting kompak. Untuk pasien dengan kegawatdaruratan jantung, misalnya, saya pernah mencatat untuk keberhasilan kecil yang dialami saya dan teman-teman. Untuk kasus itu, setidaknya kita membutuhkan tiga personil yang bertanggung jawab pada perannya masing-masing. Satu fokus di airway dan breathing, satu lagi di kompresi jantung dan defibrilasi. Satu lagi fokus di pemberian obat-obatan penunjang.
5. Terus belajar
Dunia kedokteran, apapun cabangnya, adalah dunia long-life study. Masing-masing terus berbenah, mencari solusi di atas solusi dan bisa diterapkan secara praktis dan dievaluasi. Demi penanganan pasien yang optimal, demi peningkatan status kesehatan pasien yang lebih baik.
Memang, prinsip-prinsip dasar dalam pemahaman sikap untuk bertindak di unit gawat darurat dan keperawatan kritis terasa mudah diucap saja. Barangkali, sebagian dari mereka yang secara sengaja atau tidak mampir di halaman ini akan mencibir, bahwa apa yang saya tulis hanya sebatas bumbu-bumbu retoris.
Saya menghargai pikiran semacam itu. Tak ada yang bisa menghalangi laju pikiran. Yang jelas, apa yang saya tulis di sini adalah sebuah amsal pengingat bagi diri saya sendiri. Lalu saya bagi. Perkara siapapun menerima sebagai tulisan gombal yang tidak menyentuh ranah praktis, saya berterima kasih. Pada mereka yang mengambilnya sebagai pelajaran tanpa merasa digurui, saya malah ucapkan lebih banyak terima kasih.
Adil bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar