Selasa, 18 Oktober 2011

Pejuang Uzur Bernama Angkot


Saya kira, angkutan kota (angkot) dalam ragam variannya, adalah kendaraan yang sejatinya paling filosofis.
Betapa tidak, bermacam kepentingan bertemu, dalam satu ruang sesak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Anomali bertebaran di sepanjang tempat duduk yang karib dengan geser-geseran pantat. Pada ruangan sempit itu, doa lebih banyak digelar, sebab perjalanan yang diharapkan sebisa mungkin selamat.

Angkot berhenti dari satu tempat ke tempat lain, menikung tetiba dan mendadak oleh sebuah perintah sulap, "Kiri!". Di sana kita menyaksikan perpindahan tujuan, mengkhidmati bahwa perjalanan adalah perihal mutlak yang dilakukan setiap hari. Dalam sebuah kehidupan absurd bertajuk urban, angkot adalah potret unik dan mencolok di tengah gairah kota yang berderu, berkejar-kejaran, dan cenderung individual. Gairah yang berbeda  dengan angkot yang akrab dengan suasana kebersamaan. Belum lagi tagline "jauh dekat sama saja" yang terdengar begitu sedap di telinga dan teduh di hati (juga di kantong).

Maka setiap angkot selayaknya menjadi tempat yang nyaman. Dan tempat yang nyaman seharusnya mempunyai prasyarat yang enak dipandang, sebelum berpindah ke telaah aspek fungsional.
Tapi ternyata tidak, angkot sudah menjadi potret pejuang tua yang kalah dan penuh luka di sebuah pertarungan kolosal antar moda transportasi.Hampir setiap naik angkot, saya mendapati fisik angkot tak ubahnya perangkat yang sudah melewati perang dunia.
 
Tak hanya itu, ketika moda transportasi berkembang dengan menggilanya pemakaian dan produksi kendaraan pribadi, angkot sebagai sumber mata pencaharian juga memberikan masukan kantong yang memprihatinkan.
Saya pernah bertanya pada supir angkot, berapa setorannya per hari. "Sekitar 40-45 ribu, mas", kata sopir yang saya tanya. Pendapatan yang cukup mengerikan untuk ukuran kota sekecil Jember. Sedang peminat angkot semakin lama semakin menyurut.Angkot, perlahan-lahan mengalami nasib yang sama dengan becak, kendaraan favorit yang tiba-tiba digeser.

Entah, saya maupun supir angkot juga tak sepenuhnya paham kapan moda transportasi ini bertahan. Lambat laun ia akan serupa becak, yang punah digilas jaman. Kata Charles Darwin mungkin benar, bahwa mereka yang bertahan dalam sebuah evolusi, adalah mereka yang pandai menyesuaikan diri.

Angkot sudah terlalu lelah untuk sekedar menyesuaikan diri di tengah deru laju jaman. Moda transportasi massal, terutama di negeri ini, barangkali juga korban dari segelintir kepentingan korporasi dan kesepakatan yang menang sendiri.

Selanjutnya, kaum urban yang dipaksa berbenah sendiri. Yang tidak pandai menyesuaikan diri, yang tertinggal. Sebagaimana angkot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar