Buat saya, perang adalah salah satu kebodohan manusia yang terbesar. Banyak teori yang bersaling-silang, bahwa perang di berbagai belahan dunia adalah produk great design dari kaum-kaum tertentu. Silakan berteori lebih jauh, saya tidak ikut-ikut. Pikiran saya rasanya tidak sampai, selain tidak terlalu minat.
Saya lebih tertarik membicarakan sisi tragedi dan ironi dari kekonyolan bernama perang. Mungkin sebagaimana yang tertulis di buku yang memuat kumpulan surat ini. Buku ini saya review sekitar 3 tahun lalu. Sengaja saya suguhkan lagi. Toh, tidak basi.
Cinta di Tengah Kengerian Perang: Surat-surat Penghabisan dari Stalingard
"Apa yang kami dapat dari ini? Kami yang mendapat peran pelengkap penderita, figuran, dalam kegilaan yang menjelma dan menjadi-jadi ini? Hikmah apa yang kita petik dari gugurnya seorang pahlawan?" ( Surat Kesepuluh-halaman 25 )
Januari, medio 1943.
Tentara Jerman di bawah kekang kendali seorang mantan kopral dengan ide gila yang kemudian menjadi pimpinan tertinggi militer negaranya saat itu, Adolf Hitler, sedang terjebak di Stalingard. Hidup dan mati yang berbaur tipis, dalam pekat aroma ancaman serangan tentara Rusia.
Dalam suasana yang penuh tekanan, frustasi, dan ketidakberdayaan, para prajurit mencoba menyepuh kembali nurani mereka yang sempat terlupa dan terluka, dengan polesan cinta kasih kepada orang-orang terdekat mereka.
Dan kekuatan kata kembali menunjukkan sihirnya, menjelma menjadi jembatan yang begitu kokoh menghantarkan perasaan terdalam manusia-manusia malang, yang sedang meregang nyawa, dan berhitung dengan nasib. Perang boleh saja meluluhlantakkan raga, tapi cinta dan kasih selayaknya tetap terjaga. Begitu mungkin pikir mereka.Prajurit-prajurit Jerman itu pun mencoba mengirimkan surat-surat penghabisan mereka pada orang-orang yang mereka cintai. Ayah, Ibu, nenek, kekasih, saudara, dan sahabat.
Namun sayang, surat-surat tadi tersekap. Pimpinan rezim Nazi menyortir sekian surat yang hendak terkirim. Alamat dan nama tujuan dihilangkan. Para pimpinan tadi rupanya hendak meninjau moril pasukannya. Dan hasilnya membuat mereka tercengang. Para prajurit tadi rupanya tidak segarang konsep ras Arya yang mereka agung-agungkan. Mereka masih memelihara cinta, dan itu adalah tabu bagi perang. Surat-surat ini hanya masuk peti es.
Dari sekian surat yang tertahan tadi, terselamatkanlah tiga puluh sembilan surat yang terkumpul dalam buku ini. Kesemuanya mewakili kokohnya cinta dan kasih pada remah-remah peradaban yang remuk oleh tragedi akbar bernama perang dunia. Mewakili pula sekian bentuk kesaksian atas kepalsuan yang selama ini menutupi muka bopeng perang.
Betapa perang hanya upaya yang konyol, diiringi pula sekian hal yang konyol dan artifisial yang menghiasinya. Sekian lagu mars digubah, sekian monumen terpahat, dan sekian patung prajurit gagah terukir, mencoba merepresentasikan bahwa seolah-olah perang adalah upaya agung yang patut dirayakan dan diperingati. Air mata yang mengalir sedih diartikan sebagai air mata keharuan yang bercampur dengan kebanggaan akan perang.
Kematian di medan perang seakan begitu dramatik, begitu lirih, dan begitu menyentuh. Semua hal tadi seakan mengamini bahwa perang adalah upaya suci yang tidak sedikitpun menjejakkan cakarnya yang tajam, tidak menggoreskan luka dan kepedihan.
Kumpulan surat ini seakan menguliti tabir itu semua. Bagaimanapun, perang tetap akan selalu karib dengan rasa kehilangan ,teror, ketakutan dan tentunya maut yang pedih. Perang yang mereka tuturkan adalah manifestasi dari pengukuhan ego segelintir kalangan yang berebut kuasa. Dan mereka, para prajurit ini gugur sebagai martir sekaligus boneka.
Surat-surat yang mereka tulis sungguh menyentuh. Saat maut hanya sekian jengkal di sebelah mereka, mereka mencoba jujur pada diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai. Bukan pada nasionalisme yang semu, sikap patriotik yang nonsense, atau gaung retorika kepahlawanan yang angkuh. Mereka kembali pada ranah pribadi yang begitu intim dan hangat : nurani
Silakan simak bagaimana kepekaan prajurit itu dalam menggubah kata dan mengungkapkan perasaannya. Ada sebuah jeritan yang tertahan, tapi gaungnya menggedor-gedor hati, sebagaimana tercontoh oleh kutipan salah satu surat ini:
"Aku tidak lagi suka masuk angin dan bersin-bersin: itulah satu-satunya kebaikan yang diberikan padaku oleh perang ini. Ada lagi yang lain yaitu kesadaran bahwa aku mencintaimu. Aneh bahwa seseorang baru menghargai sesuatu ketika dia akan segera kehilangan sesuatu itu. Jarak yang bukan main dipendekkan dengan jembatan dari hati ke hati.
Selama ada pantai, akan selalu ada jembatan. Kita harus punya keberanian untuk meniti jembatan. Satu jembatan menuju padamu. Satu jembatan lagi menuju keabadian: pada ujung yang paling akhir keduanya sama saja buatku.
Besok pagi, kakiku akan segera menapaki jembatan penghabisan. Itu gaya bahasa untuk mengatakan mati, tapi seperti kau tahu, aku selalu senang mengungkapkan apa saja dengan kiasan, karena aku suka pada kata dan bunyi. Ulurkanlah tanganmu, agar penyeberangan ini tidak begitu berat bagiku."
( Surat Ketigapuluhdelapan-halaman 96 )
Sekumpulan surat ini adalah bantahan, terhadap mimpi konyol bahwa perang dan perebutan kuasa adalah upaya yang gagah berani dan penuh keagungan yang dapat memberikan perdamaian dan jalan keluar akhir. Perang barangkali bisa memusnahkan manusia, tapi tidak menghanguskan nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar