Ini salah satu tulisan review buku di saat awal-awal belajar me-review. Tulisan lama, hanya lahir lagi dengan sedikit polesan serta perasaan yang bercampur aduk; antara tidak punya rasa malu dan kurang kerjaan.
Bekicot.
Dalam segala bentuk transformasinya, cinta secara esensial memberikan peran sebagai salah satu faktor penting yang melandasi pembentukan sikap, karakter, serta perilaku manusia. Cinta yang mengalir tanpa pretensi adalah sumber motivasi yang tak akan habis dikuras ataupula letih digali. Ia adalah arus, sekaligus sumber energi. Sebagaimana iman, ia mampu menyeret perasaan bawah sadar manusia untuk mengolah kesadaran bertindak.
Sebagaimana yang terekam pula pada buku ini, yang merupakan memoar dari Shu Wen, seorang wanita heroik yang gigih berjuang mencari cinta sejatinya , suaminya, bernama Kenjun yang raib ditelan hamparan belantara Tibet yang ganas saat sedang berjuang bersama Tentara Pembebasan Rakyat.
Shu Wen dan Kenjun, sepasang pengantin muda , sama-sama berprofesi sebagai dokter spesialis, ditakdirkan berpisah saat Cina dan Tibet sedang meretas konflik. Dan Kenjun, atas nama kemanusiaan yang ia emban bersama nurani turut berjuang sembari mencoba menghapuskan batas tegas antara cinta dan kebencian yang tergores tebal oleh sebuah event besar bertajuk perang. Batas yang membuat Cina adalah ancaman bagi Tibet, begitupula sebaliknya.
Kenjun di kabarkan tewas tanpa mayat. Dan Shu Wen menolak percaya. Ia lalu berupaya mencari Kenjun. Tanpa takut, ia turut bergabung dengan program militer, Tentara Pembebasan Rakyat besutan pemerintah komunis Cina. Ia bahkan memilih bergabung dengan kesatuan yang dulu diikuti suaminya, guna mengikuti jejak yang ditinggalkan suaminya.
Belantara Tibet yang ganas hamparan salju yang menusuk tulang, serta serangan-serangan liar penduduk Tibet yang liar membuat Shu Wen terpisah dari kesatuannya, dan justru bertemu dengan Zhouma, seorang pribumi Tibet, yang mengantarkannya pada persahabatan dengan sebuah keluarga nomadik di pedalaman Tibet.
Persahabatan ini yang kemudian mengantarkannya pada situs Pemakaman Langit. Pemakaman khas suku pedalaman Tibet. Pemakaman jasad manusia dengan meletakannya di sebuah altar, untuk kemudian membiarkan alam yang mengeksekusinya, sebagai tanda bahwa alam memberikan restu pada kepergian roh menuju surga. Alam diwakili oleh sekumpulan burung nazar yang berkumpul mengerumuni jasad,lalu mengoyak dan mencabik-cabik jasad tersebut dengan paruh dan cakarnya yang tajam.
Selama hampir tigapuluh tahun, Shu Wen gigih tanpa menyerah mencari Kenjun, atau setidaknya keterangan tentang belahan hatinya itu. Hingga sebuah warta terkuak, bahwa Kenjun pernah turut serta dalam Pemakaman Langit. Bukan sebagai pemimpin upacara, tapi sebagai jasad yang teronggok tak berdaya dikoyak nazar. Ternyata Kenjun sudah gugur sekian tahun yang silam, dengan menjadi martir. Ia rela menukar nyawanya sendiri, asalkan penduduk Tibet dan Tentara Cina meredam dan menghapuskan konflik yang terjadi. Sebuah misi diplomasi dengan nyawa sebagai modal.
Ia gugur dengan meninggalkan sebuah catatan harian yang hendak diberikan kepada Shu Wen. Begitupun Shu Wen, ia hendak memberikan catatan hariannya kepada Kenjun bila suaminya itu masih hidup. Sebuah rekaman perjuangannya. Rekaman berupa catatan di sebuah buku usang dengan media tulis apapum Ia bahkan sempat menggunakan kerikil berwarna untuk menulis catatan harian tadi, sebab ia kesulitan mendapatkan grafit, apalagi tinta.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, tanpa diksi yang rumit, serta cara penyampaian pesan yang konsisten. Ditambah visualisasi yang memukau, membuat buku ini layak diapresiasi. Pesan yang disampaikan tidak dibuat samar, bahkan sangat tegas dan “telanjang”. Alurnya ritmis, penuh emosi, tapi tidak gampangan. Dialog-dialog yang disampaikan pun cerdas dan tanpa bermaksud memaksakan.Untuk ukuran buku terjemahan, buku ini sederhana, tapi cukup memukau. Penerjemah mampu menjembatani antara kondisi nyata pembaca, visualisasi mereka, serta setting yang dipaparkan penulis.
Pemilihan tema yang terkesan utopis mungkin membuat pembaca sedikit mencibir. Dan karena buku ini adalah bentuk memoar, unsur subjektifitasnya sangat tinggi.
Namun, selalu ada bukti, bahwa cinta semakin kokoh di atas tragedi. Jadi, maaf saja, buat anda yang tidak percaya kekuatan cinta dapat mengubah segalanya, termasuk mengubah diri anda sendiri, ada baiknya anda membaca buku ini
Tapi terjemahannya jelek. nggak suka.
BalasHapus