Kamis, 13 Oktober 2011

Ternyata Ada Sekolah yang Bukan Candu

Saya termasuk yang tidak percaya kemutlakan yang menjamin bahwa sekolah berbanding lurus dengan  pola pikir, tingkah laku, maupun kapasitas karakter seseorang.  Saya juga yang percaya bahwa sistem sekolah-terutama di negeri ini-adalah sistem yang tidak membebaskan, kalaupun tidak boleh dibilang membelenggu.

Alhasil, saya kerap mencibir manakala ada orang yang sekedar membanggakan sekolah, terlebih pada mereka yang menjadikan sekolah sebagai komiditi. Namun saya percaya, ada sistem yang berani melawan arus. Salah satunya Summerhill School, bentukan A.S. Neill (sama sekali bukan saudaranya A.S. Laksana, penulis kita itu).
Dulu saya pernah membaca buku tentang sekolah asyik ini, kemudian saya tulis review tentangnya. Setelah bebongkar sejenak, saya temukan arsip tulisan lawas ini. Syukur-syukur jika ada yang menemukan bukunya. Lebih-lebih andaikata sekolah macam ini menjamur di negeri ini. Setidak-setidaknya mereka membantu mengurangi saya mengumpat. Itu bisa menjadi amal baik.

Bekicot.

Tahun 1920, Kota Leiston, Suffolk, 160 km dari London.
Seorang pria berusia 37 tahun dengan ide-idenya yang radikal dan eksentrik, Alexander Sutherland Neill, membangun mimpi-mimpinya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan ( baca : sekolah ) yang memegang teguh prinsip kebebasan ( freedom ) dan pengelolaan diri ( self - government )
Ia membangun sekolah yang berjalan dengan sistem yang berorientasi pada prinsip kemandirian, keberanian, dan kasih sayang.
Sekolah yang pada mulanya berupa sebuah rumah di atas bukit (hill) di Lyme Rigs itu ia beri nama Summerhill.
         

Sekian tahun berjalan, sistem pendidikan di sekolah itu mencuri perhatian dunia edukasi internasional. Sebagian khalayak tercengang, sebagian yang lain memilih untuk mencibir, bahkan mengutuknya.
Wajar saja respon semacam itu timbul. Betapa tidak, sekolah ini benar-benar aneh. Tidak ada aturan sama sekali di sekolah ini. Semuanya bebas. Siswa-siswinya benar-benar dipersilakan untuk mengikuti pelajaran sesuka hati.Sekali lagi, bebas.

Para siswa juga hampir tidak pernah memanggil guru mereka dengan sebutan "pak" atau "bu". Bila mereka bernama George, maka para siswa pun "hanya" akan memanggil "George" saja. Tidak lebih. Tak ambil peduli sejauh apapun rentang jarak di antara mereka.
Para guru pun bertingkah tak kalah eksentriknya. Mereka tidak pernah ambil pusing soal gengsi dan harga diri yang semu. Bagi mereka, harga diri mereka adalah saat mereka mampu berperan sebagai katalisator proses belajar siswa secara utuh dan tidak partial.

Satu kekuatan "hukum" yang berlaku di Summerhill adalah hasil keputusan rapat setiap akhir pekan. Mereka memberi nama forum itu "Rapat Umum". Di rapat ini, berbagai permasalahan di kalangan elemen sekolah dikupas, dan dicarikan solusi yang wajib dilaksanakan. Dan semua orang dalam rapat ini punya hak suara yang sama. Tidak peduli apapun. Dari mereka yang masih berumur delapan tahun, sampai Neill, sang kepala sekolah, punya hak suara yang tidak berbeda sedikitpun. Rapat Umum dipimpin oleh seorang pimpinan rapat secara bergantian setiap minggu. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama. Sekali lagi, tidak ada yang dibedakan. Sedikitpun.

Kebebasan ini ternyata justru tidak menimbulkan kekacauan. Bahkan, sebagaimana tertutur di buku ini, tidak ada perselisihan yang berarti di antara kalangan siswa maupun pendidiknya. Apalagi pertikaian secara fisik, tidak ada.

Sebab, egoisme yang berlaku di Summerhill ada model egoisme timbal balik. Sederhananya begini, " saya tidak mau privasi saya diganggu, maka saya pun akan menghormati privasi murid yang lain."

Kendati terkesan urakan, di sekolah ini, budaya saling menghormati dan tanggung jawab tumbuh begitu lebat. Neill, sang kepala sekolah, pernah diusir dari pesta ulang tahun muridnya yang belum genap sepuluh tahun , karena memang Neill tidak diundang. Dan Neill pun tak jarang mengusir dengan marah  mereka yang masuk ruangannya tanpa ijin.

Anak-anak Summerhill tak perlui diceramahi ihwal tata krama dan norma-norma. Secara tidak langsung, hal itu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tak perlu diceramahi ihwal toleransi sosial, sebab mereka hidup dalam sejenis keluarga besar multiras.

Bukan berarti karena bebas, sekolah ini menomorduakan atau menomorsekiankan esensi kasih sayang. Sebaliknya, suasana penuh aroma kasih sayang bertaburan di sekolah ini.
Bagi Neill, tidak ada satu pun anak yang jahat. Ketakutan, teror, serta intimidasi yang dilakukan oleh orang tua, sekolah, bahkan "kerjasama" di antara keduanya yang membuat kondisi demikian.

Menurutnya, tugas anak adalah melakoni hidupnya dengan kehidupannya sendiri, bukan dengan kehidupan orang tuanya yang cemas, mesti dijalani dengan terpaksa, atau menurut ahli pendidikan yang menujum apa yang terbaik bagi anak kelak. Baginya, cara-cara seperti itu hanya akan menghasilkan generasi robot yang tidak percaya hati mereka sendiri.

Buku ini menarik.Kita akan diajak menelusuri pola pikir A.S Neill. yang unik, menggelitik , dan mau tidak mau membuat kita mengakui kebenaran pesan yang ia sampaikan. Dikemas secara naratif, membuatnya tidak membosankan, berbeda dari buku-buku sejenis yang membosankan, melangit-langit dan kerap terkesan menggurui.

Kita akan diajak menapaki ragam pola pikir alternatif yang membebaskan dalam wacana pendidikan. Sekaligus menapaki kebenaran bahwa semangat, cinta dan kasih sayang -selalu saja- memberikan jalan keluar yang mencerahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar