Kamis, 03 November 2011

Antara Wenger, Van Persie, dan Amunisi Bernama Ambisi

Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experiences of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired and success achieved                                                                                                                        -Hellen Keller
Tak ada yang menampik bahwa Arsene Wenger adalah salah satu pelatih sepakbola terbaik di dunia. Ia dikenal cerdik, jenius bahkan. Sehingga ketika label "The Professor" disematkan padanya pun tak ada yang memberi protes. Pengakuan akan kecemerlangan Wenger sebagai seorang manajer  tetap datang dari banyak sisi. Barangkali ini berkat kegilaan Wenger terhadap statistik.

Namun Wenger juga dikenal sebagai sosok yang keras kepala. Wenger tetap ngeyel dengan kebijakan pengembangan pemain muda yang cenderung belum matang, di saat pelatih-pelatih di ranah Britania berhati-hati pada pola yang sama. Wenger seakan lebih mementingkan predikat Arsenal sebagai penghasil bibit calon pemain yang kelak ramai dan mahal di bursa transfer, ketimbang membangun kekuatan Arsenal sebagai tim yang haus gelar dan lapar juara. Dulu, Wenger juga yang ngotot dalam membangun dan mengembangkan stadion Emirates, sebagai simbol hegemoni sebuah klub bertradisi kuat macam Arsenal. Menurut Wenger, stadion adalah simbol kebesaran klub sekaligus garansi masa depan sebuah klub.

Sikap Wenger yang dikenal keras kepala kerap berbalik menjadi kelemahannya. Kebijakan Wenger untuk memakai pemain-pemain muda membuat Arsenal nihil gelar dalam beberapa tahun terakhir. Sebagaimana kita tahu, Wenger membuat aturan tak tertulis tentang  patokan umur pemain yang berkiprah di Arsenal. Tak ada yang melewati usia 32-33 tahun. Angka-angka itu berarti tamat bagi seorang pemain yang berkarier di Arsenal, kecuali bagi sosok-sosk ikonik macam Tony Adams dan Dennis Bergkamp.

Wenger juga keras kepala dalam membimbing anak asuhnya membangun performa. Baik, dia memang jenius, gila statistik, mengerti banyak soal taktik (kendati ia bukan ahli meramunya),  tapi dia kurang ambisius. Ia sosok yang cukup puas ketika anak-anak muda binaannya cukup mampu bermain bagus, memikat, dan kelak bisa dijual. Mungkin pertandingan bagi Wenger adalah etalase untuk anak buahnya. Dan sayangnya tidak  memberikan gelar juara.

 Wenger pernah membela Thiery Henry semasa legiun Perancis itu menjadi kapten. Sebagai sosok kapten, Henry dikenal kurang ambisius sebagaimana Arsene, kurang garang, kurang berkarakter pemimpin, kurang berani membela timnya. Dulu, ketika Aleksandr Hleb dijegal begitu keras oleh John Spector  dari West Ham, Henry sebagai kapten cuma diam di lapangan. Tak ada protes, tak ada upaya pembelaan, saat wasit Rob Styles dengan enteng mengaku tidak melihatnya. Bagaimanapun, kapten adalah sosok representatif dari pemikiran seorang pelatih. Henry, yang di biografi Arsene Wenger dijuluki "Mahatma Gandhi" , adalah Arsene Wenger itu sendiri. Mereka sepasang pelatih balet-balerina yang asyik dengan musik yang membius, tapi tidak menyemangati.

Sekarang, adalah era Van Persie. Ia  tampil sebagai sosok baru. Ia digadang-gadang  sebagai pengganti  Bergkamp. Ruud Gullit menyebutnya semacam Van Basten yang lahir kembali. Ia adalah calon legenda baru Arsenal. Ia diharapkan seestetis dan seproduktif Henry dalam urusan mencetak gol. Tapi juga diharapkan gagah dan disegani kawan dan lawan layaknya Patrick Viera, bukan layaknya Henry.

Van Persie memang seniman muda lapangan hijau. Barangkali ia mewarisi bakat seni dari bapak-ibunya yang pelukis dan pematung. Di lapangan, Van Persie dikenal memiliki gerakan yang menipu. Ia lembut, estetis, tapi sekaligus efektif dan mematikan. Mirip Marco Van Basten,  sebagaimana dibilang Gullit.

Van Persie layaknya balerina, dan Wenger adalah koreografer. Henry dulu memang dikenal balerina pula dan Wenger klop dengan Henry. Mereka adalah sepasang koreografer-balerina yang merasa memiliki panggung sendiri, namun seoalah abai pada kemenangan dan tradisi juara sebuah tim.
Van Persie lain, ia adalah balerina yang memegang senapan dengan pelatuk yang tertarik. Ia bukan sekedar menampilkan permainan yang baik, tapi tahu bagaimana menyimpan ambisi.  Ia cukup mengerti bahwa ambisi adalah amunisi.
 
Ia berani berduel, berani melawan ketika terintimidasi oleh lawan, berani membela rekan satu timnya ketika ada pertengkaran. Seorang kapten memang harusnya demikian. Pekan kemarin, saat melumat Chelsea di Stamford Bridge, ia sempat diprovokasi oleh Brainslav Ivanovic. Tapi Captain Robin tidak seperti Henry yang terlalu santun, ia tidak cengengesan, bahkan tetap garang.

Maka musim ini selayaknya menjadi sebuah babak baru bagi Arsenal. Terlebih untuk dua orang komandan, Arsene Wenger-Van Persie. Terlalu dini memang menaruh ekspektasi berlebih pada Si London Utara.  Apalagi mengingat posisi Arsenal baik di liga domestik maupun di liga Champion yang masih belum bisa dibilang melegakan.

Tapi sepakbola juga menyoal kebanggaan. Menyoal bagaimana sebuah tim menyimpan ambisi dan memperjuangkannya. Menyoal bagaimana seorang pelatih menanam visi untuk merebut juara. Menyoal bagaimana seorang kapten berani memimpin dan membela  timnya. Bukan hanya melulu soal industri dan jual-beli yang riuh pekak dan kadang kala gila.

Jika benar setiap zaman memiliki zeitgeist sendiri, maka Arsene Wenger harus mengerti. Bahwa ini saat yang tepat buat meriam-meriam muda, yang  sudah terlalu lama menunggu untuk meledakkan ambisi mereka demi gelar juara. Dan untuk itu, Wenger harus mengganti keegoisannya. Ini juga semacam pertaruhan bagi Van Persie. Ia bakal dikenang sebagai legenda Arsenal yang berani dan membanggakan. Atau justru disingkirkan Wenger karena daya jual yang terlalu memikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar