Minggu, 09 Oktober 2011

Nyanyian Panjang Bernama Sepakbola

Membicarakan sepakbola hampir mirip dengan membicarakan musik. Keduanya sama-sama tidak akan sampai di sebuah titik bernama usai. Selalu tersedia banyak hal yang menyisakan ruang untuk disimak dan ditilik, mulai dari perdebatan siapa pencipta awal keduanya sampai warna-warni yang menghiasi perjalanan dua hal ini dalam sepanjang perjalanan mereka di sebuah lajur panjang bernama peradaban manusia.


Sebab musik dan sepakbola memiliki banyak kecenderungan yang sama. Keduanya adalah hasil konsepsi budaya massa, memiliki unsur histeria, euforia, chaos, bahkan kegilaan. Penggila musik dan penggila bola sama gilanya.

Dari segi permainan, keduanya juga menyimpan banyak kesamaan. Sama-sama memerlukan penguasaan teknik, kerjasama, tempo, irama dan struktur. Lebih jauh soal ini, Giovanni Trappatoni, pelatih kharismatik asal Italia yang terkenal akan caranya bersuit pernah mengungkapkan, ” Saya percaya, melalui musik, saya belajar menjadi pemain bola sekaligus menjadi manusia”.

Memang, sepakbola tak ubahnya sebuah lagu yang memerlukan kepekaan irama, pengolahan tempo, dan harmoni. Sepakbola adalah sebuah lagu. Sepakbola adalah nyanyian panjang yang tak akan usai dinyanyikan.
Kemiripan-kemiripan yang timbul membuat penggila musik bisa mejadi penggila bola, atau mungkin sebaliknya. Tak menutup kemungkinan, pemain musik memiliki kecintaan yang sama terhadap bola, dan pemain bola memiliki kecintaan yang sama terhadap musik.

Silakan simak Robert Nesta Marley. Nabi kaum Rastafarian yang lebih dikenal dengan nama Bob Marley ini adalah penggila bola. Tak hanya sekedar menggilai, Marley juga dikenal sebagai pemain yang handal. Posisi favoritnya adalah gelandang. Klub favoritnya adalah Santos. Dan pemain favoritnya adalah Edson Arantes Do Nascimento alias Pele.

Terkait kecintaannya terhadap sepakbola dan semangat kebebasan yang diusung oleh caranya bermusik, Bob Marley pernah berwejang,”Sepakbola adalah keseluruhan keterampilan diri. Seluruh dunia, seluruh alam semesta, saya menyukainya karena Anda harus terampil untuk memainkannya. Dan kebebasan, sepakbola adalah kebebasan”. Bahkan ketika Marley meninggal dunia, bola sepak yang biasa dimainkannya turut menemani jasadnya di liang lahat. Bola itu masuk kuburnya, menemaninya bersama cincin Lion of Judah, Alkitab, dan sebuah gitar Gibson Les Paul kesayangannya.

The Beatles, legenda dari kota Liverpool juga memiliki penggila bola fanatik. Sir  Paul Mc Cartney  dikenal sebagai sosok Liverpudlian. Bahkan rumornya, John Lennon juga seorang pengggemar Liverpool. Liverpool pernah bertandang ke Italia untuk melawan Napoli beberapa waktu silam. Mau tahu siapa pilot yang mengantarkan The Reds? Ia adalah Bruce Dickinson, vokalis band heavy metal veteran asal Inggris, Iron Maiden.

Mari meloncat ke sisi yang lain. Pemain dan pelatih sepakbola pun banyak yang menjadikan musik sebagai bagian erat dari kehidupan mereka sebagai pesepakbola. Hidetoshi Nakata, pemain Jepang pertama yang sukses di Seri  A Italia, mempunyai kebiasaan unik sebelum bertanding. Ia kerap memasang earphone dan mendengarkan lagu-lagu kesukaannya sebelum turun ke lapangan. “Itu membuat saya rileks di lapangan,” katanya.

Lionel Messi juga dikenal memiliki kebiasaan yang sama. Ia sering mendengarkan lagu dari grup band Oasis,  yang dibentuk oleh Liam dan Noel Gallagher itu. Messi dipengaruhi oleh teman satu timnya di timnas Argentina, Carlos Tevez, yang memeperkuat Manchester City. Bukan rahasia lagi memang, Oasis dikenal sebagai pendukung fanatik Manchester City.

Jose Mourinho, pelatih arogan sekaligus cerdas nan kontroversial, juga seorang penikmat musik .
Musisi favoritnya, Pink Floyd. Kata Mourinho,”Saya suka semua lagu di album The Dark Side of The Moon“.
Guus Hiddink juga demikian. Ia penikmat musik klasik. Ketika masih menukangi Rusia, timnya sempat dihantam telak oleh Spanyol di Piala Eropa 2008. Alih-alih meratapi terlalu jauh, Hiddink mengajak anak asuhnya wisata musik di kota Salzburg, kota musikus legendaris Wolfgang Amadeus Mozart. Hiddink juga membuat ungkapan dengan bahasa musik menanggapi kekalahan timnya dari Spanyol. “Melawan Spanyol, sebenarnya kami memainkan musik yang indah. Namun pada akhirnya kami tenggelam karena kami memainkan nada-nada sumbang”.

Sepakbola dan musik sama-sama menjadi bahasa universal. Bahasa tanpa terjemah yang bisa dipahami semua populasi di muka bumi. Karena sifatnya yang multilingual ini, banyak yang memanfaatkannya untuk tendensi lain. Politik misalnya. Sebagai pekerjaan tertua sepanjang peradaban manusia (selain pelacur), politikus paham bahwa sepakbola dan musik adalah komoditas yang seksi. Lalu beramai-ramailah kaum politikus menempuh cara menggunakan sepakbola dan musik sebagai alat politik yang ampuh.

Pikat sepakbola dan musik  tak hanya berkutat di ranah  kecenderungan filosofisnya, namun juga kompensasi yang lahir profesionalisme yang mengolah keduanya: uang, popularitas, dan kekayaan. Kompensasi-kompensasi inilah yang membuat industri sepakbola maupun industri musik tumbuh gagah, kokoh, sekaligus menggurita.

Impian merubah nasib melalui sepakbola dan musik telah menggairahi banyak anak muda di pelbagai belahan dunia. Ini lalu berkembang dengan munculnya orang-orang yang menamai diri sebagai pemandu bakat atau produser yang menebar janji dan rayuan yang membius.

 Nick Hornby, sastrawan Australia yang menggilai Arsenal, dalam bukunya yang best-seller, Fever Pitch, mengemukakan bahwa terjadi metafora berlebihan pada nilai-nilai sepakbola.

“Umumnya, tren sepakbola dikiaskan dengan keindahan, lompatan ambisi, gambaran apa itu sepakbola, sistem global atau setidaknya obsesi budaya dan cacat sejarah negara tertentu,” jelasnya.

Sama halnya dengan pelaku musik yang mengamen, latihan dari studio ke studio, dari gigs ke gigs, di Inggris dalam setiap musim transfer terdapat sekitar 70.000 pemain bola  muda mempertaruhkan masa depannya. Magang di klub, sembari berharap mimpi menjadi The Next Wayne Rooney menjadi nyata.

Bukan berarti memukul rata, namun yang jelas musik dan sepakbola sama-sama mengajarkan hidup sebagai sebuah pertaruhan.  Mereka bekerja keras melawan probabilitas untuk mencapai impian. Itu gejala yang wajar. Setidaknya menurut Sutan Sjahrir, bukankah hidup yang tidak dipertaruhkan bukanlah hidup yang tak mungkin dimenangkan? Tapi selayaknya pukau musik dan sepakbola ini harus disikapi dengan tetap melihat bahwa keduanya tak menghasilkan sesuatu yang tiba-tiba. Keajaiban juga butuh proses.

Jadi kira-kira, lebih menarik mana menjadi pemain bola hebat atau pemusik top? Entahlah. Yang jelas, pemain bola memiliki track karier yang pendek. Beda halnya dengan karier pemusik yang cenderung panjang.
Sebagai bandingan, Mick Jagger adalah contoh yang ideal. Usianya hanya lebih muda dua tahun dibanding manajer abadi MU, Alex Ferguson. Bedanya, Mick masih aktif sebagai pemusik. Ia sempat sewot saat ada yang bilang Rolling Stones sudah tidak eksis. Fergie? Ia sudah berhenti menjadi pesepakbola di usia muda. Karier emasnya hanya saat menjadi pelatih dan manajer tim.

Silakan cari contoh lain. Tak ada pesepakbola yang sukses mencapai titik angka 40 dengan karier yang masih cemerlang, atau setidaknya skill yang masih yahud. Kalaupun terdapat anomali, itu adalah minoritas. Paling-paling Dino Zoff, kiper legendaris Italia. Bandingkan dengan Ian Antono ataupun Bono U2 ketika di usia yang sama.

Aspek yang paling utama menjadi alasan adalah fisik. Bermain bola memang menyodorkan kekuatan fisik sebagai pra syarat penting. Musik tidak demikian. Jingkrak-jingkrak di panggung masih kalah di banding berlari diterjang tackling di lapangan.

Yang jelas, peradaban manusia berhutang budi pada musik dan sepakbola. Keduanya menciptakan jejak langkah yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas, baik maupun buruk. Kata filsuf Perancis, Albert Camus,” Apapun yang saya ketahui soal moralitas, saya berhutang pada sepakbola”. Camus, mungkin sering merenung di lapangan, mengingat posisinya semasa bermain bola adalah penjaga gawang. Musik? Sudah terlalu banyak lagu yang mengubah dunia. Setidaknya omongan Bono U2 benar,”Musik dapat mengubah dunia, karena musik dapat mengubah manusia”.

Meskipun tidak bisa dipungkiri juga, kegilaan yang hadir karena sepakbola maupun musik juga menitikkan noda hitam dan korban. Setidaknya, silakan bertanya pada arwah Andreas Escobar sebagai wakil dari sepakbola, dan John Lennon sebagai wakil dari musik. Keduanya tewas karena kegilaan dari pecinta sepakbola dan musik.

Apapun kisah kelam yang menyelimutinya, sepakbola akan tetap menjadi nyanyian panjang yang akan terus disenandungkan. Ia adalah lagu panjang yang tidak akan usai dinyanyikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar