“Mas Sabrang, dari tadi Anda bicara soal teori terus. Kenapa tidak bicara soal teori konspirasi? Padahal itu seringkali dibicarakan,” kurang lebih demikian tanya pemuda itu.
Sabrang menanggapi pertanyaan itu dengan raut muka yang tenang, lalu membalas
pemuda itu dengan pertanyaan.
“Anda pernah merencanakan sesuatu?” tanya Sabrang.
“Pernah,”
pemuda itu menjawab.
“Selalu
terwujud? Atau kadang-kadang ada yang meleset?”
“Tidak
selalu terwujud. Ada yang meleset.”
“Itulah
teori konspirasi. Untuk sebuah hal kecil saja, ada kemungkinan-kemungkinan yang
bisa membuat sebuah rencana akan meleset. Apalagi untuk sebuah hal besar, yang
melibatkan organisasi besar, apa iya selalu mulus sesuai dengan rencana?” kata
Sabrang.
Sabrang
lantas menambahi, “Saya kasih contoh lagi. Kasus Watergate, misalnya. Itu konspirasi
yang hanya melibatkan hanya 9 orang. Bocor. Apalagi teori konspirasi yang melibatkan
ribuan orang. Teori bumi datar misalnya. Beri saya teori soal bumi datar, saya
bisa menyanggah semuanya.”
Yang
dimaksud Sabrang adalah skandal politik di Amerika Serikat di tahun 1974 yang
berbuntut kepada pemakzulan Presiden Nixon.
“Teori
konspirasi itu anggap saja menikmati sebuah karya fiksi. Cukup dibaca dan
dinikmati saja, tidak usah dianggap serius. Jaman saya masih seumuran sampeyan,
saya juga sama. Tertarik dengan banyak teori konspirasi, terlibat di banyak
forum di internet, bahkan sampai masuk di semacam deep web. Tapi lama-lama saya
menganggap itu hal yang tidak perlu. Bahwa sebagian ada yang benar, ya memang
iya, Tapi banyak melesetnya. Lagipula, terus mau apa?,” imbuh Sabrang panjang
lebar.
Tentu
saja, teori konspirasi yang dimaksud oleh pemuda yang bertanya tadi adalah
teori bahwa ada sekumpulan elit global yang mengendalikan dunia dan seisinya
dengan megasistem yang berkelindan rapi, penuh skandal, intrik dan muslihat,
dan menjadikan sekian milyar manusia tak ubahnya bidak catur yang digunakan
untuk sekumpulan tujuan tertentu.
Produknya
banyak. Mulai bumi datar, hingga tentu saja, COVID-19. Sabrang sepakat bahwa
dalam teori konspirasi, jurus yang paling sering dipakai adalah cherry
picking. Memetik buah cherry. Mengambil bagian kecil yang dianggap cocok,
tapi mengabaikan bagian lain yang lebih besar.
Sabrang
lalu menambahkan lagi.
“Saya
punya teori. Namanya teori 3 lingkaran. Lingkaran pertama adalah hal-hal yang
dalam kendalimu. Fokuslah di sana. Lingkaran kedua adalah hal-hal yang bisa kamu
intervensi, tapi tidak mengendalikannya. Jangan terlalu fokus di sana. Lingkaran ketiga adalah hal yang tidak bisa
kamu kendalikan, juga tidak bisa kamu intervensi. Tidak usah kamu fokus ke sana”
Sabrang
berusaha menyederhanakan lagi dengan membuat analogi.
“Gampangnya,
ibaratnya lingkaran pertama adalah kamu sedang naik motor. Lingkaran kedua
adalah kamu sedang naik motor tapi berboncengan dengan temanmu dan dia yang
menyetir. Lingkaran ketiga adalah kamu melihat motor lain di sekitarmu”.
Mungkin
Sabrang memang benar dalam hal ini. Kita—apalagi saya, kadang-kadang sering
salah menata fokus. Kurang menyadari bahwa energi dan waktu adalah sumber daya
kita yang terbatas, dan bisa habis. Maka menaruh sumber daya energi dan waktu sebagai
bahan bakar fokus kita dalam menjalani hidup, adalah persoalan penting.
Saya
teringat cerita dari Baker Street 221 B. Suatu ketika, John Watson kaget saat mendapati
bahwa kompatriotnya yang jenius, Sherlock Holmes, ternyata tidak tahu apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya. Agak aneh, mengingat reputasi Holmes
sebagai detektif paling pintar.
“Apa
pengaruhnya buatku bila bumi ternyata benar mengelilingi matahari, atau justru
sebaliknya?” kata Holmes, sambil melanjutkan kegiatannya mempelajari kasus
kejahatan.
Di
akhir diskusi, Sabrang menutup dengan memberi analogi sekali lagi.
“Dalam
hidup ini, terhadap hal-hal yang datang ke kita, ada tiga buah kotak. Kotak pertama adalah
kotak percaya. Kotak kedua adalah kotak tidak percaya. Yang ketiga adalah kotak
tidak tahu. Kita harus bijak menggunakan kotak yang ketiga. Sekarang, orang
sangat jarang menggunakan kotak ini, karena orang hanya sibuk memilih antara
percaya atau tidak percaya saja. Padahal, tidak masalah menjadi orang yang
tidak tahu.”
Memang,
di era informasi yang membanjir ini, kita sering terjebak pada hasrat untuk menjadi
paling tahu, lalu memutuskan percaya atau tidak, sambil kadang sesekali
mengadili pilihan orang lain. Padahal ada pilihan yang bisa kita ambil untuk menjadi
tidak tahu, sambil terus berjalan, menikmati hidup dengan kesadaran.
Casino at Wildhorse Hotel & Casino - Mapyro
BalasHapusThe casino at Wildhorse Hotel & Casino 울산광역 출장마사지 is located on the Las Vegas Strip, a 세종특별자치 출장샵 5-minute walk from 남원 출장샵 downtown 속초 출장마사지 Las Vegas. The casino features a 25 table 부산광역 출장마사지