Selasa, 29 Desember 2020

Mengenang Gus Dur

 


 

Ujung Desember adalah ingatan tentang Gus Dur.

Setidaknya itu yang diakui oleh Dedi Yuliardi Ashadi. Bermula dari kejadian di Desember tahun 2009, yang sempat membuatnya menggerutu. Akhir tahun yang biasanya identik dengan tawaran job yang deras, kala itu tak terjadi. Ia sedikit heran dengan pola yang tidak biasanya.

Dedi Yuliardi memang bekerja sebagai entertainer. Biasanya akhir tahun, ia sering mendapat jadwal mengisi acara hiburan, termasuk di layar televisi. Namun Desember di tahun 2009 memiliki cerita yang berbeda.

Sampai akhirnya ia mendengar sebuah berita duka: Gus Dur berpulang.

Setelah merenung, ia lalu mencoba menyadari dan mengambil hikmah. Barangkali tawaran job yang sepi, membuatnya justru bisa menghadiri pemakaman Gus Dur. Ia membayangkan, bila sudah meneken kontrak dengan banyak acara di akhir tahun, mungkin menyulitkannya untuk datang ke pemakaman Gus Dur. Bila ia melanggar klausul profesional yang disepakati, kemungkinan besar berimbas kepada kredibilitasnya.

Tak buang waktu, begitu mendengar kabar Gus Dur wafat dan dimakamkan di Jombang, ia bersama rombongan memesan pesawat dan segera bertolak agar tidak ketinggalan prosesi pemakaman.

Dedi Yuliardi Ashadi, memang punya “hutang” kepada Gus Dur. Gus Dur pernah membela dan membesarkan hatinya saat ia dirundung banyak orang.

Penyebabnya, keputusan besar Dedi untuk melakukan operasi kelamin. Orang-orang jarang yang mengenali nama Dedi Yuliardi Ashadi. Ia jauh lebih dikenal di dunia hiburan dengan nama Dorce Gamalama.

Tentu saja bukan hanya Dorce Gamalama yang setiap Desember teringat Gus Dur. Mungkin juga Inul Daratista, biduan dangdut dari Pasuruan juga pernah dibela Gus Dur saat ia berkonflik dengan Rhoma Irama, soal polemik goyang ngebor  yang dianggap menodai martabat musik dangdut. 

Selain mereka ada jutaan orang lain yang selalu mengingat Gus Dur, entah sebagai pribadi, entah karena banyak “warisan” yang ia tinggalkan sebelum beliau wafat.

Gus Dur juga  merupakan salah satu motor pemikiran Islam di Indonesia yang akrab dengan corak humanis, tidak tercerai dari khazanah kelokalan, dan  selalu aktual.

Dari dimensi-dimensi itu saja, banyak hal yang menarik dibicarakan dan mengandung banyak hikmah. Di sisi lainnya, Gus Dur juga sering dianggap sebagai sosok yang paling sering disalahpahami. Banyak orang dianggap terlalu mengkultuskannya. Alasannya,  ucapannya yang serasa main-main, sering menjadi kenyataan, bahkan masih relevan dengan masa sekarang.

Menariknya, Gus Dur adalah tokoh di Indonesia—selain Soekarno, yang paling banyak divisualisasikan. Ia banyak dihadirkan secara visual dengan beragam media. Dari kaos hingga patung. Visualisasi soal Gus Dur juga kerap dihadirkan sebagai simbol dari “keagungan” lain. Gus Dur sering divisualisasikan dalam bentuk karya seni rupa sebagai wali, Semar, bahkan Budha.

Tentu saja kontroversial. Namun andaikata dipolemikkan, saya percaya Gus Dur menyikapinya dengan kalem dan tenang, lalu mengeluarkan celotehan yang menjadi trade mark-nya: “Gitu aja kok repot.”

Kendati diakui sebagai sosok yang sarat kelebihan dan previlege, tak lantas  membuat perjalanan hidup Gus Dur mulus-mulus saja. Sebaliknya, Gus Dur adalah paradoks keberhasilan. Ia memiliki banyak “kegagalan” dalam hidupnya, namun berhasil menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah republik ini.

Gus Dur memang lahir sebagai anak dari mantan Menteri Agama dan cucu dari hadratus syeikh Hasyim Asyari, pendiri organisasi Islam terbesar di negeri ini. Tak hanya itu, konon darah leluhurnya sampai pada Brawijaya V.

Gus Dur tumbuh sebagai pemuda yang rakus bacaan. Ia membaca banyak buku, terutama buku-buku sastra asing. Karya-karya sastrawan dunia macam Ernest Hemingway, Edgar Allan Poe, John Donne, Andre Girde, Kafka, Tolstoy,  sudah ia mamah sedari belia. Ia juga menggandrungi musik klasik, film, dan sepakbola.  Tulisan Gus Dur soal budaya populer ini menarik, kerap ditunggu, dan tersebar di mana-mana.

Namun minat dan kedalaman Gus Dur pada budaya populer ini tidak menghalangi pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren. Kendati efeknya, Gus Dur “gagal” menyelesaikan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Mesir.

“Kuliah di Al-Azhar lebih banyak mengulang materi yang sudah diajarkan di pesantren,” kata Gus Dur. Gus Dur akhirnya lebih banyak menonton film dan memperluas bacaannya semasa di Mesir. Akhirnya,  kuliahnya justru tidak selesai.

Kegagalan lainnya saat ia tidak lulus seleksi untuk kuliah di Kanada. Tak hanya itu, Gus Dur juga “gagal” sebagai dekan di Universitas Hasyim Asyari. Ia bahkan diturunkan dari posisi dekan sebuah intitusi pendidikan yang menggunakan nama kakeknya.

Sebagai presiden, Gus Dur juga “gagal”, walau banyak sekali meninggalkan warisan berharga bagi negeri ini dengan keputusan sarat risiko yang ia buat. Menjabat sebagai presiden keempat dalam sejarah republik ini, Gus Dur  “diturunkan” oleh orang-orang yang pernah mengusungnya.  

Namanya juga sempat dicoba diburamkan dengan beberapa skandal. Tapi toh, Gus Dur berbesar hati. Ia lebih memilih keluar istana dengan tegak kepala dan lapang dada, daripada mengorbankan banyak orang lewat pertumpahan darah. Kala itu, jutaan orang sudah berikrar kepada Gus Dur sebagai pasukan berani mati dan hanya tinggal menunggu komando. 

Namun Gus Dur tidak menggunakan jalan itu. Buatnya, jalan kedamaian harus beriringan dengan jalan konstitusi. Sedari awal, Gus Dur memang nothing to lose terhadap jabatan presiden. 

Humor paling terkenal dari Gus Dur soal ini adalah, “Saya jadi presiden itu hanya modal dengkul,” katanya di sebuah forum. Setelah jeda sejenak, ia menambahi, “Itu pun dengkulnya Amien Rais”.

Forum riuh oleh gelak tawa.  

Membicarakan Gus Dur tidak akan pernah utuh bila tidak membahas humornya. Di banyak kesempatan, Gus Dur selalu menyelipkan humor. Humor menurut Gus Dur adalah ekspresi kewarasan yang paling tinggi.

Gus Dur menguasai humor dalam banyak aspek. Dari aspek teknis, maupun filsafat humor itu sendiri. Cara Gus Dur membawakan humor dengan rapi, dan selalu membuat pendengarnya menunggu punchline di ujung cerita.

Buat Gus Dur, semakin seseorang dewasa, maka ia akan semakin pandai menertawai keadaan, termasuk keadaannya sendiri. Cakupan humor Gus Dur menyoal banyak hal, dari masalah kehidupan beragama, politik, hingga masalah sehari-hari. Humor bagi Gus Dur kerap digunakan sebagai sarana kritik yang efektif. Semasa beliau hidup hingga wafat, ada banyak sekali tulisan yang merupakan sekumpulan cerita humor yang ia tuturkan.

Salah satunya yang paling terkenal adalah ini:

Siapa Lebih Dekat dengan Tuhan

Suatu ketika, ada dialog antara pendeta, biksu dan kyai.

Pendeta mengatakan; “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Jadi kami memangil Tuhan Anak, Tuhan Bapak.”

Si biksu menimpali; “Kami juga dekat. Bukan manggil Bapak, tapi Om. Lha bagaimana dengan Anda, pak kyai?”

Pak Kyai menjawab; “Boro-boro deket, manggil-nya aja mesti pake menara,” urai Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.

Tapi toh, Gus Dur yang penuh humor juga tak membuatnya nihil pembenci. Banyak kalangan yang tidak suka Gus Dur. Beliau karib dengan umpatan, ungkapan sinis, ujaran kebencian, bahkan fitnah. Paling kencang saat Gus Dur menjabat sebagai presiden.  Maklum, karena Gus Dur kala itu banyak membuat keputusan yang teramat berani. Mulai membubarkan Departemen Sosial, menganulir inpres tentang pelarangan imlek, serta banyak lawatan ke luar negeri.

Soal yang terakhir, ada yang menyebutnya aji mumpung karena menjabat sebagai presiden. Terlebih lagi, biaya yang dihabiskan cukup tinggi. Gus Dur menanggapinya kalem, “Tidak ada artinya biaya segitu dibandingkan keutuhan bangsa”.

Tuduhan aji mumpung sangat bertolak belakang dengan keseharian Gus Dur yang sangat terbilang sederhana sebagai seorang presiden. Gus Dur bahkan banyak disebut sebagai zahid, yakni seorang pelaku zuhud atau laku batin yang tidak tergoda oleh kesenangan dunia. Gus Dur sering diceritakan tidak punya uang, bahkan tidak membawa dompet. Dari masa mudanya yang “menggelandang” di Mesir bersama Gus Mus (Kyai Mustofa Bisri) hingga di akhir masa hidupnya, bahkan setelah menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Ujung Desember memang susah lepas dari ingatan tentang Gus Dur. Ia akan selalu menjadi sosok yang dirindukan, terlebih di masa-masa seperti sekarang. Warisan terpentingnya adalah keteguhan merawat kemanusiaan dengan tulus, untuk semua kalangan, tanpa pamrih berlebih.

Soal keteguhan ini, serupa dengan puisi sufi besar dari Mesir, Ibnu Athaillah As-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam yang mashyur itu. Gus Dur mengutip dalam banyak kesempatan: Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (tanamlah eksistensimu di bawah tanah yang tidak dikenal. Sesuatu yang tumbuh yang tak ditanam, akan berbuah segar).

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar