Ujung Desember adalah ingatan tentang Gus
Dur.
Setidaknya itu yang diakui oleh Dedi
Yuliardi Ashadi. Bermula dari kejadian di Desember tahun 2009, yang sempat
membuatnya menggerutu. Akhir tahun yang biasanya identik dengan tawaran job
yang deras, kala itu tak terjadi. Ia sedikit heran dengan pola yang
tidak biasanya.
Dedi Yuliardi memang bekerja sebagai entertainer.
Biasanya akhir tahun, ia sering mendapat jadwal mengisi acara hiburan, termasuk
di layar televisi. Namun Desember di tahun 2009 memiliki cerita yang berbeda.
Sampai akhirnya ia mendengar sebuah berita duka: Gus Dur berpulang.
Setelah merenung, ia lalu mencoba
menyadari dan mengambil hikmah. Barangkali tawaran job yang sepi, membuatnya
justru bisa menghadiri pemakaman Gus Dur. Ia membayangkan, bila sudah meneken
kontrak dengan banyak acara di akhir tahun, mungkin menyulitkannya untuk datang
ke pemakaman Gus Dur. Bila ia melanggar klausul profesional yang disepakati,
kemungkinan besar berimbas kepada kredibilitasnya.
Tak buang waktu, begitu mendengar kabar
Gus Dur wafat dan dimakamkan di Jombang, ia bersama rombongan memesan pesawat
dan segera bertolak agar tidak ketinggalan prosesi pemakaman.
Dedi Yuliardi Ashadi, memang punya “hutang” kepada Gus Dur. Gus Dur pernah membela dan membesarkan hatinya saat ia dirundung banyak orang.
Penyebabnya, keputusan besar Dedi untuk melakukan
operasi kelamin. Orang-orang jarang yang mengenali nama Dedi Yuliardi Ashadi.
Ia jauh lebih dikenal di dunia hiburan dengan nama Dorce Gamalama.
Tentu saja bukan hanya Dorce Gamalama yang setiap Desember teringat Gus Dur. Mungkin juga Inul Daratista, biduan dangdut dari Pasuruan juga pernah dibela Gus Dur saat ia berkonflik dengan Rhoma Irama, soal polemik goyang ngebor yang dianggap menodai martabat musik dangdut.
Selain mereka ada jutaan orang lain yang selalu
mengingat Gus Dur, entah sebagai pribadi, entah karena banyak “warisan” yang ia
tinggalkan sebelum beliau wafat.
Gus Dur juga merupakan salah satu
motor pemikiran Islam di Indonesia yang akrab dengan corak humanis, tidak
tercerai dari khazanah kelokalan, dan selalu aktual.
Dari dimensi-dimensi itu saja, banyak hal
yang menarik dibicarakan dan mengandung banyak hikmah. Di sisi lainnya, Gus Dur
juga sering dianggap sebagai sosok yang paling sering disalahpahami. Banyak
orang dianggap terlalu mengkultuskannya. Alasannya, ucapannya yang serasa
main-main, sering menjadi kenyataan, bahkan masih relevan dengan masa sekarang.
Menariknya, Gus Dur adalah tokoh di
Indonesia—selain Soekarno, yang paling banyak divisualisasikan. Ia banyak
dihadirkan secara visual dengan beragam media. Dari kaos hingga patung.
Visualisasi soal Gus Dur juga kerap dihadirkan sebagai simbol dari “keagungan”
lain. Gus Dur sering divisualisasikan dalam bentuk karya seni rupa sebagai
wali, Semar, bahkan Budha.
Tentu saja kontroversial. Namun andaikata
dipolemikkan, saya percaya Gus Dur menyikapinya dengan kalem dan tenang, lalu
mengeluarkan celotehan yang menjadi trade mark-nya: “Gitu aja kok
repot.”
Kendati diakui sebagai sosok yang sarat kelebihan dan previlege, tak lantas membuat perjalanan hidup Gus Dur mulus-mulus saja. Sebaliknya, Gus Dur adalah paradoks keberhasilan. Ia memiliki banyak “kegagalan” dalam hidupnya, namun berhasil menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah republik ini.
Gus Dur memang lahir sebagai anak dari
mantan Menteri Agama dan cucu dari hadratus syeikh Hasyim
Asyari, pendiri organisasi Islam terbesar di negeri ini. Tak hanya itu, konon
darah leluhurnya sampai pada Brawijaya V.
Gus Dur tumbuh sebagai pemuda yang rakus
bacaan. Ia membaca banyak buku, terutama buku-buku sastra asing. Karya-karya
sastrawan dunia macam Ernest Hemingway, Edgar Allan Poe, John Donne, Andre
Girde, Kafka, Tolstoy, sudah ia mamah sedari belia. Ia juga menggandrungi musik klasik,
film, dan sepakbola. Tulisan Gus Dur soal budaya populer ini menarik,
kerap ditunggu, dan tersebar di mana-mana.
Namun minat dan kedalaman Gus Dur pada
budaya populer ini tidak menghalangi pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu yang
diajarkan di pesantren. Kendati efeknya, Gus Dur “gagal” menyelesaikan
kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Mesir.
“Kuliah di Al-Azhar lebih banyak mengulang
materi yang sudah diajarkan di pesantren,” kata Gus Dur. Gus Dur akhirnya lebih banyak menonton film dan memperluas bacaannya semasa di Mesir. Akhirnya, kuliahnya justru tidak selesai.
Kegagalan lainnya saat ia tidak lulus
seleksi untuk kuliah di Kanada. Tak hanya itu, Gus Dur juga “gagal” sebagai
dekan di Universitas Hasyim Asyari. Ia bahkan diturunkan dari posisi dekan
sebuah intitusi pendidikan yang menggunakan nama kakeknya.
Sebagai presiden, Gus Dur juga “gagal”,
walau banyak sekali meninggalkan warisan berharga bagi negeri ini dengan
keputusan sarat risiko yang ia buat. Menjabat sebagai presiden keempat dalam
sejarah republik ini, Gus Dur “diturunkan” oleh orang-orang yang pernah
mengusungnya.
Namanya juga sempat dicoba diburamkan dengan beberapa skandal. Tapi toh, Gus Dur berbesar hati. Ia lebih memilih keluar istana dengan tegak kepala dan lapang dada, daripada mengorbankan banyak orang lewat pertumpahan darah. Kala itu, jutaan orang sudah berikrar kepada Gus Dur sebagai pasukan berani mati dan hanya tinggal menunggu komando.
Namun Gus Dur tidak menggunakan jalan itu. Buatnya, jalan kedamaian harus beriringan dengan jalan konstitusi. Sedari awal, Gus Dur memang nothing to lose terhadap jabatan presiden.
Humor paling terkenal dari Gus Dur soal ini adalah, “Saya jadi presiden itu hanya modal dengkul,” katanya di sebuah forum. Setelah jeda sejenak, ia menambahi, “Itu pun dengkulnya Amien Rais”.
Forum riuh oleh gelak tawa.
Membicarakan Gus Dur tidak akan pernah
utuh bila tidak membahas humornya. Di banyak kesempatan, Gus Dur selalu
menyelipkan humor. Humor menurut Gus Dur adalah ekspresi kewarasan yang paling
tinggi.
Gus Dur menguasai humor dalam banyak
aspek. Dari aspek teknis, maupun filsafat humor itu sendiri. Cara Gus Dur
membawakan humor dengan rapi, dan selalu membuat pendengarnya menunggu punchline di
ujung cerita.
Buat Gus Dur, semakin seseorang dewasa,
maka ia akan semakin pandai menertawai keadaan, termasuk keadaannya sendiri.
Cakupan humor Gus Dur menyoal banyak hal, dari masalah kehidupan beragama,
politik, hingga masalah sehari-hari. Humor bagi Gus Dur kerap digunakan sebagai
sarana kritik yang efektif. Semasa beliau hidup hingga wafat, ada banyak sekali
tulisan yang merupakan sekumpulan cerita humor yang ia tuturkan.
Salah satunya yang paling terkenal adalah
ini:
Siapa Lebih Dekat dengan Tuhan
Suatu ketika, ada dialog antara pendeta, biksu dan kyai.
Pendeta mengatakan; “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Jadi kami memangil Tuhan Anak, Tuhan Bapak.”
Si biksu menimpali; “Kami juga dekat. Bukan manggil Bapak, tapi Om. Lha bagaimana dengan Anda, pak kyai?”
Pak Kyai menjawab; “Boro-boro deket, manggil-nya aja mesti pake menara,” urai Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.
Tapi toh, Gus Dur yang penuh humor
juga tak membuatnya nihil pembenci. Banyak kalangan yang tidak suka Gus Dur.
Beliau karib dengan umpatan, ungkapan sinis, ujaran kebencian, bahkan fitnah.
Paling kencang saat Gus Dur menjabat sebagai presiden. Maklum, karena Gus
Dur kala itu banyak membuat keputusan yang teramat berani. Mulai membubarkan
Departemen Sosial, menganulir inpres tentang pelarangan imlek, serta banyak
lawatan ke luar negeri.
Soal yang terakhir, ada yang menyebutnya
aji mumpung karena menjabat sebagai presiden. Terlebih lagi, biaya yang
dihabiskan cukup tinggi. Gus Dur menanggapinya kalem, “Tidak ada artinya biaya
segitu dibandingkan keutuhan bangsa”.
Tuduhan aji mumpung sangat
bertolak belakang dengan keseharian Gus Dur yang sangat terbilang sederhana
sebagai seorang presiden. Gus Dur bahkan banyak disebut sebagai zahid, yakni
seorang pelaku zuhud atau laku batin yang tidak tergoda oleh kesenangan dunia.
Gus Dur sering diceritakan tidak punya uang, bahkan tidak membawa dompet. Dari
masa mudanya yang “menggelandang” di Mesir bersama Gus Mus (Kyai Mustofa Bisri)
hingga di akhir masa hidupnya, bahkan setelah menjadi orang nomor satu di
Indonesia.
Ujung Desember memang susah lepas dari
ingatan tentang Gus Dur. Ia akan selalu menjadi sosok yang dirindukan, terlebih
di masa-masa seperti sekarang. Warisan terpentingnya adalah keteguhan merawat
kemanusiaan dengan tulus, untuk semua kalangan, tanpa pamrih berlebih.
Soal keteguhan ini, serupa dengan puisi sufi besar dari Mesir,
Ibnu Athaillah As-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam yang mashyur itu. Gus Dur
mengutip dalam banyak kesempatan: Idfin wujudaka fil ardhil khumuli,
fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (tanamlah
eksistensimu di bawah tanah yang tidak dikenal. Sesuatu yang tumbuh yang tak
ditanam, akan berbuah segar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar