Gambar diambil dari sini |
Pak Dahlan Iskan adalah contoh sosok dengan semangat hidup yang tiada surut. Ini bisa dibantah, tapi hampir semua orang yang mengenal beliau—atau setidaknya tahu kiprahnya, mengamini bahwa beliau adalah sosok dengan semangat yang terus menyala.
Bicara soal Pak Dahlan, tentu
saja tidak bisa tanpa bicara soal jurnalistik. Beliau adalah panutan di bidang
itu, secara personal maupun sebagai pimpinan perusahaan yang berkutat di
industri media.
Rantai bisnis media yang beliau
himpun, Jawa Pos Group, menjulur di mana-mana. Di era disrupsi seperti saat ini
pun, Jawa Pos Group masih bisa menunjukkan kiprah dengan menyesuaikan diri terhadap segala perubahan.
Di usia Pak Dahlan yang kian senja, jiwa jurnalistiknya
tidak pudar. Hingga hari ini, ia masih
melestarikan kerja jurnalistik yang paling dasar: menulis. Tak ada satu haripun
yang terlewat tanpa menulis. Sebisa mungkin, Pak Dahlan menulis setiap hari. Saya
ulangi, setiap hari.
Tulisannya ia unggah dalam halaman pribadi yang beralamat di disway.id. Setiap hari, jam 05.00
pagi, saat banyak orang masih di balik selimut, ia sudah mengirimkan tulisan kepada editor untuk diunggah di halaman disway.id.
Halaman disway.id disediakan
oleh orang-orang yang pernah menjadi anggotanya di Jawa Pos. Lebih dari sekadar
mantan “anak buah”, mereka mendaku diri sebagai “murid ideologis” Pak Dahlan. Merekalah yang saling sumbang untuk menghidupi disway.id. Ada yang menjadi editor,
penata layout dan grafis, hingga penyedia server. Pak Dahlan tinggal menulis
setiap hari, untuk dikirim ke editor.
Tapi tentu frasa “tinggal menulis
setiap hari” bukanlah perkara remeh. Menulis secara konsisten setiap hari
butuh mental yang tebal. Selalu ada sejumlah alasan dan sehimpun apologi untuk
lalai. Tapi itu tidak berlaku buat Pak Dahlan. Beliau mampu menaklukan perkara hambatan
mental itu seakan-akan dengan mudahnya. Untuk menulis setiap hari, beliau sanggup menulis kapanpun dan di manapun. Tambahan lagi, dengan apapun. Untuk diketahui,
hampir semua tulisan di disway.id, ditulis oleh Pak Dahlan dengan gawai ponsel menggunakan satu tangan saja, dengan satu jempol.
Sekarang halaman disway.id sudah berumur
sekitar 2 tahun. Artinya sudah sekitar 700 tulisan lebih beliau tulis dengan gawai. Dengan
tangan kiri, dengan satu jempol. Pernah satu kali ia menulis dengan laptop,
karena hapenya rusak akibat terlindas ban mobil.
Sebab tenggat harian butuh kelenturan yang
plastis, maka Pak Dahlan menyiasati dengan menulis di ponsel. Ponsel yang
beliau pilih juga yang tidak berlayar lebar. Yang penting jempol tangan kirinya
bisa menjangkau sisi kanan ponsel dengan nyaman. Tulisannya sering dibuat saat
menunggu di bandara, membarengi mobilitasnya yang tinggi.
Pak Dahlan tentu sudah
selesai dengan urusan teknis. Tulisannya fokus, tak kehilangan bobot tapi tetap
renyah dibaca. Editor pun mengakui bahwa tulisan beliau tidak banyak diedit. Mungkin
hanya sekadar membenahi typo atau saltik. Pak Dahlan mengaku bahwa memang
tulisannya sekarang agak disesuaikan dengan karakter pembaca di era media
sosial. Salah satunya adalah melalui kalimat yang pendek-pendek.
Saya mulai mengenal dan membaca tulisan Pak Dahlan mula-mula dari tulisan tentang operasi tranplantasi
livernya, beberapa belas tahun silam. Awalnya saya membaca tulisan-tulisan itu secara bersambung di harian
Jawa Pos. Tulisan berseri itu lantas dibukukan dengan judul “Ganti Hati”. Saya
beli dan baca cetakan pertamanya. Tapi setelah tamat membaca, buku itu kemudian hilang. Saya
lupa di mana. Entah tertinggal di suatu tempat, entah dipinjam kawan dan tak
kembali.
Karena buku itu saya anggap
penting, saya membaca lagi buku berjudul sama yang dicetak ulang entah yang ke berapa,
beberapa tahun kemudian. Salah satu yang membedakan dengan cetakan pertama adalah sampul bukunya. Cetakan awal
bersampul ilustrasi wajah Pak Dahlan yang dibuat ilustrator Jawa Pos favorit saya, Pak
Budiono.
Dari buku “Ganti Hati” saya
mengenal sosok Pak Dahlan lebih dalam. Saya pelajari pula teknik menulisnya. Pak
Dahlan sangat piawai membuat tulisan dengan lead yang menggoda serta diakhiri
dengan penutup yang menggelitik. Belakangan saya tahu, bahwa Pak Dahlan di awal
karirnya, sempat ingin meniru gaya menulis almarhum Pak Mahbub Djunaidi, mantan
kolomnis Tempo yang sangat jago menulis lincah dan sarat humor, tapi tetap
bernas.
Hal lain yang coba saya pelajari
dan tiru adalah teknik Pak Dahlan dalam menulis ringkas. Tulisan tidak boros
dan bertele-tele, tetap enak dibaca, tapi esensi tidak kabur. Susah sekali
menulis seperti itu. Saya pernah dengar dari seorang kawan, salah satu “aturan”
dalam menulis di Jawa Pos adalah sebuah kalimat harus bisa dibaca dalam satu
tarikan napas. Dengan kaidah itu, pembaca akan terhindar dari kalimat-kalimat panjang
yang membingungkan.
Di buku “Ganti Hati”, Pak Dahlan
menulis ringkasan kisah hidupnya sampai harus menjalani operasi transplantasi liver
di Beijing. Di buku itu saya baru tahu bahwa Pak Dahlan, yang bahkan tidak memiliki
data sahih tentang tanggal lahirnya, membangun Jawa Pos Group dengan perjuangan yang sangat tak mudah. Pak Dahlan bekerja sekitar 18 jam sehari. Tanpa henti, terus
menerus. Akhirnya di usianya yang semakin meninggi, livernya protes karena
terlalu sering diajak kerja keras.
Pak Dahlan memang dikenal sejak
muda sudah memiliki dedikasi kerja yang tinggi. Beliau membangun karirnya dari bawah
sebelum membangun Jawa Pos Group. Di tahun 1975, Pak Dahlan bergabung dengan
majalah Tempo, yang sedari dulu dikenal memiliki standar jurnalistik yang ketat. Tulisan
Pak Dahlan sebagai wartawan yang paling dianggap fenomenal dan sering dijadikan acuan dalam reportase investigatif adalah tulisan yang berjudul “Neraka 40 Jam
di Tengah Laut”. Kala itu, Pak Dahlan sudah menempati posisi Kepala Biro Tempo
Jawa Timur. Reportase itu berkisah detail tentang terbakarnya kapal Tampomas II.
Laporan itu dinilai begitu hidup dan “basah”. Pak Dahlan kala itu merekonstruksi
kejadiaan naas itu dengan melakukan wawancara selama 3 hari 3 malam, tanpa
tidur.
Setelah dari “Ganti Hati”, saya
seperti kecanduan tulisan-tulisan Pak Dahlan. Pak Dahlan dengan hati yang baru,
justru semakin produktif. Buku-bukunya semakin banyak untuk didapat. Apa saja
beliau tulis, walau sudah tidak berkecimpung langung di Jawa Pos Group. Saat
menjabat Direktur Utama PLN, beliau menghasilkan beberapa buku. Yang saya paling suka berjudul "Dua Tangisan Satu Tawa". Saat menjabat Menteri
BUMN, beliau juga menulis buku yang dihimpun dari tulisan-tulisannya yang
diberi tajuk “Manufacturing Hope”. Hampir semua buku tulisan Pak Dahlan setelah
buku “Ganti Hati” saya punya.
Sampai sekarang, api semangat Pak
Dahlan tetap nyala dan terang. Ia tetap menjaga
api semangatnya, menuliskan apa saja dengan apik. Menyampaikan banyak hal,
untuk kita simak, pelajari, kadang kita tertawai. Kadang saya tidak sepakat isi
tulisannya, tapi itu hal yang wajar-wajar saja.
Saya tetap lancang memosisikan
diri sebagai murid ideologis beliau. Mencari terang dari pancaran apinya yang
mengabadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar