Bulan
April tahun kemarin, saya sempat berniat
untuk tidak memperpanjang sewa domain halaman blog ini, tetapi saya urungkan.
Kejadian serupa saya ulangi di tahun ini. Blog ini tetap saya “hidupi”,
walau tulisan terakhir yang mengendap masih sama: tulisan sekitar 2 tahun yang
lalu, saat perayaan Piala Dunia 2018. Setelahnya, saya tak lagi menulis di blog
ini.
Hari ini, saya berniat kembali mengisi blog sederhana ini.
Hari ini, saya berniat kembali mengisi blog sederhana ini.
Tentu
saja dalam dua tahun ini, banyak hal yang terjadi dan tidak saya rekam dalam
catatan di blog ini. Mulai dari saya menikah tahun lalu, banyak buku bagus
terbit, banyak film menarik yang ditonton, ada wabah COVID-19 yang menyerang hampir seluruh
pelosok di di dunia ini, saya belajar memotong rambut, anak saya lahir tahun ini, Liverpool akhirnya juara Liga Inggris setelah penantian 30 tahun, dan masih banyak lagi.
Kadang
terselip rasa tidak nyaman, ketika melewatkan banyak hal tanpa catatan. Sebenarnya
sebagaimana orang-orang, saya juga menyempatkan diri mengamankan ingatan
tentang hal-hal tersebut lewat media-media lain, platform lain. Jika demikian,
maka sebenarnya ada alasan kuat yang membuat saya memilih media lain lalu
mengakhiri catatan di blog ini. Tetapi, sekali lagi, saya urungkan. Saya tetap
memilih menyewa domain untuk blog ini walau tanpa catatan sama sekali dalam dua
tahun terakhir.
Memang
masih ada yang membaca blog ini? Saya yakin ada. Setiap tulisan, secara fitrah,
akan menemukan pembacanya sendiri. Setidaknya saya sendiri. Dua tahun terakhir,
saya sering membuka arsip tulisan di blog ini, lalu membacanya sendiri, dan kerap
diakhiri dengan senyum hingga menertawakan diri sendiri.
Internet
terus berkembang. Media sosial kian menyediakan ruang untuk berekspresi atau
sekadar mendokumentasi banyak hal. Blog pribadi yang konsisten ditulis kian
sedikit. Namun buat saya, blog masih wadah yang sangat menarik sehingga saya
pun enggan memilih “mengakhiri” dengan menghentikan perpanjangan sewa domain.
Memang bila ditilik dari soal uang, biaya sewanya tidak seberapa. Namun sepintas terlihat seperti perkara konyol saja. Menyewa,
tapi tidak diapa-apakan.
Semua ini mungkin karena ada semacam perasaan personal yang sukar diceritakan. Mirip dengan
romantisme masa lalu. Dunia blog adalah dunia yang membuka mata saya saat
pertama kali mengenal internet, bahwa banyak hal yang sangat menarik, banyak
orang-orang pintar namun sangat rendah hati, banyak ilmu yang bertaburan dari blogger-blogger panutan--sekalipun anonim. Saya ingat, dulu salah satu blogger dan penulis favorit saya, Mas Zen RS, pernah bersilang
pendapat dengan jurnalis kelas wahid pengampu Yayasan Pantau, Pak Andreas
Harsono. Keduanya saling berbalas tulisan panjang lewat blog masing-masing. Berkelas
sekali.
Belakangan,
di Facebook juga ada hal serupa. Begawan Goenawan Mohamad (GM) yang berbalas
tulisan dengan pendekar Mas AS Laksana. Bung GM “dikeroyok” oleh banyak
pendekar yang lain, dari Pak Taufiqurrahman hingga Mas Sabrang MDP, putra Cak
Nun, turut turun gelanggang lewat tulisan masing-masing. Sayangnya saya tidak
begitu mengerti topik yang dibicarakan. Setahu saya dimulai dengan GM yang
menyangsikan posisi sains sebagai jalan keluar yang mutlak dari persoalan. GM, sebagaimana
Catatan Pinggirnya (dulu ada yang membuat blog di Wordpress yang berisi tulisan-tulisan
Catatan Pinggir), tetap meliuk-liuk sambil menimang-menimang bahasa. Sesekali
sukar dimengerti. Ia mirip Robinho saat di AC Milan. Sedangkan Mas AS Laksana alias
Mas Sulak, lebih lugas. Bahasanya
efektif. Mirip Lionel Messi saat bermain bola. Di tengah banjir informasi palsu
dan bias di beragam platform, pandemi yang tak kunjung usai, gosip pesohor yang
bising, menyimak adu argumen dari mereka adalah hiburan yang menyenangkan.
***
Di
awal masa pandemi COVID-19, saya pernah berbalas pesan pendek dengan Mas Edward
Suhadi via Twitter. Beliau adalah pembuat film, videografer, fotografer, dan penulis. Saya dulu sering mampir ke blog-nya untuk membaca
tulisan-tulisannya.
Saya
mengirim pesan pendek untuk menanggapi video yang dia buat di masa pandemi ini.
Video-video Mas Edward dibuat secara pribadi, berisi pesan-pesan yang mengingatkan
agar semua pihak sebaiknya saling membantu, salah satunya dengan upaya dasar
yang paling bisa dilakukan: menahan diri.
Saya
sebagai tenaga kesehatan, mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Mas
Edward atas kebaikannya. Dia memang pribadi yang sangat baik. Pikirannya positif.
Alih-alih turut mengutuki kondisi wabah yang kacau, dia memilih jalan lain
dengan terus mengingatkan banyak orang agar fokus pada hal-hal baik, semisal tidak melakukan panic buying, pentingnya menjaga jarak, peningkatan imun lewat menambah jam tidur, dan lain-lain.
Kemarin
siang, Mas Edward bercuit di Twitter. Ia berkisah tentang upayanya berolahraga kembali setelah lama tidak melakukannya. Seperti biasa, ia
menyampaikan dengan semangat optimistis, bukan sinis. Saya termenung setelah
membaca satu kalimat yang dia cuitkan: “yang saya lakukan adalah (ibarat)
mendorong mobil mogok”.
Maksud
Mas Edward, ketika kita mendorong mobil mogok, akan terlihat berat di awal,
tetapi setelah melewati fase awal, roda akan bergulir, dan akan memicu hal lain
untuk berbuat lebih dari sekadar roda yang menggelinding. Mesin hidup, transmisi
terjadi, dan mobil bisa dikendarai. Ini kinerja momentum, katanya. Dalam
momentum, bisa saja satu ditambah satu tidak menjadi dua. Bisa menjadi lebih
dan berlipat ganda.
Setelah
membaca cuitan itu dan termenung, saya memutuskan kembali untuk menulis di
blog. Menghidupkan mobil mogok saya. Menemukan momentum saya. Menemukan hal-hal
baik yang mungkin bisa muncul dari upaya ini, syukur bila berlipat ganda.
Salah
satu hal yang saya harapkan adalah
mengakrabi diri saya sendiri. Setelah itu, saya berharap bisa melakukan
hal-hal baik di luar sana. Menulis, bagi saya, memang punya daya itu. Hanya
saja, momentum kadang muncul, tapi saya tidak memanfaatkan dengan baik.
Saya
punya kebiasaan baru. Setiap hari, saya berangkat kerja lebih pagi. Satu jam
lebih awal. Upaya itu saya lakukan agar saya menikmati jalanan di pagi hari
yang tidak ramai. Dengan berangkat satu jam lebih pagi, saya mengendarai mobil
tanpa terburu-buru, merasakan perjalanan dengan lebih khusyuk, sesekali
berdialog dengan diri sendiri. Sesampai di tempat parkir rumah sakit, saya juga
tidak lekas turun dari mobil. Saya memilih berdiam sejenak, merasakan pagi yang
hening. Entah mengapa, kemudian saya merasa lebih produktif sepanjang hari.
Saya
berharap, upaya menulis (kembali) di blog ini juga bisa berefek demikan. Menulis
membuat saya lebih mengkhusyuki perjalanan saya, dan menemukan banyak nilai yang membuat hidup saya lebih berarti.
Semoga
saja.
Open Demat Account Online with Indira Securities in just 15 mins.
BalasHapus