Sabtu, 04 Juli 2020

Mendorong Mobil Mogok






Bulan April tahun  kemarin, saya sempat berniat untuk tidak memperpanjang sewa domain halaman blog ini, tetapi saya urungkan. Kejadian serupa saya ulangi di tahun ini. Blog ini tetap saya “hidupi”, walau tulisan terakhir yang mengendap masih sama: tulisan sekitar 2 tahun yang lalu, saat perayaan Piala Dunia 2018. Setelahnya, saya tak lagi menulis di blog ini. 

Hari ini, saya berniat kembali mengisi blog sederhana ini. 

Tentu saja dalam dua tahun ini, banyak hal yang terjadi dan tidak saya rekam dalam catatan di blog ini. Mulai dari saya menikah tahun lalu, banyak buku bagus terbit, banyak film menarik yang ditonton, ada  wabah COVID-19 yang menyerang hampir seluruh pelosok di di dunia ini, saya belajar memotong rambut, anak saya lahir tahun ini, Liverpool akhirnya juara Liga Inggris setelah penantian 30 tahun, dan masih banyak lagi. 

Kadang terselip rasa tidak nyaman, ketika melewatkan banyak hal tanpa catatan. Sebenarnya sebagaimana orang-orang, saya juga menyempatkan diri mengamankan ingatan tentang hal-hal tersebut lewat media-media lain, platform lain. Jika demikian, maka sebenarnya ada alasan kuat yang membuat saya memilih media lain lalu mengakhiri catatan di blog ini. Tetapi, sekali lagi, saya urungkan. Saya tetap memilih menyewa domain untuk blog ini walau tanpa catatan sama sekali dalam dua tahun terakhir. 

Memang masih ada yang membaca blog ini? Saya yakin ada. Setiap tulisan, secara fitrah, akan menemukan pembacanya sendiri. Setidaknya saya sendiri. Dua tahun terakhir, saya sering membuka arsip tulisan di blog ini, lalu membacanya sendiri, dan kerap diakhiri dengan senyum hingga menertawakan diri sendiri. 

Internet terus berkembang. Media sosial kian menyediakan ruang untuk berekspresi atau sekadar mendokumentasi banyak hal. Blog pribadi yang konsisten ditulis kian sedikit. Namun buat saya, blog masih wadah yang sangat menarik sehingga saya pun enggan memilih “mengakhiri” dengan menghentikan perpanjangan sewa domain. Memang bila ditilik dari soal uang, biaya sewanya tidak seberapa. Namun sepintas terlihat seperti perkara konyol saja. Menyewa, tapi tidak diapa-apakan.

Semua ini mungkin karena ada semacam perasaan personal yang sukar diceritakan. Mirip dengan romantisme masa lalu. Dunia blog adalah dunia yang membuka mata saya saat pertama kali mengenal internet, bahwa banyak hal yang sangat menarik, banyak orang-orang pintar namun sangat rendah hati, banyak ilmu yang bertaburan dari blogger-blogger panutan--sekalipun anonim.  Saya ingat, dulu salah satu blogger dan penulis favorit saya, Mas Zen RS, pernah bersilang pendapat dengan jurnalis kelas wahid pengampu Yayasan Pantau, Pak Andreas Harsono. Keduanya saling berbalas tulisan panjang lewat blog masing-masing. Berkelas sekali.

Belakangan, di Facebook juga ada hal serupa. Begawan Goenawan Mohamad (GM) yang berbalas tulisan dengan pendekar Mas AS Laksana. Bung GM “dikeroyok” oleh banyak pendekar yang lain, dari Pak Taufiqurrahman hingga Mas Sabrang MDP, putra Cak Nun, turut turun gelanggang lewat tulisan masing-masing. Sayangnya saya tidak begitu mengerti topik yang dibicarakan. Setahu saya dimulai dengan GM yang menyangsikan posisi sains sebagai jalan keluar yang mutlak dari persoalan. GM, sebagaimana Catatan Pinggirnya (dulu ada yang membuat blog di Wordpress yang berisi tulisan-tulisan Catatan Pinggir), tetap meliuk-liuk sambil menimang-menimang bahasa. Sesekali sukar dimengerti. Ia mirip Robinho saat di AC Milan. Sedangkan Mas AS Laksana alias Mas  Sulak, lebih lugas. Bahasanya efektif. Mirip Lionel Messi saat bermain bola. Di tengah banjir informasi palsu dan bias di beragam platform, pandemi yang tak kunjung usai, gosip pesohor yang bising, menyimak adu argumen dari mereka adalah hiburan yang menyenangkan. 

***

Di awal masa pandemi COVID-19, saya pernah berbalas pesan pendek dengan Mas Edward Suhadi via Twitter. Beliau adalah pembuat film, videografer, fotografer, dan penulis. Saya dulu sering mampir ke blog-nya untuk membaca tulisan-tulisannya.

Saya mengirim pesan pendek untuk menanggapi video yang dia buat di masa pandemi ini. Video-video Mas Edward dibuat secara pribadi, berisi pesan-pesan yang mengingatkan agar semua pihak sebaiknya saling membantu, salah satunya dengan upaya dasar yang paling bisa dilakukan: menahan diri.

Saya sebagai tenaga kesehatan, mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Mas Edward atas kebaikannya. Dia memang pribadi yang sangat baik. Pikirannya positif. Alih-alih turut mengutuki kondisi wabah yang kacau, dia memilih jalan lain dengan terus mengingatkan banyak orang agar fokus pada hal-hal baik, semisal tidak melakukan panic buying, pentingnya menjaga jarak, peningkatan imun lewat menambah jam tidur, dan lain-lain. 

Kemarin siang, Mas Edward bercuit di Twitter. Ia berkisah tentang upayanya  berolahraga  kembali setelah lama tidak melakukannya. Seperti biasa, ia menyampaikan dengan semangat optimistis, bukan sinis. Saya termenung setelah membaca satu kalimat yang dia cuitkan: “yang saya lakukan adalah (ibarat) mendorong mobil mogok”.

Maksud Mas Edward, ketika kita mendorong mobil mogok, akan terlihat berat di awal, tetapi setelah melewati fase awal, roda akan bergulir, dan akan memicu hal lain untuk berbuat lebih dari sekadar roda yang menggelinding. Mesin hidup, transmisi terjadi, dan mobil bisa dikendarai. Ini kinerja momentum, katanya. Dalam momentum, bisa saja satu ditambah satu tidak menjadi dua. Bisa menjadi lebih dan berlipat ganda.

Setelah membaca cuitan itu dan termenung, saya memutuskan kembali untuk menulis di blog. Menghidupkan mobil mogok saya. Menemukan momentum saya. Menemukan hal-hal baik yang mungkin bisa muncul dari upaya ini, syukur bila berlipat ganda.

Salah satu hal yang saya harapkan  adalah mengakrabi diri saya sendiri. Setelah itu, saya berharap bisa melakukan hal-hal baik di luar sana. Menulis, bagi saya, memang punya daya itu. Hanya saja, momentum kadang muncul, tapi saya tidak memanfaatkan dengan baik.

Saya punya kebiasaan baru. Setiap hari, saya berangkat kerja lebih pagi. Satu jam lebih awal. Upaya itu saya lakukan agar saya menikmati jalanan di pagi hari yang tidak ramai. Dengan berangkat satu jam lebih pagi, saya mengendarai mobil tanpa terburu-buru, merasakan perjalanan dengan lebih khusyuk, sesekali berdialog dengan diri sendiri. Sesampai di tempat parkir rumah sakit, saya juga tidak lekas turun dari mobil. Saya memilih berdiam sejenak, merasakan pagi yang hening. Entah mengapa, kemudian saya merasa lebih produktif sepanjang hari.

Saya berharap, upaya menulis (kembali) di blog ini juga bisa berefek demikan. Menulis membuat saya lebih mengkhusyuki perjalanan saya, dan menemukan banyak nilai  yang membuat hidup saya lebih berarti.

Semoga saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar