Gambar diambil dari sini |
Bila
ada sosok yang selama ini sangat berperan membuka cakrawala berpikir saya, maka
Emha Ainun Najib namanya. Bila ada sosok yang ujarannya secara tertulis maupun
terucap banyak memengaruhi cara berpikir dan cara bersikap saya, Emha Ainun Najib namanya. Bila ada sosok yang lancang saya jadikan guru—walaupun dia belum
tentu mau, maka Emha Ainun Najib pula namanya.
Saya
tidak ragu, juga tidak malu mengakuinya. Saya sangat bersyukur karena beliau masih ada di negeri ini. Darinya saya belajar sangat banyak hal, meski
saya tiada pernah bertatap muka langsung.
Suatu
sore, saya mendapat kabar bahwa Cak Nun—begitu beliau biasa disapa, hendak
datang ke Ambulu, desa kelahiran saya. Ambulu adalah kecamatan kecil di arah
selatan Jember-Jawa Timur, berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat kota Jember.
Dari lahir hingga SMA, saya menghabiskan masa kecil saya di sana. Kedua orang
tua saya dan keluarga juga masih tinggal di sana.
Entah
apa yang memutuskan Cak Nun mau singgah bersama rombongan ke Ambulu. Tajuk
acaranya seperti yang beliau gagas di desa-desa lain: Sinau Bareng. Acara Sinau
Bareng ini berkonsep seperti halnya acara Cak Nun dan rombongan di tempat lain.
Mereka disediakan panggung sederhana—yang tidak boleh terlalu tinggi
kedudukannya dari posisi jamaah yang hadir, lalu anak-anak Maiyah (begitu biasa
sekumpulan orang yang hadir dalam acaranya disebut) berkerumun di sana, belajar
bersama tentang banyak hal, sesekali bershalawat dan berdzikir, hingga larut
malam.
Sinau
Bareng adalah salah satu tajuk acara yang digagas oleh Cak Nun, Kiai Kanjeng
dan rombongan. Ada beberapa tajuk acara serupa, misalnya Kenduri Cinta di
Jakarta, Bangbang Wetan di Surabaya, Padhang mBulan di Jombang, Juguran
Syafaat, dan masih banyak lagi.
Jadwal
beliau sangat padat, hampir setiap hari, dari desa ke desa, dari kecamatan ke
kecamatan. Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng menghadiri undangan untuk
berdialog dengan lapisan masyarakat, yang paling bawah sekalipun. Yang menjadi
menarik, Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng tidak akan menghadiri undangan yang
berskala panggung “besar”, misalnya lingkup Kabupaten ke atas, partai politik,
atau yang diliput media nasional. Hampir dipastikan undangan-undangan semacam tersebut
akan ditolaknya.
Maka
ketika saya mendapat kabar bahwa Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng akan datang
ke Ambulu, saya memancang niat: saya harus hadir. Ini kesempatan langka.
***
Suatu
sore, saya mendapat pesan pendek dari istri saya. Waktu itu, kami masih baru
menikah. Karena istri saya harus menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya,
kami berjauhan Jember-Surabaya untuk sementara waktu. Bila tanggung jawabnya
selesai, istri pindah ke Jember untuk tinggal bersama saya. Mendengar bahwa Cak
Nun akan ke Ambulu, istri berniat ke Jember, membarengi saya yang akan pulang
ke Ambulu, untuk hadir di acara Sinau Bareng.
Namun
di pesan pendek tersebut, istri mengabarkan bahwa dia mendapati flek kemerahan
yang terus menderas dari organ reproduksinya. Saya mencoba tidak panik, lalu
menelepon dan berbincang panjang.
Setelahnya,
saya memutuskan bahwa saya harus segera ke Surabaya. Istri saya keguguran. Kejadian
itu di akhir pekan. Esoknya, Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng datang ke Ambulu.
Saya tidak jadi hadir di acara tersebut sebab saya harus ke Surabaya, menemani
istri saya yang keguguran.
Di
lambung kereta, sepanjang perjalanan menuju Surabaya, saya berbincang dalam
hati dengan diri sendiri. Saya yang berniat hadir untuk mengunduh ilmu secara
langsung dari Cak Nun, harus mengurungkan niat karena ada perkara yang jauh
lebih penting. Padahal, Cak Nun hadir ke Ambulu bisa jadi hanya sekali seumur
hidup. Namun begitulah mungkin cara Tuhan mengajari saya untuk membuat pilihan.
Kadang ada hal yang berharga yang harus dilepas, demi hal lain yang lebih
berarti.
***
Pengaruh
Cak Nun dalam kehidupan saya sehingga saya menjadikannya guru, tak bisa lepas
dari kemampuannya dalam mengartikulasikan ilmunya dalam banyak hal secara
sederhana, lugas, banyak cara, namun sangat mengena. Ia membuat saya membuka ruang
dialektika dalam diri untuk terus berproses menemukan diri sendiri dalam mengolah
fenomena yang terjadi, dengan nakal, menyenangkan, tapi tidak lepas dari
koridor kehambaan kita kepada Allah. Satu hal lagi, Cak Nun mengajarkan pentingnya
berdaulat pada diri sendiri, tidak mengekor atau mengembik pada sosok, tokoh,
ajaran yang membuat kehilangan kendali diri.
Di
acara Kenduri Cinta, Cak Nun pernah membuat judul acara: “Emha Sudah Mati”
sebagai penegas bahwa beliau menghindari penokohan, glorifikasi, atau bahkan
pengkultusan yang membuat banyak orang tidak berdaulat akan dirinya.
Itulah
Cak Nun alias Guru Emha—ijinkan saya menyebutnya demikian. Manusia yang bebas
dan merdeka. Cerita soal keberaniannya menyingkir dari tempik sorai dan riuh
rendah popularitas untuk menempuh jalan sunyi, jamak terdengar di kalangan
anak-anak Maiyah. Dan memang demikianlah adanya.
Dulu
saat akhir SD, saya sering tahu sosok Emha muda di televisi. Dia gagah nian,
dengan kumis tebal yang melintang di atas bibirnya. Rambutnya ikal panjang,
badannya kurus. Sosoknya mudah dikenali di antara banyak tokoh lain yang berlalu
lalang di media. Terlihat nyentrik.
Waktu
itu adalah bulan 1998, negeri ini sedang kisruh. Pak Harto, waktu itu dipaksa
turun dari jabatan presiden yang sudah digenggamnya selama 32 tahun. Kerusuhan
di banyak tempat, diikuti penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, khususnya di
kawasan Jakarta.
Belakangan,
saya baru mengerti bahwa kenapa sosok berkumis lebat itu sering terlihat adalah
karena dia tergabung dalam sejumlah tokoh intelektual
muslim yang meminta Soeharto untuk mundur. Cak Nun bahkan menjadi salah satu motor penting yang memberikan "nasihat" agar Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Bahkan
konon, frasa “ora dadi presiden ora patheken” di pidato kemunduran
Soeharto diadopsi dari ujaran Cak Nun.
Secara
lebih detail, Cak Nun menuliskan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia
itu dalam bukunya: Saat-saat
Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana.
Selepas 1998, Cak Nun memilih jalan sunyi. Ia menepi
dan menghindari sorot terang popularitas media. Ia menolak tampil di media
nasional manapun. Ia juga tak lagi menulis di kolom media. Padahal, Emha adalah
penulis kolom yang yahud. Bahasanya lincah, diksinya tidak tertebak, dan substansi
tulisannya selalu lengkap. Emha bahkan sempat menjadi penulis kolom berusia
paling muda di majalah Tempo. Padahal, Tempo adalah salah satu media yang
standarnya sangat ketat.
Satu lagi, Guru Emha adalah penulis yang sangat
produktif. Dari kolom, puisi, artikel, hingga buku. Setahu saya, bukunya sudah lahir
lebih dari 70 buku. Yang menarik, buku-buku tersebut terus dicetak ulang hingga
sekarang karena konteksnya yang dianggap masih sangat relevan dengan kondisi
sosial saat ini.
Perihal produktivitasnya, banyak cerita
menarik. Guru Emha konon bisa menulis artikel/esai dengan santai, sambil
memangku mesin ketik sekaligus menerima tamu dan berbincang-bincang di kediamannya.
Banyak orang berkomentar bahwa ia memiliki ilmu laduni yang ajaib sehingga membuatnya
bisa menulis dan memaparkan banyak hal dengan sangat mudah, yang relevansinya
mengabadi hingga kini. Tentu saja beliau menampik. Buatnya, menulis tak ubahnya
pekerjaan biasa saja. Ia pernah berujar bahwa ia menulis karena memang harus
menulis. Tak ada yang dilebih-lebihkan, kecuali karena ia memang menyukai
bekerja. “Allah Maha Pekerja. Saya makhluk pekerja,” ujarnya suatu ketika. Emha
hingga kini, dikenal sebagai sosok yang sering melakukan pekerjaan yang
dianggap remeh temeh, termasuk pekerjaan domestik di rumah tangga.
***
Dari Cak Nun atau Guru Emha, saya belajar
sangat banyak hal. Satu yang paling mendasar bagi saya adalah kesadaran bahwa
alam semesta ini bekerja tidak melulu dengan hal-hal yang bersifat materialisme
saja. Ada hal-hal yang kita tidak mengerti dengan cukup, yang menggerakkan
semuanya dalam satu kesatuan. Manusia modern seperti kita seringkali abai
dengan hal ini.
Dari Guru Emha pula saya belajar konsistensi,
bahkan soal perkara epistimologi. Menurut Guru Emha, kita kacau sejak hal-hal
yang paling kecil sekalipun, gara-gara tidak konsisten.
Yang paling penting, saya belajar kejenakaan
dari Guru Emha. Cak Nun sangat sering membuka cakrawala berpikir melalui guyonan
satir atau humor-humor yang segar. Jurus ini pula yang sering dia pakai untuk
mengkritisi banyak hal. Sejauh ini, toh juga belum ada yang tersinggung karena
kritiknya. Taktik ini memang jitu, dan sering saya tiru dalam mengomentari hal
yang membuat saya tidak sreg. Saya
teringat rumus beliau, “Mau tersinggung gimana, orang dia sudah saya ajak
ketawa sebelumnya”.
Satu lagi, Cak Nun sering mengajari saya secara
tidak langsung tentang kecintaan terhadap orang-orang yang selama ini tertindas,
orang-orang biasa yang menjalani hidup dengan sederhana, rakyat kecil yang ia
temui setiap hari.
Cak Nun seperti juru runding yang menjembatani
banyak konflik. Kerusuhan di Jakarta, konflik berdarah di Sampit, korban semburan
lumpur Lapindo, sampai perselisihan Sunni-Syiah di negeri ini. Saya pernah
melihat video Cak Nun menengahi konflik Sunni-Syiah ini. Saat suasana kian
memanas, Guru Emha mengambil alih forum, ia lalu meneriakkan shalawat, dan
semua golongan lalu bershalawat bersama, entah Sunni, entah Syiah.
Mantan pelatih timnas Indonesia U-19, Indra
Sjafri pernah bercerita di sebuah forum Kenduri Cinta. “Saya kalau nggak ada
Cak Nun, sudah ditembak di Myanmar,” katanya. Pelatih cerdas itu bercerita
bahwa saat itu ada mafia bola yang masuk hingga ke lingkaran terdekat timnas
untuk pengaturan skor. Indra Sjafri menolak, sehingga konon mafia marah dan berniat mencelakainya. Namun kemudian niat jahanam itu batal, begitu diketahui ada sosok Cak
Nun di sana. Cak Nun memang kenal baik dengan Indra Sjafri. Beliau salut dengan
perjuangan Indra Sjafri membangun timnas yang dilakoninya meski sempat tidak
menerima gaji sebanyak tujuhbelas bulan. Cak Nun datang langsung ke Myanmar
untuk memberi semangat dan dukungan moral ke semua punggawa timnas.
Konon, dibatalkannya niat oknum mafia bola
mencelakai Indra Sjafri karena mafia tersebut tidak berani kepada Cak Nun. Cak
Nun pernah memediasi konflik yang melibatkan keluarga besar oknum mafia bola
itu. Petuah dari ibu kandung oknum mafia itu, jangan sampai “berani” dengan Cak
Nun sebagai upaya balas budi yang dilakukan keluarga besarnya, karena Cak Nun
yang mendamaikan konflik.
Sudjiwo Tedjo, budayawan urakan itu, pernah
berujar bahwa satu-satunya orang yang ia anggap guru saat ini adalah Emha Ainun
Najib. Belakangan, ungkapan itu sampaikan di Twitter dengan bercanda bahwa Cak
Nun adalah “murid”-nya. Padahal, bila bertemu Cak Nun, Sudjiwo Tedjo akan
mencium tangannya dengan takzim.
Begitulah kekuatan karisma Cak Nun. Namun demikian,
Cak Nun adalah orang yang paling sering disalahpahami. Tulisannya kerap dikutip,
omongannya sering dipotong, atau pendapatnya dicuplik untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
tertentu. Terlebih saat polarisme politik belakangan. Ia diposisikan seolah-olah
mendukung golongan tertentu sekaligus anti terhadap golongan yang lain. Ditempatkan
seakan-akan mendukung salah satu pihak menjadi pemimpin yang disyaratkan sistem
pemilihan di negara ini. Padahal, tentu tidak. Bagi Cak Nun, yang paling
penting adalah kemaslahatan bagi rakyat kecil, golongan yang selama ini ia ayomi
dan ia asuh dengan telaten.
Mas Puthut EA seingat saya pernah bercuit bahwa
Cak Nun itu ibarat sambal. Sajian kuliner yang bercitarasa tinggi, adiluhung,
tapi tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Bila tidak, siap-siap saja diare.
Saya menyadari, bahwa kesan belajar dari Cak Nun atau Guru Emha akan
menjadi uraian yang sangat panjang. Tidak akan bisa satu tulisan cukup merangkum
semua impresi itu. Ada terlalu banyak cerita. Yang jelas, betapa beruntung
negeri ini memiliki orang seperti beliau.
Saya kira, saya hanya salah satu orang yang
bersyukur akan hal ini. Ada banyak orang di negeri ini yang mengamini hal yang
sama. Misalnya, Fahd Pahdepie. Intelektual muda (kelak saya kan menulis soal dia
di blog ini) misalnya mengungkapkan kekagumannya pada sosok Cak Nun melalui
tulisan yang ia rangkai dari judul-judul karya Cak Nun. Ia mengunggahnya saat
Cak Nun tepat berusia 67 tahun, Mei lalu. Berikut tulisannya, sekaligus mengakhiri
posting sederhana ini.
MUSYAWARAH PARA KIAI
: Untuk Emha Ainun Nadjib
Oleh Fahd Pahdepie
‘Dari Pojok Sejarah’, ‘Markesot Bertutur’. Di
‘Seribu Masjid Satu Jumlahnya’, alkisah para Kiai sedang bermusyawarah. Sebagai
perwakilan warga, turut hadir di sana ‘Doktorandus Mul’, ‘Mas Dukun’, bahkan
seorang lelaki yang terkenal dengan kisah ‘Keajaiban Lik Par’ karena ‘Geger
Wong Ngoyak Macan’. Hadir juga beberapa tamu, termasuk ‘Sunan Sableng dan
Baginda Farouq’.
Pada musyawarah itu, ‘Pak Kanjeng’ memulai
ceritanya tentang ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’. Tentang betapa ‘Indonesia
Bagian Sangat Penting dari Desa Saya’. Sebuah negeri yang ‘Sedang Tuhan pun
Cemburu’, ‘Kagum pada Orang Indonesia’. Di mana ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’
bisa begitu lepas dan bahagia seperti cerita-cerita lucu dalam ‘Folklore
Madura’.
Namun, ‘Kiai Sudrun Gugat’. Ia sama sekali
tidak setuju dan menganggap apa yang dikatakan Pak Kanjeng hanyalah ‘OPLeS:
Opini Plesetan’. ‘Kerajaan Indonesia’ adalah ‘Republik Gundul Pacul’. Negeri
ini ibarat ‘Perahu Retak’, katanya, ‘Kapal Nuh Abad 21’ yang justru ‘Allah
Merasa Heran’ karena kapal itu dikuasai ‘Iblis Nusantara Dajjal Dunia’ yang
berkomplot dengan ‘Kafir Liberal’. Dinahkodai oleh 'Pemimpin yang Tuhan',
padahal itu hanya GR saja, ‘Presiden Balkadaba’ yang hanya mementingkan ‘Yang
Terhormat Nama Saya’, membuat bangsanya jadi ‘Gelandangan di Kampung Sendiri’!
Mendengar Kiai Sudrun begitu penuh emosi dan
berapi-api, Markesot mengalihkan pandangannya ke sudut masjid. Kemudian menatap
seorang Kiai yang tak pernah mengenalkan namanya sendiri, Kiainya ‘Orang
Maiyah’, Kiai yang selalu tenang membacakan ‘Syair-syair Asmaul Husna’.
Darinya ‘Markesot Belajar Mengaji’, dari
‘Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai’ bahkan dari ‘Slilit Sang Kiai’. Darinya ia
belajar kesabaran bahwa ‘Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem’, seperti
laku yang diajarkan ‘Suluk Pesisiran’.
Melalui tutur lembut Sang Kiai ketika ‘Sinau
Bareng Markesot’ selama ini, ia belajar bahwa bahkan dari ‘Secangkir Kopi Jon
Pakir’ kita masih bisa menemukan harapan dari ‘Sesobek Buku Harian Indonesia’.
Belajar memahami ‘Nasionalisme Muhammad’ yang tidak pernah putus asa bahwa
‘Cahaya Maha Cahaya’ tidak akan meninggalkan apalagi berhenti mencintainya. Yang
meski kadang wahyu datang terlambat atau nubuat terasa meragukan, tetapi
‘Tidak. Jibril Tidak Pensiun’. Hanya ‘Allah Tidak Cerewet Seperti Kita’ sebab
barangkali kadang ‘Tuhan Pun Berpuasa’.
‘Markesot Bertutur Lagi’, bahwa tentang negeri
ini kita harus melakukan ‘Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan’,
sambil bermain cantik dengan ‘Bola-bola Kultural’, dalam rangka menyelamatkan
Indonesia dari ‘Titik Nadir Demokrasi’ agar tak terlempar ke ‘Keranjang Sampah’
sejarah dan peradaban.
Mendengar kematangan dan ketenangan Markesot,
Pak Kanjeng mengangguk-angguk. Ia sepakat bahwa ‘Demokrasi La Roiba Fih’
meskipun harus diperkuat dengan ‘Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah’. Jangan
sampai kita kembali menerapkan ‘Demokrasi Tolol Versi Saridin’ yang dulu membuat
kita gagal ‘Menyibak Kabut Saat-saat Terakhir bersama Soeharto’. Begitu absurd
sehingga hampir membuat bangsa ini ‘Mati Ketawa ala Refotnasi’. ‘Urusan Laut
Jangan Dibawa ke Darat’, katanya.
Namun, ‘Kiai Hologram’ punya pendapat lain. Ia
adalah 'Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki'. Katanya, Indonesia itu seksi
sekaligus agung seperti ‘BH’ seorang ibu. Darinya kita menemukan kegairahan
sekaligus kemuliaan, tergantung sudut pandang. Jika otak kita ngeres, maka yang
kita lihat hanya kesaruan. Jika pikiran kita jernih, bukankah dengannya air
susu kasih sayang dijaga dan dilindungi selama ini? Bayangkan jika ‘Istriku
Seribu’, katanya, tidakkah Indonesia begitu Indah seperti ‘Syair Lautan
Jilbab’, seperti ‘Sajak-sajak Sepanjang Jalan’ ketika kita bersepeda ‘Jogja-Indonesia
Pulang Pergi’?
Mendengar pendapat Kiai Hologram, Kiai Sudrun
naik pitam. Ia ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’. Ia begitu marah dengan pendapat
Kiai Hologram, menunjuk-nunjuknya sambil mengulang-ulang kalimat yang gelisah
itu: ‘Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu’. Rasanya ia ingin mendaftar semua
kegelisahannya dalam ‘99 untuk Tuhanku’ atau menulis ‘Surat kepada Kanjeng
Nabi’ tentang semua kekacauan ini. Ia ingin menggelar ‘Doa Mohon Kutukan’
karena sungguh Indonesia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan kalau bisa,
ia ingin ‘Abacadabra Kita Ngumpet’ saja.
Namun, tiba-tiba Kiai Sudrun terjengkang. Kini
ia meringkuk kesakitan. Jiwa santri Markesot segera membuatnya bangkit untuk
memeriksa apa gerangan yang terjadi pada Kiai Sudrun. Betapa terkejut ia melihat
‘Jejak Tinju Pak Kiai’ di dada Kiai Sudrun. Bagaimana ini bisa terjadi?
Markesot menghela nafas, berbahaya memang jika membuat Kiainya Orang Maiyah
marah. Bikin semua ‘Kiai Kocar-Kacir’ seperti ini.
Kini, musyawarah itu pun hening. Markesot
diminta mendekat oleh Kiai Maiyah untuk mengabarkan ‘Kenduri Cinta’, ‘Padang
Rembulan’, dan ‘Kado Muhammad’ untuk Indonesia. Bahwa kita harus mencintai
‘Indonesia Apa Adanya’, lebih banyak mendengarkan ‘Nyanyian Gelandangan’, ‘Tak
Mati-Mati’ ‘Menggambar Karikatur Cinta’ untuk negeri ini, menemukan ‘Sastra
yang Membebaskan’ sebagai ‘Doa Mencabut Kutukan’ sekaligus ‘Talbiyah Cinta’ dan
‘Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia’.
‘Jangan Cintai Ibu Pertiwi’ jika pada saat yang
sama kau ingin menghancurkannya. Berhentilah menyebut dirimu muslim jika gagal
memahami bahwa ‘Islam itu Rahmatan Lil Alamin, Bukan untuk Kamu Sendiri’.
Jangan menggelar ‘Sidang Para Setan’, jangan ‘Menyorong Rembulan’ di ‘Tikungan
Iblis’, jangan terlibat dalam ‘Segitiga Cinta’ untuk membersamai Iblis ‘Mencari
Buah Simalakama’. Sebab sejatinya ‘Iblis Tidak Butuh Pengikut’!
‘Jaman Wis Akhir’, jadilah ‘Santri-santri
Khidir’, jadilah ‘Duta dari Masa Depan’, ‘Daur’ lagi cintamu hingga jika negeri
ini harus ‘Lockdown 309 Tahun’ sekalipun engkau tetap bisa menemukan ‘Hikmah
Puasa’ dari semesta kejadianNya.
Usai Markesot menyampaikan semuanya, tiba-tiba
masjid dipenuhi ribuan jamaah. Di luar masjid, bahkan gelombang manusia terus
berdatangan. Berjuta-juta. Berpuluh-puluh juta. Markesot kemudian bergerak ke
tengah-tengah kerumunan itu. Sambil memegang pengeras suara, ia ‘Terus
Berjalan’ membelah lautan manusia. Ia membaca ‘Wirid Padang Bulan’, menyanyikan
‘Dangdut Kesejukan’ yang kemudian diikuti jutaan manusia menyerupai shalawat.
Di ujung kerumunan, Markesot menghilang. Lenyap
ditelan shalawat yang terus menggema. Pak Kanjeng, Kiai Sudrun dan Kiai
Hologram hanya bisa bertanya-tanya, ‘Siapa Sebenarnya Markesot?’
Bintaro, 27 Mei 2020
FAHD PAHDEPIE
*Ditulis untuk merayakan#67TahunCakNun. Tulisan
ini dirangkai dari judul-judul buku puisi, esai, cerpen, novel dan album yang
pernah ditulis Mbah Nun. Hampir seluruhnya sudah saya baca, saya dengarkan,
saya tonton (Tebak tahun berapa saja?). Meski saya belum pernah sekalipun
bertemu secara personal dengannya, Mbah Nun adalah salah satu guru terbesar
dalam hidup saya. Berkah dan sehat selalu, Mbah Nun. Ini hanya 'Kesaksian Orang
Biasa'.
Brokerage Calculator - for Calculate and Compare Brokerage Charges Online.
BalasHapus