Gambar diambil dari sini |
Di tengah deras arus media sosial
dan keriuhan internet saat ini, beraktivitas di blog adalah sebuah kemewahan
tersendiri.
Betapa tidak, mereka yang pernah
mendaku diri sebagai blogger atau narablog, sedikit yang masih betah di jagat
blogsphere dengan menikmati mengisi konten pribadi, melakukan blogwalking ke
blog jejaring, menitipkan komentar, lalu berlanjut di acara kopi darat bila
perlu.
Blog menjadi platform yang
ditinggalkan perlahan-lahan oleh banyak kalangan karena ada kanal yang terkesan lebih menyenangkan bernama media sosial. Netizen atau warganet
diberikan banyak pilihan untuk memilih jalan selain blog dalam berekspresi, berargumentasi,
atau sekadar mencoba tampil keminter dan bergenit-genit. Menulis di blog lantas
menjadi jalan yang kelewat sepi, jauh dari hiruk pikuk, sekaligus menjadi
pilihan yang kurang populer.
Karenanya, sekali lagi, menulis
di blog sekarang seakan menjadi kemewahan yang tidak bisa dinikmati oleh banyak
orang. Dibutuhkan keberanian yang lebih untuk menulis di blog dan berbagi lewat
cara yang sudah mulai ditinggalkan warganet. Kemewahan blog menjadi lebih
terasa sebab untuk menulis di blog dengan alasan apapun,memerlukan upaya yang
lebih dibandingkan pilihan menggunakan media sosial yang lazim dipilih untuk
saat ini.
Semua tentu sepakat, bahwa
menulis di blog dalam beberapa paragraf
akan terasa lebih sulit dibandingkan dengan sekadar menulis beberapa
larik kalimat untuk update status, bercuit di twitter, atau unggah gambar dengan
polesan beberapa filter untuk meneguhkan eksistensi masing-masing. Kemudahan
yang lebih dimiliki platform media sosial lain, membuat blog ditinggalkan
karena dirasa kalah praktis, kalah cepat, serta kalah efektif.
Pada dasarnya, manusia adalah
makhluk bercerita. Sejak sebermula peradaban manusia berlangsung, naluri
manusia untuk berbagi kisah terus berlangsung hingga sekarang lewat berbagai
macam cara. Mulai coretan-coretan di dinding gua sampai foto-foto makanan yang
diunggah sebelum dikunyah adalah wujud upaya manusia untuk menceritakan keberadaannya kepada orang
lain. Upaya bercerita ini juga berjalan seiring dengan proses seleksi alam.
Kanal yang dirasa paling mudah, cepat dan menyenangkan adalah kanal yang cenderung
lebih banyak dipilih.
Kita bisa membaca pola yang
muncul dari kanal-kanal ini. Kanal yang dirasa lebih cepat—dan karenanya
menjadikannya laris dipilih, membuat banyak orang untuk mengikuti pola yang
cepat pula. Ide dan ekspresi yang cepat dihadirkan membuat reaksi yang
dihadirkan sebagai mekanisme umpan balik berlangsung cepat pula. Peluang bias
dan salah paham juga lebih besar karena uraian yang kurang. Spektrum wacananya
menjadi lebih sempit dengan kedalaman yang lebih dangkal. Terlalu asyik di
kanal yang cepat akan mengajak kita untuk cenderung menikmati permukaan wacana
saja, mengabaikan kedalaman.
Blog menghadirkan pilihan dengan
pola yang berbeda. Untuk menulis di blog, harus melihat wacana lebih dalam,
menggali sumber lebih banyak, atau upaya berpikir yang tidak terlalu reaktif.
Oke, silakan anggap saya berlebihan, tapi kalau boleh sedikit meralat tulisan di
kalimat sebelumnya, kita harus mengakui bahwa menulis di blog dengan jenis
tulisan keluh kesah dan nyampah
sekalipun, memberi syarat kita harus mengurainya lebih panjang. Menulis di blog
dan mengakrabi blogsphere—bagi saya pribadi, lebih menawarkan kedalaman dan
keluasan wacana yang kurang ditawarkan media sosial lain.
Tentu tidak ada yang melarang
menulis di blog dengan konten hanya satu kalimat bahkan satu kata, tapi itu
akan jauh dari asas keefektifan. Sebaliknya, beragam media sosial yang ada juga
tidak ada yang melarang untuk menulis status, cuitan, dan caption lebih
panjang. Namun media sosial ini tidak dilahirkan untuk berpanjang-panjang sebab
akan dianggap membosankan.
Tapi jangan meremehkan pula
kekuatan media sosial. Banyak perubahan yang hadir bermula dari kicau di
twitter sekalipun. Jangan lupakan Revolusi Melati di Timur Tengah beberapa tahun
silam yang apinya dipantik lewat cuitan di media sosial.
Bagaimanapun, saya mencoba untuk tidak naif dalam melihat gejala dan persoalan
melalui upaya menolak generalisasi. Dalam melihat persoalan, saya seringkali
memilih untuk mengamati kecenderungan-kecenderungan yang muncul.
Dan selayaknya kita mengakui,
derasnya arus media sosial yang terlewat riuh membuat kita cenderung enggan
memasuki kedalaman dan cenderung ribut oleh remeh temeh persoalan serta melihat
upaya-upaya orang agar terlihat menjadi penting lewat cara-cara yang tidak
begitu penting.
Saya sebenarnya memilih
mendudukkan persoalan blog dan media sosial lain yang lebih banyak digunakan
warganet ini sekadar pada persoalan memilih saja. Aktivitas blogging saya ibaratkan menikmati semangkuk Soto Madura
dengan jeroannya sekaligus. Bermain media sosial saya ibaratkan menikmati
kacang goreng. Keduanya memiliki cara olah, cara makan, wadah, dan penikmatnya
sendiri-sendiri.Terlalu banyak makan kacang goreng akan membuat kita lupa tentang
porsi makanan berat. Sedangkan terlalu banyak menyantap Soto Madura juga membuat
kita lupa kenikmatan camilan. Tentu saja, seporsi Soto Madura dengan jeroannya
lebih memiliki “kedalaman” dibanding sebutir kacang. Tapi sekali lagi, semua
hal punya wadahnya sendiri-sendiri, jangan dipaksakan.
Upaya blogging yang lebih
membutuhkan banyak bumbu sebagaimana Soto Madura diramu itulah yang membuat
blog bagi saya adalah platform yang lebih mewah untuk saat ini. Tapi saya
mengamini yang diujar banyak orang: berlebih-lebihan dalam persoalan apa saja
itu kurang baik. Baik dalam persoalan kemewahan, semangkuk soto dengan jeroan,
juga kacang goreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar