Kamis, 08 Februari 2018

Blog, Soto Madura, dan Kemewahan






Gambar diambil dari sini

Di tengah deras arus media sosial dan keriuhan internet saat ini, beraktivitas di blog adalah sebuah kemewahan tersendiri.

Betapa tidak, mereka yang pernah mendaku diri sebagai blogger atau narablog, sedikit yang masih betah di jagat blogsphere dengan menikmati mengisi konten pribadi, melakukan blogwalking ke blog jejaring, menitipkan komentar, lalu berlanjut di acara kopi darat bila perlu.

Blog menjadi platform yang ditinggalkan perlahan-lahan oleh banyak kalangan karena ada kanal yang terkesan lebih menyenangkan bernama media sosial. Netizen atau warganet diberikan banyak pilihan untuk memilih jalan selain blog dalam berekspresi, berargumentasi, atau sekadar mencoba tampil keminter dan bergenit-genit. Menulis di blog lantas menjadi jalan yang kelewat sepi, jauh dari hiruk pikuk, sekaligus menjadi pilihan yang kurang populer.

Karenanya, sekali lagi, menulis di blog sekarang seakan menjadi kemewahan yang tidak bisa dinikmati oleh banyak orang. Dibutuhkan keberanian yang lebih untuk menulis di blog dan berbagi lewat cara yang sudah mulai ditinggalkan warganet. Kemewahan blog menjadi lebih terasa sebab untuk menulis di blog dengan alasan apapun,memerlukan upaya yang lebih dibandingkan pilihan menggunakan media sosial yang lazim dipilih untuk saat ini.

Semua tentu sepakat, bahwa menulis di blog dalam beberapa paragraf  akan terasa lebih sulit dibandingkan dengan sekadar menulis beberapa larik kalimat untuk update status, bercuit di twitter, atau unggah gambar dengan polesan beberapa filter untuk meneguhkan eksistensi masing-masing. Kemudahan yang lebih dimiliki platform media sosial lain, membuat blog ditinggalkan karena dirasa kalah praktis, kalah cepat, serta kalah efektif. 

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk bercerita. Sejak sebermula peradaban manusia berlangsung, naluri manusia untuk berbagi kisah terus berlangsung hingga sekarang lewat berbagai macam cara. Mulai coretan-coretan di dinding gua sampai foto-foto makanan yang diunggah sebelum dikunyah adalah wujud upaya manusia  untuk menceritakan keberadaannya kepada orang lain. Upaya bercerita ini juga berjalan seiring dengan proses seleksi alam. Kanal yang dirasa paling mudah, cepat dan menyenangkan adalah kanal yang cenderung lebih banyak dipilih. 

Kita bisa membaca pola yang muncul dari kanal-kanal ini. Kanal yang dirasa lebih cepat—dan karenanya menjadikannya laris dipilih, membuat banyak orang untuk mengikuti pola yang cepat pula. Ide dan ekspresi yang cepat dihadirkan membuat reaksi yang dihadirkan sebagai mekanisme umpan balik berlangsung cepat pula. Peluang bias dan salah paham juga lebih besar karena uraian yang kurang. Spektrum wacananya menjadi lebih sempit dengan kedalaman yang lebih dangkal. Terlalu asyik di kanal yang cepat akan mengajak kita untuk cenderung menikmati permukaan wacana saja, mengabaikan kedalaman. 

Blog menghadirkan pilihan dengan pola yang berbeda. Untuk menulis di blog, harus melihat wacana lebih dalam, menggali sumber lebih banyak, atau upaya berpikir yang tidak terlalu reaktif. Oke, silakan anggap saya berlebihan, tapi kalau boleh sedikit meralat tulisan di kalimat sebelumnya, kita harus mengakui bahwa menulis di blog dengan jenis tulisan keluh kesah dan nyampah sekalipun, memberi syarat kita harus mengurainya lebih panjang. Menulis di blog dan mengakrabi blogsphere—bagi saya pribadi, lebih menawarkan kedalaman dan keluasan wacana yang kurang ditawarkan media sosial lain. 

Tentu tidak ada yang melarang menulis di blog dengan konten hanya satu kalimat bahkan satu kata, tapi itu akan jauh dari asas keefektifan. Sebaliknya, beragam media sosial yang ada juga tidak ada yang melarang untuk menulis status, cuitan, dan caption lebih panjang. Namun media sosial ini tidak dilahirkan untuk berpanjang-panjang sebab akan dianggap membosankan. 

Tapi jangan meremehkan pula kekuatan media sosial. Banyak perubahan yang hadir bermula dari kicau di twitter sekalipun. Jangan lupakan Revolusi Melati di Timur Tengah beberapa tahun silam yang apinya dipantik lewat cuitan di media sosial. Bagaimanapun, saya mencoba untuk tidak naif dalam melihat gejala dan persoalan melalui upaya menolak generalisasi. Dalam melihat persoalan, saya seringkali memilih untuk mengamati kecenderungan-kecenderungan yang muncul. 

Dan selayaknya kita mengakui, derasnya arus media sosial yang terlewat riuh membuat kita cenderung enggan memasuki kedalaman dan cenderung ribut oleh remeh temeh persoalan serta melihat upaya-upaya orang agar terlihat menjadi penting lewat cara-cara yang tidak begitu penting. 

Saya sebenarnya memilih mendudukkan persoalan blog dan media sosial lain yang lebih banyak digunakan warganet ini sekadar pada persoalan memilih saja. Aktivitas blogging saya  ibaratkan menikmati semangkuk Soto Madura dengan jeroannya sekaligus. Bermain media sosial saya ibaratkan menikmati kacang goreng. Keduanya memiliki cara olah, cara makan, wadah, dan penikmatnya sendiri-sendiri.Terlalu banyak makan kacang goreng akan membuat kita lupa tentang porsi makanan berat. Sedangkan terlalu banyak menyantap Soto Madura juga membuat kita lupa kenikmatan camilan. Tentu saja, seporsi Soto Madura dengan jeroannya lebih memiliki “kedalaman” dibanding sebutir kacang. Tapi sekali lagi, semua hal punya wadahnya sendiri-sendiri, jangan dipaksakan. 

Upaya blogging yang lebih membutuhkan banyak bumbu sebagaimana Soto Madura diramu itulah yang membuat blog bagi saya adalah platform yang lebih mewah untuk saat ini. Tapi saya mengamini yang diujar banyak orang: berlebih-lebihan dalam persoalan apa saja itu kurang baik. Baik dalam persoalan kemewahan, semangkuk soto dengan jeroan, juga kacang goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar