Minggu, 19 Juni 2016

Pesan dari Naro Satkamda

 Warung Naro Satkamda

Hujan baru reda ketika saya memasuki Ambulu, sebuah kecamatan kecil yang berjarak sekitar 25 kilometer menuju arah selatan dari pusat kota Jember. Jalanan tidak begitu ramai, termasuk di warung-warung kopi. Udara yang dingin dan situasi yang tidak riuh, sebenarnya cukup menggoda saya untuk singgah sejenak di salah satu warung untuk menikmati suasana malam di Ambulu dengan ngopi sambil mengunyah beberapa kudapan. Namun saya memilih menampik pilihan itu dengan terus mengendarai motor tua saya demi menikmati santapan malam yang lebih menggoda.

Saya sampai di perempatan utama Ambulu. Bila memilih arah lurus, sekitar 12 kilometer, saya akan sampai di Pantai Watu Ulo dan Papuma. Namun saya membelokkan kendali motor ke arah kiri. Dan sekitar 25 meter kemudian saya akhirnya sampai di tempat tujuan.

Ada wajah yang tersenyum kepada saya begitu saya terlihat memarkir motor. Dia adalah Ganesh, pengelola warung Naro Satkamda yang saya datangi malam itu untuk bersantap. Gesturnya sangat bersahabat, mempersilakan saya untuk masuk ke warungnya dengan santun. Setelah menyapa, Ganesh kembali melayani pengunjung lain di warung itu.

Ayah Ganesh adalah penjual sate terkenal. Namanya Jadi, namun lebih akrab disapa Naro. Orangnya nyentrik. Kumisnya melintang lebat, jari-jarinya dihias cincin berbatu akik, dan suka mengendarai motor besar. Setahu saya, Pak Jadi alias Naro adalah pengagum berat Soekarno. Pak Naro membuka warung sate kambing sejak tahun 1983. Dia menamai warungnya dengan Naro Satkamda. Satkamda sendiri adalah akronim dari sate kambing muda. Di masa mudanya, Pak Naro berpindah-pindah tempat untuk berjualan sate. Setelah sempat berjualan di sekitar pantai wisata Watu Ulo, ia akhirnya membuka warung sate di depan tempat pemotongan kayu milik Perhutani.

Ganesh adalah kakak kelas saya di SMU, namun saya baru benar-benar mengenalnya sekitar empat tahun yang lalu di sebuah siang yang berdarah. Iya, benar-benar berdarah. Saya masih ingat, saat itu saya sedang berjaga di UGD rumah sakit tempat saya bekerja. Ganesh datang dengan dahi yang robek sepanjang sekitar 7-8 cm. Darah terus mengucur deras. Lukanya menganga lebar dan dalam, hingga lapisan tulang tengkoraknya terlihat. Ganesh mengaku kepalanya kerowak usai terhantam pecahan gerinda yang terlempar ketika dia memotong besi. Ia saat itu sedang membuat alat mekanik yang berfungsi untuk menjaga kestabilan kamera. Alat itu dipesan oleh relasinya yang sedang berbisnis pertunjukan. Ganesh bekerja dengan peralatan sekadarnya, menyampingkan faktor kemanan kerja. Sayangnya, hari itu ia sedang sial.

Setelah dilakukan operasi minor di UGD, Ganesh boleh pulang. Beberapa hari berselang, saya sempat berkunjung ke rumahnya untuk merawat luka bekas operasinya. Dia mengaku jera dan akan menghentikan aktivitasnya membuat alat-alat untuk bisnis pertunjukan tanpa peralatan yang memadai.

Setelah kejadian nahas itu, Ganesh sempat menjadi guru kesenian di sebuah sekolah swasta kecil di Ambulu selama beberapa bulan. Ganesh memang memiliki atensi yang tinggi terhadap dunia kesenian. Selepas SMU, ia sempat kuliah di ISI Yogyakarta dengan konsentrasi studi teater. Relasinya dengan beberapa kawan bisnis pertunjukan juga didapat dari teman-temannya di Yogya.

* * *

“Mau makan di sini mas?”
Seorang pelayan dengan sopan bertanya kepada saya. Dengan tersenyum saya mengangguk. “Berapa tusuk?” imbuhnya.
“Sepuluh saja, mas. Yang 20 tusuk dibungkus. Nasinya dicampur gulai kambing. Minumnya jeruk hangat saja,” jawab saya. Mas pelayan dengan sopan mencatat pesanan saya dan segera melanjutkan pekerjaannya.


Sate Kambing Muda dan Nasi Gulai
Sate Kambing Muda dan Nasi Gulai © Sahad Bayu
 
Desember tahun lalu, saya mendengar kabar duka. Pak Naro, ayah Ganesh itu, meninggal dunia mendadak. Menurut kabar, beliau dihantam oleh penyakit stroke. Besar kemungkinan pembuluh darahnya pecah, dan nyawa beliau tak tertolong walau sudah berupaya dilarikan ke rumah sakit. Setelah Pak Naro tiada, warung sate Naro Satkamda kini digawangi Ganesh. Ia tak lagi berteater, menjadi guru kesenian, dan membuat alat untuk bisnis pertunjukan.

Saya menunggu pesanan saya sambil mengamati jalanan yang perlahan mulai ramai. Tak jauh di sisi seberang warung Naro Satkamda, berdiri gedung tua yang kini dialihfungsikan menjadi pos polisi. Saya memutar ingatan saya tentang gedung itu. Saat saya masih kecil, gedung tua itu adalah gedung bioskop. Dulu saya sering berkunjung ke sana untuk menuntaskan rasa penasaran saya yang bergolak karena hormon di masa puber.

Saat itu, di akhir pekan, saya dan kawan-kawan beberapa kali menonton film-film yang sebenarnya terlarang untuk usia kami. Saya tersenyum sendiri mengingat kenakalan kami yang mencuri-curi kesempatan untuk menyaksikan akting berani primadona jaman itu. Dari Ayu Azhari, Inneke Koesherawati, Selly Marcelina, hingga Nurul Arifin. Oh iya, jangan lupakan Eva Arnaz yang terkenal dengan bulu ketiaknya.
Ingatan saya tentang kebadungan diri sendiri mendadak kandas setelah seorang pelayan datang dan memersilakan saya menikmati hidangan. Ada sedikit perbedaan di Naro Satkamda ketika dikelola oleh Ganesh, dengan sewaktu dikelola bapaknya. Kini tampilan sate dan gulai kambing tidak semenor dulu. Sangat sederhana. Tidak ada bawang merah, tidak ada sambal terpisah. Namun soal rasa, relatif tidak berbeda. Dagingnya berasal dari kambing pilihan, terasa sangat empuk, sedikit lemak, dan tidak ada bau prengus kambing. Proses pengirisan daging dan penusukannya pun masih dilakukan langsung di depan warung, sebagaimana saat Pak Naro masih memimpin warung ini. Sambal kacangnya juga masih juara. Tidak terlalu encer, rasa bumbunya khas dan bisa meresap ke serat yang paling dalam. Penampilan saat penyajian yang biasa saja pun jadi termaafkan.

Ganesh memang mengubah beberapa hal di warung Naro Satkamda. Dari segi pengelolaan, misalnya. Ganesh memperkuat branding warung amanah bapaknya ini. Ia memindahkan lokasi warung dari pinggir jalan di depan tempat pemotongan kayu ke area yang lebih luas. Warungnya disulap dengan nuansa merah, warna khas marhaen, mengingat bapaknya adalah Soekarnois. Tagline-nya pun menggigit: harga merakyat, rasa konglomerat.

Alur pembelian dan pelayanan lebih ditertibkan dengan sistem penomoran. Sistem pembayaran juga diperbaiki dengan menggunakan komputer. Karyawannya juga diperbaiki penampilannya dengan memakai seragam bertuliskan “Dinasti Naro”. Ganesh seakan mengamalkan pesan tidak tertulis yang disampaikan bapaknya lewat penampilan dan sikap hidup sang bapak: usia boleh menua, namun jiwa harus tetap muda.
Saya kemudian pergi ke kasir dan membayar tagihan saya. Sebelum pulang saya sempat berbincang sejenak dengan Ganesh. Ganesh memberitahukan nomor ponselnya yang berganti. Dia kemudian berseloroh, “Jangan doakan saya sakit, Mas”. Rupanya dia tahu bahwa saya baru pulang dari rumah sakit. Saya tertawa lepas, lalu pamit pulang.

Warung Naro Satkamda mungkin adalah anomali. Di saat waktu yang terus berjalan membuat usia kian surut dan gairah kian redup, warung ini justru sebaliknya. Naro Satkmada justru kian tampak muda dan bergairah.
Menuju tempat parkir, saya terdiam sejenak setelah melihat sebuah spanduk yang membentang di atas warung. Saya membacanya sambil tersenyum. Setelah membaca pesan di spanduk itu, saya yakin, tidak ada koruptor di negeri ini yang cukup nyali untuk singgah di warung Naro Satkamda. Betapa tidak, spanduk di atas warung itu bertuliskan pesan: “Lawan Koruptor dan Pengkhianat Negara!!”

Ada yang berani?

===========================================================================================================

Tulisan ini tayang di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar