Hujan baru reda ketika saya memasuki Ambulu, sebuah kecamatan kecil
yang berjarak sekitar 25 kilometer menuju arah selatan dari pusat kota
Jember. Jalanan tidak begitu ramai, termasuk di warung-warung kopi.
Udara yang dingin dan situasi yang tidak riuh, sebenarnya cukup menggoda
saya untuk singgah sejenak di salah satu warung untuk menikmati suasana
malam di Ambulu dengan ngopi sambil mengunyah beberapa kudapan.
Namun saya memilih menampik pilihan itu dengan terus mengendarai motor
tua saya demi menikmati santapan malam yang lebih menggoda.
Saya
sampai di perempatan utama Ambulu. Bila memilih arah lurus, sekitar 12
kilometer, saya akan sampai di Pantai Watu Ulo dan Papuma. Namun saya
membelokkan kendali motor ke arah kiri. Dan sekitar 25 meter kemudian
saya akhirnya sampai di tempat tujuan.
Ada wajah yang tersenyum
kepada saya begitu saya terlihat memarkir motor. Dia adalah Ganesh,
pengelola warung Naro Satkamda yang saya datangi malam itu untuk
bersantap. Gesturnya sangat bersahabat, mempersilakan saya untuk masuk
ke warungnya dengan santun. Setelah menyapa, Ganesh kembali melayani
pengunjung lain di warung itu.
Ayah Ganesh adalah penjual sate
terkenal. Namanya Jadi, namun lebih akrab disapa Naro. Orangnya
nyentrik. Kumisnya melintang lebat, jari-jarinya dihias cincin berbatu
akik, dan suka mengendarai motor besar. Setahu saya, Pak Jadi alias Naro
adalah pengagum berat Soekarno. Pak Naro membuka warung sate kambing
sejak tahun 1983. Dia menamai warungnya dengan Naro Satkamda. Satkamda
sendiri adalah akronim dari sate kambing muda. Di masa mudanya, Pak Naro
berpindah-pindah tempat untuk berjualan sate. Setelah sempat berjualan
di sekitar pantai wisata Watu Ulo, ia akhirnya membuka warung sate di
depan tempat pemotongan kayu milik Perhutani.
Ganesh adalah kakak
kelas saya di SMU, namun saya baru benar-benar mengenalnya sekitar empat
tahun yang lalu di sebuah siang yang berdarah. Iya, benar-benar
berdarah. Saya masih ingat, saat itu saya sedang berjaga di UGD rumah
sakit tempat saya bekerja. Ganesh datang dengan dahi yang robek
sepanjang sekitar 7-8 cm. Darah terus mengucur deras. Lukanya menganga
lebar dan dalam, hingga lapisan tulang tengkoraknya terlihat. Ganesh
mengaku kepalanya kerowak usai terhantam pecahan gerinda yang terlempar
ketika dia memotong besi. Ia saat itu sedang membuat alat mekanik yang
berfungsi untuk menjaga kestabilan kamera. Alat itu dipesan oleh
relasinya yang sedang berbisnis pertunjukan. Ganesh bekerja dengan
peralatan sekadarnya, menyampingkan faktor kemanan kerja. Sayangnya,
hari itu ia sedang sial.
Setelah dilakukan operasi minor di UGD,
Ganesh boleh pulang. Beberapa hari berselang, saya sempat berkunjung ke
rumahnya untuk merawat luka bekas operasinya. Dia mengaku jera dan akan
menghentikan aktivitasnya membuat alat-alat untuk bisnis pertunjukan
tanpa peralatan yang memadai.
Setelah kejadian nahas itu, Ganesh
sempat menjadi guru kesenian di sebuah sekolah swasta kecil di Ambulu
selama beberapa bulan. Ganesh memang memiliki atensi yang tinggi
terhadap dunia kesenian. Selepas SMU, ia sempat kuliah di ISI Yogyakarta
dengan konsentrasi studi teater. Relasinya dengan beberapa kawan bisnis
pertunjukan juga didapat dari teman-temannya di Yogya.
* * *
“Mau makan di sini mas?”
“Mau makan di sini mas?”
Seorang pelayan dengan sopan bertanya kepada saya. Dengan tersenyum saya mengangguk. “Berapa tusuk?” imbuhnya.
“Sepuluh
saja, mas. Yang 20 tusuk dibungkus. Nasinya dicampur gulai kambing.
Minumnya jeruk hangat saja,” jawab saya. Mas pelayan dengan sopan
mencatat pesanan saya dan segera melanjutkan pekerjaannya.
Desember
tahun lalu, saya mendengar kabar duka. Pak Naro, ayah Ganesh itu,
meninggal dunia mendadak. Menurut kabar, beliau dihantam oleh penyakit
stroke. Besar kemungkinan pembuluh darahnya pecah, dan nyawa beliau tak
tertolong walau sudah berupaya dilarikan ke rumah sakit. Setelah Pak
Naro tiada, warung sate Naro Satkamda kini digawangi Ganesh. Ia tak lagi
berteater, menjadi guru kesenian, dan membuat alat untuk bisnis
pertunjukan.
Saya menunggu pesanan saya sambil mengamati jalanan
yang perlahan mulai ramai. Tak jauh di sisi seberang warung Naro
Satkamda, berdiri gedung tua yang kini dialihfungsikan menjadi pos
polisi. Saya memutar ingatan saya tentang gedung itu. Saat saya masih
kecil, gedung tua itu adalah gedung bioskop. Dulu saya sering berkunjung
ke sana untuk menuntaskan rasa penasaran saya yang bergolak karena
hormon di masa puber.
Saat itu, di akhir pekan, saya dan
kawan-kawan beberapa kali menonton film-film yang sebenarnya terlarang
untuk usia kami. Saya tersenyum sendiri mengingat kenakalan kami yang
mencuri-curi kesempatan untuk menyaksikan akting berani primadona jaman
itu. Dari Ayu Azhari, Inneke Koesherawati, Selly Marcelina, hingga Nurul
Arifin. Oh iya, jangan lupakan Eva Arnaz yang terkenal dengan bulu
ketiaknya.
Ingatan saya tentang kebadungan diri sendiri mendadak
kandas setelah seorang pelayan datang dan memersilakan saya menikmati
hidangan. Ada sedikit perbedaan di Naro Satkamda ketika dikelola oleh
Ganesh, dengan sewaktu dikelola bapaknya. Kini tampilan sate dan gulai
kambing tidak semenor dulu. Sangat sederhana. Tidak ada bawang merah,
tidak ada sambal terpisah. Namun soal rasa, relatif tidak berbeda.
Dagingnya berasal dari kambing pilihan, terasa sangat empuk, sedikit
lemak, dan tidak ada bau prengus kambing. Proses pengirisan
daging dan penusukannya pun masih dilakukan langsung di depan warung,
sebagaimana saat Pak Naro masih memimpin warung ini. Sambal kacangnya
juga masih juara. Tidak terlalu encer, rasa bumbunya khas dan bisa
meresap ke serat yang paling dalam. Penampilan saat penyajian yang biasa
saja pun jadi termaafkan.
Ganesh memang mengubah beberapa hal di warung Naro Satkamda. Dari segi pengelolaan, misalnya. Ganesh memperkuat branding warung
amanah bapaknya ini. Ia memindahkan lokasi warung dari pinggir jalan di
depan tempat pemotongan kayu ke area yang lebih luas. Warungnya disulap
dengan nuansa merah, warna khas marhaen, mengingat bapaknya adalah
Soekarnois. Tagline-nya pun menggigit: harga merakyat, rasa konglomerat.
Alur
pembelian dan pelayanan lebih ditertibkan dengan sistem penomoran.
Sistem pembayaran juga diperbaiki dengan menggunakan komputer.
Karyawannya juga diperbaiki penampilannya dengan memakai seragam
bertuliskan “Dinasti Naro”. Ganesh seakan mengamalkan pesan tidak
tertulis yang disampaikan bapaknya lewat penampilan dan sikap hidup sang
bapak: usia boleh menua, namun jiwa harus tetap muda.
Saya
kemudian pergi ke kasir dan membayar tagihan saya. Sebelum pulang saya
sempat berbincang sejenak dengan Ganesh. Ganesh memberitahukan nomor
ponselnya yang berganti. Dia kemudian berseloroh, “Jangan doakan saya
sakit, Mas”. Rupanya dia tahu bahwa saya baru pulang dari rumah sakit.
Saya tertawa lepas, lalu pamit pulang.
Warung Naro Satkamda
mungkin adalah anomali. Di saat waktu yang terus berjalan membuat usia
kian surut dan gairah kian redup, warung ini justru sebaliknya. Naro
Satkmada justru kian tampak muda dan bergairah.
Menuju tempat
parkir, saya terdiam sejenak setelah melihat sebuah spanduk yang
membentang di atas warung. Saya membacanya sambil tersenyum. Setelah
membaca pesan di spanduk itu, saya yakin, tidak ada koruptor di negeri
ini yang cukup nyali untuk singgah di warung Naro Satkamda. Betapa
tidak, spanduk di atas warung itu bertuliskan pesan: “Lawan Koruptor dan Pengkhianat Negara!!”
Ada yang berani?
===========================================================================================================
Tulisan ini tayang di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar