![]() |
Gambar diambil dari sini |
Ernesto
Che Guevara, pejuang revolusi yang ikonik itu, pernah menginginkan ajalnya
dijemput saat ia bergerilya di hutan, bukan saat berbaring di ranjang.
Soe Hok-Gie, aktivis “legendaris” Indonesia, juga yang pernah menulis di
bukunya, Catatan Seorang
Demonstran, tentang hal serupa. Katanya, “Orang-orang seperti kita
tidak pantas mati di atas tempat tidur.” Kedua orang ini rela hidupnya
tamat di tempat mereka berjuang dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Lantas,
adakah pesepakbola yang ingin menggapai batas akhir hidupnya di lapangan hijau?
Tak
ada yang tahu apakah pertanyaan tersebut pernah melintas di kepala seorang
Patrick Ekeng. Namun, dunia tahu bahwa beberapa hari yang lalu dia bermain bola
untuk terakhir kalinya saat klub yang ia bela, Dinamo Bucharest, melawan
Viitorul Ionstanta pada lanjutan Liga Rumania. Pada menit ketujuh, segalanya
tampak gelap bagi Ekeng. Saat berjalan, napasnya tiba-tiba memberat dan
kemudian dia ambruk, tanpa bisa bangun lagi.
Rekan
maupun lawannya panik, sambil berharap bantuan medis segera datang. Ternyata
maut lebih sigap dari tim medis. Nyawa Ekeng tak tertolong. Dia mengalami
kematian mendadak akibat henti jantung/SCD (Sudden
Cardiac Death) karena masalah jantung yang didiagnosis sebagai hypertrophy cardiomyopathy.
Bagi
Dinamo Bucharest, ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, ada nama Catalin
Hildan yang juga meninggal di atas lapangan. Di masa jayanya, ia adalah kapten
klub yang berandil besar terhadap berakhirnya sembilan tahun puasa gelar Dinamo
Bucharest.
Hildan
sempat masuk dalam daftar skuat timnas Rumania di Piala Eropa 2000, walau tak
bermain satu partai pun. Tanggal 5 Oktober 2000, pemain ini tiba-tiba
tersungkur saat berjalan dan langsung meninggal. Untuk mengenang jasanya,
sektor utara stadion kandang Dinamo Bucharest diberi nama Peluza Catalin Hildan (Catalin Hildan Stand).
Penyebab meninggalnya Catalin Hildan juga sudden
cardiac death akibat penyakit jantung.
Selain
dua nama di atas, ingatan pecinta sepakbola akan pemain yang meninggal mendadak
saat bermain bola juga tertuju pada Marc Vivin Foe di Piala Konfederasi pada
2003. Jangan lupakan pula kematian pemain Sevilla, Antonio Puerta,
pada 2007, kala klubnya menjamu Getafe di La Liga. Kematian Puerta membuat klub
mengabadikan nomor punggungnya untuk menghormati sang pemain. Di daratan
Italia, nama Piermario Morosini hadir untuk menambah daftar pemain yang
meninggal mendadak di lapangan hijau. Pemain Livorno ini meninggal ketika
bermain melawan Pascara pada 2012. Dari semua nama di atas, mereka meninggal
karena penyebab yang relatif sama, yakni SCD yang diakibatkan berbagai
tipe penyakit jantung.
Apa
yang Sebenarnya Terjadi?
Sudden
Cardiac Death (SCD)
menjadi momok yang mengintai banyak olahragawan, termasuk pesepakbola. Data
dari 1966 hingga 2004 menunjukkan 1100 kasus SCD terjadi pada olahragawan di
seluruh dunia. Sepakbola sendiri menyumbang lebih dari seperempatnya.
Penyebab
SCD berasal dari beragam penyakit jantung, mulai dari penumpukan sumbatan pada
arteri (atherosclerosis),
radang pada otot jantung (miokarditis), kematian otot jantung (cardiomyopati), hingga
masalah impuls listrik jantung yang mengakibatkan perubahan irama (aritmia). Dari semua penyakit
tersebut, manifestasi yang paling sering dan memicu SCD adalah kejadian Ventricular Fibrilation (VF).
Pada
kejadian VF, jantung pemain tidak memompa darah, irama dan listrik jantung
kacau sehingga jantung hanya bergetar tanpa mengejeksikan darah ke sistem
peredaran darah. Alhasil, suplai darah nihil (termasuk ke otak), sehingga
pemain biasanya kejang.
Penting
diketahui, berhentinya suplai darah akibat jantung yang tidak memompa ini
ditolerir maksimal 2-4 menit. Lebih dari itu, terjadi kerusakan otak yang
permanen. Jantung yang hanya bergetar ini terjadi akibat kerusakan koordinasi
di hampir semua bagian jantung. Fungsi otomatis jantung yang paling akhir
mengambil alih untuk mengatasi kerusakan koordinasi, namun karena letaknya di
area paling bawah (ventrikel) jantung tidak menggenjot darah, melainkan hanya mampu
bergetar/tremor pelan di area itu. Setelah proses ini, yang kerap terjadi
adalah berhentinya semua aktivitas jantung.
Apa
yang Seharusnya Dilakukan
Banyak
pihak yang mengkritik keterlambatan penanganan tim medis ketika pemain meregang
nyawa di lapangan hijau, termasuk pada kasus Patrick Ekeng. Sebenarnya
semata-mata menyebut keterlambatan sebagai faktor utama ini tidak sepenuhnya
benar, walaupun memang di dalam dunia kegawatdaruratan terdapat mantra yang
senantiasa dirapal: Time Saving
is Life Saving. Keterlambatan ini hanya representasi dari buruknya
sistem penanganan yang tidak dijalin secara terpadu. Mulai dari alur
kegawatdaruratan (codeblue),
kapasitas tenaga medis, ketidakcakapan dalam melakukan CPR (Cardio Pulmonary Rescucitation)
atau dikenal sebagai teknik pijat jantung baik untuk tenaga medis maupun untuk
awam, tempat yang harus dirujuk setelah penanganan, sampai ketersediaan sarana
prasarana. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan hasil survei yang pernah
dilakukan terhadap sekitar 190 klub di 10 negara Eropa (termasuk Inggris,
Italia, Spanyol dan Belanda) beberapa tahun lalu.
Untuk
faktor sarana prasarana, ketidaksiapan penggunaan defibrillator adalah masalah
yang paling dominan. Padahal, defibrillator ini adalah kunci penting untuk
mengatasi kejadian VF. Pada VF, jantung yang hanya tremor akibat koordinasi
diambil oleh bagian listrik terlemah jantung, memiliki listrik yang alirannya
kacau. Fungsi defibrillator ini untuk menghilangkan kekacauan listrik sehingga
jantung diharapkan bisa berdenyut lagi. Untuk itu, ketersediaan defibrillator
ini hukumnya benar-benar wajib, karena sangat mendukung keberhasilan
penanganan. Seorang ahli penyakit jantung bernama Profesor Efriam Kamer pernah
berucap, “Jika ada pertandingan sepakbola, siapkan defibrillator. Jika tidak
memilikinya, lebih baik Anda memesan peti mati.”
Jenis
defibrillator juga macam-macam. Untuk yang bersifat praktis dan mudah dijinjing
sekaligus mudah digunakan, terdapat AED (Automatic
External Defibrillator) atau defibrillator otomatis. Selain AED,
ada lagi defibrillator yang ditanam di bawah kulit, untuk pemain yang sudah
terdeteksi memiliki penyakit jantung. Sehingga bila dia mengalami VF tiba-tiba
saat bermain, tidak terjadi CSD. Defibrillator jenis ini diberi nama Implantable Cardioverter Defibrillator
(ICD). Contoh nyata penggunaan ICD ini dialami oleh Anthony Van Loo dari
klub SV Roeselare (Belgia) yang pernah mengalami VF saat bermain bola di tahun
2008. Ketika dia mengalami serangan jantung dan mendadak ambruk akibat terjadi
VF, defibrillator diaktivasi hanya kurang dari hitungan 10 detik. Hasilnya, Van
Loo langsung terbangun dari kondisinya yang semula tidak sadar dan bisa
melanjutkan kariernya sebagai pesepakbola.
Bagaimana
bila tidak ada defibrillator? Apakah kita sebaiknya diam saja? Jawabnya
tidak. Daripada diam, kita bisa melakukan CPR atau pijat jantung paru. Ini bisa
dilakukan oleh tim medis maupun sesama pemain yang sudah mendapat pelatihan
khusus. Karena pada kondisi VF, jantung tidak memompa darah. Dengan CPR,
darah kembali terpompa ke sirkulasi tubuh untuk sementara melalui pijatan
penolong, walaupun koordinasi listrik jantung masih kacau.
Kisah
penyelamatan pemain sepakbola yang mengalami CSD dengan teknik CPR ini pernah
terjadi secara dramatis pada Fabrice Muamba pada pertandingan perempat final
piala FA antara Bolton Wanderers melawan Tottenham Hotspur di White Heart Lane.
Muamba saat itu tiba-tiba tidak sadarkan diri saat sedang berlari. Semuanya
panik, termasuk wasit Howard Webb yang sedang memimpin pertandingan. Beberapa
penonton bahkan menjerit histeris dan menitikkan air mata. Tim medis segera
datang dan melakukan CPR atau resusitasi jantung paru. Setelah sekian menit
CPR, kondisi Muamba berpindah menuju fase ROSC (Return of Spontaneus Circulation) alias
sirkulasi kembali spontan. Pada kondisi ROSC, pasien dianggap layak rujuk dan
aman untuk melakukan transportasi ke rumah sakit.
Dokter
yang memimpin aksi ini, Dr. Andrew Deaner, namanya semakin moncer dan diundang
ke berbagai forum untuk berbagi pengalamannya ini. Muamba sendiri dinyatakan
benar-benar pulih sedia kala setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama
hampir satu bulan.
Banyaknya
kejadian kematian pesepakbola di lapangan hijau akibat serangan jantung ini
membuat banyak pesepakbola seperti diincar oleh penembak misterius yang kapan
saja siap menarik pelatuk dan menembakkan peluru untuk mengakhiri hidup. Tanpa
bermaksud menebar kecemasan yang berlebih, selayaknya manajemen klub mengambil
tindakan.
Langkah
awal yang bisa ditempuh adalah melakukan skrining dan pemeriksaan kesehatan
secara berkala. Pemindaian risiko SCD lewat pemeriksaan tertentu pada pemain
sepakbola juga terbilang tidak rumit, namun relatif efektif. Beberapa contoh
pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan Elektrokardiography
(perekaman aktivitas listrik jantung) dan pemeriksaan Echocardiography (USG
jantung). Wejangan lawas yang berkata bahwa mencegah itu lebih baik daripada
mengobati adalah nasihat yang tak lapuk dimakan jaman. Ini semua karena maut
seringkali tidak bisa ditebak. Maut tidak pernah tepat waktu. Ia terlalu sering
datang tiba-tiba.
=====================================================================================
Tulisan ini tayang di panditfootball.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar