Selasa, 03 Mei 2016

Berlari Bersama Murakami


Saya adalah pembaca Murakami yang terlambat. Karya-karya penulis kontemporer kelahiran Kyoto itu baru saya baca sekitar 3 tahun yang lalu. Itu pun setelah beberapa kawan merekomendasikan beberapa kali karya-karyanya yang terkenal. Berulang-ulang saya menampik. Entah apa alasannya. Beberapa hal di dunia ini tidak selalu bisa dijelaskan, mungkin.

Saya masih ingat saat itu, suatu sore di selasar toko buku. Di luar hujan deras. Saya semakin berlama-lama menyusuri rak demi rak. Hingga pandangan saya menumbuk sebuah buku karangan Haruki Murakami. Judulnya Dengarlah Nyanyian Angin (Hear The Wind Song atau Kaze no Uta o Kike). Bukunya cenderung tipis dibandingkan karya-karya Murakami yang lain. Saya akhirnya membeli buku itu. Usulan beberapa kawan agar saya mengawali membaca Murakami dari Norwegian Wood tidak saya hiraukan.

Kesan saya setelah membaca buku itu, Murakami adalah penulis yang sangat telaten. Cara dia membangun intensitas dengan pembaca sungguh rapi. Dia ibarat seorang koki yang melakukan fillet pada ikan yang hendak dimasaknya dengan sangat pelan-pelan dan terukur. Setelah selesai membaca buku itu, saya baru mendapat informasi bahwa buku itu  adalah buku yang mengawali jalan Murakami sebagai seorang penulis. Sejak itu pula saya tertarik pada karya Murakami yang lain dan menyadari kekeliruan sekaligus keterlambatan saya.

Murakami sendiri sebenarnya adalah penulis yang boleh dikatakan “terlambat”. Ia memulai menapaki jalan kepenulisan pada usia 29 tahun. Keputusannya menjadi penulis juga terbilang absurd. Ia mendapat ilham untuk menjadi menulis usai menonton sebuah pertandingan baseball. Susah dijelaskan, sukar dimengerti. Tapi sekali lagi, terlalu banyak hal di dunia yang menepikan alasan-alasan.

Sebelum menjadi penulis, Murakami adalah seorang pengusaha kelab. Kecintaannya pada musik jazz membuatnya mengonsep kelab yang dikelolanya bernuansa jazzy. Dia kerja lebih keras daripada kuda pacuan. Dari pagi hingga larut malam, ia mengelola klabnya. Hingga pada suatu titik ia mengambil sebuah keputusan penting: berhenti mengelola kelab jazz dan memfokuskan diri menjadi penulis.

Menjadi penulis ternyata mengubah banyak hal di dalam hidup Murakami. Salah satunya adalah  masalah pengaturan jam biologisnya. Ia mulai mengurangi begadang dan lebih sering bangun pagi. Di sisi lain ia menilai bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan mental yang tidak mudah dan membutuhkan konsentrasi besar. Duduk dalam jangka waktu yang lama untuk membuat tulisan juga mengubah kondisi fisik Murakami yang mengaku bahwa ia adalah jenis orang yang mudah gemuk jika tidak terlalu sering beraktivitas. Besarnya konsentrasi pikiran yang tercurah dalam proses menulis juga membuat Murakami menjadi perokok berat. Ketika itu dia bisa merokok hingga enam puluh batang per hari. Kukunya mulai menghitam dan napasnya mulai sering terasa berat. Mengubah haluan menjadi penulis ternyata menimbulkan masalah baru baginya. Karena itu dia menempuh cara baru untuk mengatasinya: menjadi pelari.

***

Murakami pertama kali berlari pada usia 33 tahun. Usia yang sama ketika Yesus Kristus meninggal dalam kisah di Injil. Di usia itu pula, karier penulis Amerika  yang mengaku disukainya, Scott Fitzgerald, mulai meredup. Jika ada yang bilang bahwa memulai sesuatu selalu lebih sulit, maka orang itu layak diberi setidaknya sebuah senyum yang tulus.  Itu adalah perkara  yang relevan hingga kini. Dalam hal ini, Murakami juga mengamini hal yang serupa. Mengawali  langkahnya untuk berlari, adalah perkara yang susah.  Dia hanya bisa menempuh beberapa kilometer awal. Namun dia terus berlari.  Soal ini, Murakami mengaku bahwa ia tidak paham benar kenapa ia menikmati berlari. Ia hanya berkata, “Mungkin berlari memang cocok buat saya”.

 
Murakami sedang mengikuti perlombaan lari. Gambar diambil dari sini

Murakami mengaku bahwa berlari memberikannya hal penting dalam menempuh jalan sebagai seorang penulis. Minimal, bagi dia, berlari bisa menjaga fisiknya selalu prima sehingga dia bisa menulis lebih banyak lagi. Lebih dari itu, berlari juga berandil dalam mengasah mentalnya sebagai penulis. Merasa berhutang banyak pada berlari, Murakami lantas menulis sebuah buku yang mengulas banyak tentang berlari dan hubungannya dengan menulis. Hingga buku ini terbit (pada tahun 2007), Murakami setidaknya sudah mengikuti 23 kali marathon. Itu belum terhitung dengan lomba lari jarak pendek dan jarak menengah lain yang dia ikuti, termasuk triathlon. Sebuah pencapaian yang mengagumkan untuk lelaki berusia 58 tahun saat itu.

Buku ini diberi judul What I Talk About When I Talk About Running. Murakami menulisnya  di antara musim panas 2005 dan musim gugur 2006. Judul buku ini sendiri diambilnya dari judul kumpulan cerpen What  We Talk About When I Talk About Love karya penulis favoritnya: Raymond Carver.

Ini adalah buku memoar Murakami dalam hal berlari. Tak hanya itu, di dalamnya kita bisa melihat benang merah yang dihubungkan Murakami dengan proses kreatfnya sebagai seorang penulis. Bagi Murakami, sebagaimana menulis, berlari tidak hanya perkara kebebasan, tapi juga persoalan menemukan pemikiran-pemikiran baru.




Murakami juga berujar bahwa menulis dan berlari punya beberapa kemiripan lain. Ini berhubungan dengan sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Murakami pada sebuah wawancara, “Apakah hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penulis?”. Murakami memaparkan dalam buku ini, setidaknya ada tiga hal penting: bakat, fokus, dan daya tahan. Mirip dengan berlari.

Kadang hidup memang tidak adil. Karena itu pula, perkara bakat adalah perkara yang terlalu sering diperdebatkan. Baik atlit maupun penulis, mereka yang berbakat sebenarnya adalah orang yang lebih beruntung. Mereka tidak butuh usaha lebih, dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Orang-orang tidak berbakat selalu memulai dengan lebih susah. Mereka seperti menggali gorong-gorong di bawah kakinya hanya dengan berbekal sebuah sendok makan. Murakami sendiri mengaku bahwa ia bukan orang yang berbakat dalam olahraga dan menulis.

Maka pelajaran terpenting dalam hubungan berlari dan menulis di buku ini adalah dua faktor lain, yakni fokus dan daya tahan. Akhirnya serupa persoalan bahwa menulis dan berlari sebenarnya adalah upaya percakapan dan pertandingan dengan diri sendiri.

Buku ini adalah buku non fiksi karangan Murakami yang—sekali lagi—terlambat saya baca. Murakami menganggap ini sebagai memoar singkat, enggan menyebutnya autobiografi, dan menanggapi anggapan bahwa buku ini adalah kumpulan esai sebagai sebuah  hal yang menggelikan. Murakami menuliskan buku ini dengan gayanya menulis novel. Mengalir, lapis demi lapis, telaten, membangun intensitas dengan pembaca. Kalau harian The New York Times berkata bahwa buku ini akan membuat penggemar Murakami tergila-gila bahkan sebelum sampai ke kasir, rasanya itu bukan sebuah hal yang terlalu berlebihan.

Di usianya yang senja, saya tidak tahu persis bagaimana aktivitas berlarinya sekarang. Yang jelas, pencapaiannya yang 23 kali mengikuti marathon cukup  menohok ulu hati saya yang hanya beberapa kali mengikuti lomba lari di bawah 10 kilometer. Itu pun sudah saya sudah merasa jumawa. Mungkin saja, Murakami sekarang terus berlari. Itu baik untuk melupakan perih dan tingginya harapan banyak orang yang menggadang-gadangnya meraih Nobel Kesusastraan yang belum tercapai. Sebagaimana dia katakan di buku ini: Pain is inevitable. Suffering is optional.

Bukankah demikian, Tuan Murakami?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar