Saya
adalah pembaca Murakami yang terlambat. Karya-karya penulis kontemporer
kelahiran Kyoto itu baru saya baca sekitar 3 tahun yang lalu. Itu pun setelah
beberapa kawan merekomendasikan beberapa kali karya-karyanya yang terkenal. Berulang-ulang saya menampik. Entah apa alasannya. Beberapa hal di dunia ini
tidak selalu bisa dijelaskan, mungkin.
Saya
masih ingat saat itu, suatu sore di selasar toko buku. Di luar hujan deras.
Saya semakin berlama-lama menyusuri rak demi rak. Hingga pandangan saya
menumbuk sebuah buku karangan Haruki Murakami. Judulnya Dengarlah Nyanyian Angin (Hear The Wind Song atau Kaze no Uta o Kike). Bukunya cenderung
tipis dibandingkan karya-karya Murakami yang lain. Saya akhirnya membeli buku
itu. Usulan beberapa kawan agar saya mengawali membaca Murakami dari Norwegian Wood tidak saya hiraukan.
Kesan
saya setelah membaca buku itu, Murakami adalah penulis yang sangat telaten.
Cara dia membangun intensitas dengan pembaca sungguh rapi. Dia ibarat seorang
koki yang melakukan fillet pada ikan
yang hendak dimasaknya dengan sangat pelan-pelan dan terukur. Setelah selesai
membaca buku itu, saya baru mendapat informasi bahwa buku itu adalah buku yang mengawali jalan Murakami
sebagai seorang penulis. Sejak itu pula saya tertarik pada karya Murakami yang
lain dan menyadari kekeliruan sekaligus keterlambatan saya.
Murakami
sendiri sebenarnya adalah penulis yang boleh dikatakan “terlambat”. Ia memulai
menapaki jalan kepenulisan pada usia 29 tahun. Keputusannya menjadi penulis
juga terbilang absurd. Ia mendapat ilham untuk menjadi menulis usai menonton
sebuah pertandingan baseball. Susah
dijelaskan, sukar dimengerti. Tapi sekali lagi, terlalu banyak hal di dunia yang
menepikan alasan-alasan.
Sebelum
menjadi penulis, Murakami adalah seorang pengusaha kelab. Kecintaannya pada musik
jazz membuatnya mengonsep kelab yang dikelolanya bernuansa jazzy. Dia kerja lebih keras daripada kuda pacuan. Dari pagi hingga
larut malam, ia mengelola klabnya. Hingga pada suatu titik ia mengambil sebuah
keputusan penting: berhenti mengelola kelab jazz dan memfokuskan diri menjadi
penulis.
Menjadi
penulis ternyata mengubah banyak hal di dalam hidup Murakami. Salah satunya adalah
masalah pengaturan jam biologisnya. Ia mulai mengurangi begadang dan lebih
sering bangun pagi. Di sisi lain ia menilai bahwa menulis adalah sebuah
pekerjaan mental yang tidak mudah dan membutuhkan konsentrasi besar. Duduk
dalam jangka waktu yang lama untuk membuat tulisan juga mengubah kondisi fisik
Murakami yang mengaku bahwa ia adalah jenis orang yang mudah gemuk jika tidak
terlalu sering beraktivitas. Besarnya konsentrasi pikiran yang tercurah dalam
proses menulis juga membuat Murakami menjadi perokok berat. Ketika itu
dia bisa merokok hingga enam puluh batang per hari. Kukunya mulai menghitam dan
napasnya mulai sering terasa berat. Mengubah haluan menjadi penulis ternyata
menimbulkan masalah baru baginya. Karena itu dia menempuh cara baru untuk
mengatasinya: menjadi pelari.
***
Murakami
pertama kali berlari pada usia 33 tahun. Usia yang sama ketika Yesus Kristus
meninggal dalam kisah di Injil. Di usia itu pula, karier penulis Amerika yang mengaku disukainya, Scott Fitzgerald,
mulai meredup. Jika
ada yang bilang bahwa memulai sesuatu selalu lebih sulit, maka orang itu layak diberi
setidaknya sebuah senyum yang tulus. Itu
adalah perkara yang relevan hingga kini.
Dalam hal ini, Murakami juga mengamini hal yang serupa. Mengawali langkahnya untuk berlari, adalah perkara yang
susah. Dia hanya bisa menempuh beberapa
kilometer awal. Namun dia terus berlari.
Soal ini, Murakami mengaku bahwa ia tidak paham benar kenapa ia
menikmati berlari. Ia hanya berkata, “Mungkin berlari memang cocok buat saya”.
Murakami sedang mengikuti perlombaan lari. Gambar diambil dari sini |
Murakami
mengaku bahwa berlari memberikannya hal penting dalam menempuh jalan sebagai
seorang penulis. Minimal, bagi dia, berlari bisa menjaga fisiknya selalu prima
sehingga dia bisa menulis lebih banyak lagi. Lebih dari itu, berlari juga
berandil dalam mengasah mentalnya sebagai penulis. Merasa berhutang banyak pada
berlari, Murakami lantas menulis sebuah buku yang mengulas banyak tentang
berlari dan hubungannya dengan menulis. Hingga buku ini terbit (pada tahun
2007), Murakami setidaknya sudah mengikuti 23 kali marathon. Itu belum
terhitung dengan lomba lari jarak pendek dan jarak menengah lain yang dia ikuti,
termasuk triathlon. Sebuah pencapaian yang mengagumkan untuk lelaki berusia 58
tahun saat itu.
Buku
ini diberi judul What I Talk About When I
Talk About Running. Murakami menulisnya
di antara musim panas 2005 dan musim gugur 2006. Judul buku ini sendiri
diambilnya dari judul kumpulan cerpen What We Talk About When I Talk About Love karya
penulis favoritnya: Raymond Carver.
Ini
adalah buku memoar Murakami dalam hal berlari. Tak hanya itu, di dalamnya kita
bisa melihat benang merah yang dihubungkan Murakami dengan proses kreatfnya
sebagai seorang penulis. Bagi Murakami, sebagaimana menulis, berlari tidak
hanya perkara kebebasan, tapi juga persoalan menemukan pemikiran-pemikiran
baru.
Murakami
juga berujar bahwa menulis dan berlari punya beberapa kemiripan lain. Ini
berhubungan dengan sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Murakami pada sebuah
wawancara, “Apakah hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penulis?”.
Murakami memaparkan dalam buku ini, setidaknya ada tiga hal penting: bakat,
fokus, dan daya tahan. Mirip dengan berlari.
Kadang hidup
memang tidak adil. Karena itu pula, perkara bakat adalah perkara yang terlalu
sering diperdebatkan. Baik atlit maupun penulis, mereka yang berbakat
sebenarnya adalah orang yang lebih beruntung. Mereka tidak butuh usaha lebih,
dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Orang-orang tidak berbakat selalu
memulai dengan lebih susah. Mereka seperti menggali gorong-gorong di bawah
kakinya hanya dengan berbekal sebuah sendok makan. Murakami sendiri mengaku
bahwa ia bukan orang yang berbakat dalam olahraga dan menulis.
Maka
pelajaran terpenting dalam hubungan berlari dan menulis di buku ini adalah dua
faktor lain, yakni fokus dan daya tahan. Akhirnya serupa persoalan bahwa
menulis dan berlari sebenarnya adalah upaya percakapan dan pertandingan dengan
diri sendiri.
Buku
ini adalah buku non fiksi karangan Murakami yang—sekali lagi—terlambat saya baca.
Murakami menganggap ini sebagai memoar singkat, enggan menyebutnya autobiografi,
dan menanggapi anggapan bahwa buku ini adalah kumpulan esai sebagai sebuah hal yang menggelikan. Murakami menuliskan buku
ini dengan gayanya menulis novel. Mengalir, lapis demi lapis, telaten,
membangun intensitas dengan pembaca. Kalau harian The New York Times berkata bahwa buku ini akan membuat penggemar
Murakami tergila-gila bahkan sebelum sampai ke kasir, rasanya itu bukan sebuah
hal yang terlalu berlebihan.
Di
usianya yang senja, saya tidak tahu persis bagaimana aktivitas berlarinya
sekarang. Yang jelas, pencapaiannya yang 23 kali mengikuti marathon cukup menohok ulu hati saya yang hanya beberapa
kali mengikuti lomba lari di bawah 10 kilometer. Itu pun sudah saya sudah merasa
jumawa. Mungkin saja, Murakami sekarang terus berlari. Itu baik untuk melupakan
perih dan tingginya harapan banyak orang yang menggadang-gadangnya meraih Nobel Kesusastraan
yang belum tercapai. Sebagaimana dia katakan di buku ini: Pain is inevitable. Suffering is optional.
Bukankah
demikian, Tuan Murakami?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar