Kamis, 28 April 2016

Menulis dan Berkebun



Gambar diambil dari sini


Rasa malas dan pemakluman lebih tipis dari kain lingerie, barangkali. 

Sebagaimana ketika persoalan menulis dianggap hanyalah pekerjaan orang-orang tertentu. Anggapan ini mungkin dibangun di atas  pemakluman yang disamarkan oleh rasa malas atau sebaliknya. Pemakluman ini mengklaim bahwa hanya orang-orang pintar saja yang bisa (dan boleh) menulis. Orang-orang yang membangun anggapan ini juga memercayai takhayul lain, semisal menulis adalah pekerjaan orang yang berbakat di bidang itu. Lain tidak. Saya dengan menyesal mengaku bahwa dulu pernah menjadi bagian dari barisan ini. 

Muasal dari anggapan tersebut sebenarnya bertolak dari anggapan lain yang mengira bahwa menulis adalah melulu perihal pencapaian. Ini anggapan yang menurut saya berlebihan, kalau tidak boleh dibilang sebuah anggapan yang menyesatkan. Mereka yang cakap menulis dianggap sudah mencapai taraf tertentu sehingga bisa menepuk dada sendiri dan mendaku diri sebagai orang yang lebih. Sehingga bila pemahaman akan hal ini  diteruskan akan sampai pada titik tertentu yang mengamini bahwa menulis adalah pekerjaan orang-orang pintar. 

Kaum mediokeryang tidak pintar-pintar amat tapi selalu sewot jika disebut bodoh (saya contohnya)—akhirnya kerap menganggap menulis seperti sebuah laku tertentu yang adiluhung. Sekali lagi, ini berlebih-lebihan sekaligus menyesatkan. Sehingga ketika kaum ini diharuskan menulis, yang terjadi adalah riuh mencari alasan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah kaum ini malas mengakui kekurangan diri dan akhirnya mencari apologi bahwa menulis adalah pekerjaan ekslusif dari kalangan ekslusif. 

Atau justru sebaliknya. Karena manusia pada dasarnya karib dengan sanjungan, maka kaum medioker akan menulis dengan tujuan ingin dipuji. Ingin dianggap sudah mencapai taraf tertentu yang saya bilang tadi. Menulisnya pun dibuat-buat. Dibubuhi kata-kata dan istilah yang  sukar dan melangit. Diksinya rumit dan berbelit-belit. 

Lalu bagaimana saya sekarang memandang laku menulis? 

Saya menolak menanggapi dengan skeptis. Sama halnya saya juga menolak melakukan lagi kesalahan yang dulu: menganggap  menulis adalah kerjaan kaum cerdik pandai dan berbakat. Buat saya sekarang, sebisa mungkin saya mengingatkan diri sendiri bahwa esensi menulis adalah menyampaikan pesan.  Sudah, itu saja. Perihal apa yang mau disampaikan juga tergantung penulisnya. Bisa data, bisa informasi, bisa pula ekspresi. Buat saya itu cukup. Saya enggan ndakik-ndakik. Buat saya menulis (seharusnya) sesederhana itu. Walau saya paham, menjadi sederhana bukan perkara yang mudah. 

Menulis, bagi saya, tak ubahnya dengan berkebun. Dalam berkebun, orientasi sesungguhnya bukan hanya sekadar bagaimana kita memanen hasil kebun kita. Yang menjadi lebih penting adalah  menikmati bagaimana menanam bibit, menyemai benih, mengolah tanah, menyiramnya, menjaganya dari gangguan-gangguan, kadang gagal tumbuh, panen, dan kita menghela ritus yang sama berulang kali. Ketika berkebun, kita menjaga keseimbangan dalam memelihara kepuasan kita antara proses berkebun yang membutuhkan ketekunan dan kepuasan ketika hasil panen itu ada. 

Menulis juga tak ubahnya seperti itu. Dalam menulis, kita sebenarnya sering terjebak dan berkutat di persoalan “memanen”. Hasil panen yang semu. Hasil panen yang berupa anggapan bahwa menulis bakal membuat kita terlihat pintar. Bakal terlihat lebih dari yang lain. Padahal tidak seserius itu, seharusnya. 

Menulis bukan memanen, sebenarnya. Bukan tujuan, tapi perjalanan. Terdengar klise dan sederhana? Memang. Tapi sesungguhnya, bagi saya kenyataannya demikian. Ketika menulis kita akan menanamkan pemahaman, menyemai pengertian dengan diri sendiri, mengolah rasa, mengatur logika, menyiraminya dengan kritik, memupuki dengan kerendahhatian, terus demikian. Kita akan menguliti diri kita sendiri. Menyingkap terlalu banyak hal yang tidak kita mengerti. Sehingga dari sini, anggapan menulis adalah kerjaan orang pintar itu gugur sudah. Menulis sesungguhnya adalah laku orang-orang yang  berkebun di tengah ladang ketidakmengertian. 

Konkritnya, ketika saya hendak menulis sebuah esai. Saya harus mencangkul ketidakmengertian saya dengan melihat dan membaca kondisi yang ada, meriset, bertanya, menguji asumsi, menganalisa, sebelum saya menginformasikannya kepada orang lain. Ada proses dari tidak paham yang (mencoba) diubah menjadi paham. Dan upaya pemahaman yang paling sering saya dapatkan adalah pemahaman saya terhadap diri saya sendiri.  Saya berkebun dengan kata-kata. Perkara nanti saya panen atau tidak, saya kira itu tak jadi soal. Karena saya sudah mendapatkan banyak hal selama menghayati proses berkebun itu sendiri. 

Lalu pertanyaannya sekarang, jika memang demikian, mengapa tulisan di blog ini terbilang sedikit? Mengapa jika sudah memahami bahwa menulis ibarat berkebun tapi tak juga menulis? Hah? 

Ummm…anu, saya tidak bisa menjawab. 

Karena memang, rasa malas dan pemakluman itu lebih tipis dari kain lingerie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar